Monday, December 31, 2012

Bisakah seorang saintis menjadi “fundamentalis sains”?

Tulisan ini menanggapi sekian orang di Twitter yang baru saja menuduh asbun bahwa kalangan saintis bisa menjadi fundamentalis.

Mari mulai dengan sebuah definisi. Seorang fundamentalis  adalah seorang “berkacamata kuda” yang mengabsolutisasi pandangan dan keyakinan keagamaannya di hadapan bukti-bukti yang menyatakan lain. Kata seorang fundamentalis, “Pokoknya gua mau percaya begini; lo mau apa?


oxymoron: harus stop, tapi juga harus jalan terus!

Setiap agamawan ada dalam suatu risiko besar menjadi fundamentalis karena baginya agamanya absolut tak bisa salah dan selalu benar. Fundamentalisme menjadi fitur esensial dan potensial dalam setiap agama karena absolutisme dan triumfalisme serta superiorisme dipertahankan dalam setiap agama. Fundamentalisme adalah sebuah risiko besar dalam setiap agama karena setiap agama diklaim para penganutnya sebagai agama satu-satunya yang terbenar dalam dunia ini. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama memiliki sebuah kitab suci atau lebih yang dipandang sudah final, definitif dan tak bisa salah dalam segala hal oleh umat beragama yang memakainya. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama menekankan iman-tanpa-bukti terhadap dunia adikodrati, sebagai fondasi utamanya.

Nah, sekarang kita periksa apakah semua fitur agama yang memunculkan fundamentalisme itu ada dalam sains modern.

Apakah ada sains yang sudah absolut, definitif, sudah final, tak bisa salah, terbenar satu-satunya, dan tak bisa berubah lagi? Tidak ada! Jika sains disebut absolut atau sudah final sebagai sains absolut”  atau “sains final”, sebutan-sebutan ini adalah “contradictio in terminis”, istilah yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri. Jika tak ada sains yang absolut, sudah final, definitif, tak bisa salah, selalu benar, atau malah satu-satunya yang terbenar dengan membuang yang lainnya, maka tidak akan ada seorang saintis pun yang akan menjadi fundamentalis sains.


oxymoron: suara yang hening

Menyebut seorang saintis sebagai fundamentalis sains adalah sebuah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi ada hanya dalam retorika politis ad hominem. Anda tentu tahu apa arti kata “oxymoron”, bukan? Oxymoron adalah gabungan dua kata atau lebih untuk membentuk sebuah kata majemuk yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri, tapi hanya dipakai dalam retorika politis dan dalam dunia puisi. “Pakar amatir”, “pensiun aktif”, “rudal anti-rudal”, “desas-desus yang akurat”, “kebetulan yang disengaja”, “lingkaran segi tiga”, “es cair”, “kedukaan yang membahagiakan”, “sains final”, adalah beberapa contoh oxymoron.

Meskipun sains tak bisa final dan tak absolut, tentu saja ada poisisi-posisi saintifik yang sudah kokoh dan bisa menjelaskan kerja nyaris seluruh mesin jagat raya kita.

Apa yang digolongkan sebagai teori-teori saintifik besar (grand theories) dan hukum-hukum besi fisika, adalah posisi-posisi sains yang sudah kokoh. Hukum-hukum Newton, prinsip-prinsip relativitas Einstein, “the standard model” dalam fisika partikel, juga sudah kokoh, tapi semuanya belum final.

Dalam dunia sains, bukan absolutisme, tapi skeptisisme menjadi motor pendorong kelahiran, perkembangan dan kemajuan sains. Bersikap skeptik adalah watak dasar setiap saintis sejati yang membuatnya selalu meragukan dan mempertanyakan segala hal yang dipandang sudah mapan, atau meragukan segala klaim yang luar biasa namun tak berlandaskan bukti apapun. Apakah seorang saintis yang selalu skeptik, bisa menjadi fundamentalis? Sama sekali tidak bisa. Skeptisisme dan fundamentalisme adalah bak air dan minyak yang selalu terpisah.

Karena semua saintis mendasarkan klaim-klaim mereka bukan pada iman membuta, tapi pada bukti dan fakta, bisakah mereka jadi fundamentalis? Karena bukan iman membuta tapi bukti dan fakta yang menjadi fondasi sains, tak ada saintis yang akan menjadi fundamentalis. Karena watak dinamis sains, setiap saintis akan dengan konsisten mengikuti ke mana bukti-bukti menuntun dan membawanya, sekalipun bukti-bukti ini akan akhirnya mengharuskannya mengganti pandangan-pandangan lamanya.

Apakah dalam dunia sains ada sebuah kitab suci yang dipandang diilhamkan Allah, dus tak bisa salah dan berlaku mutlak? Tidak ada!

Tentu ada buku-buku sains yang luar biasa yang ditulis great scientists, tapi buku-buku ini bukan kitab-kitab suci yang diberi aura dan otoritas ilahi. Tentu ada buku-buku sains yang telah menjadi klasik besar, tapi buku-buku ini juga tidak diperlakukan sebagai kitab-kitab suci ilahi. Para penulis buku-buku sains besar adalah para saintis agung yang bisa salah, terbatas, fana dan insani belaka. Semua buku sains yang luar biasa suatu saat bisa disanggah oleh buku-buku sains yang lebih maju dan lebih integratif.

Mengakui keterbatasan buku-buku sains besar dan keterbatasan para saintis penulis buku-buku ini bukanlah hal yang aib atau ditabukan dalam dunia sains. Setiap saintis akan mengaku dengan kalem bahwa mereka semua terbatas dan bisa salah; dus tak akan pernah ada seorang saintis yang fundamentalis berkacamata kuda.

Sekali lagi, memberi label fundamentalis kepada seorang saintis adalah sebuah oxymoron yang ada hanya dalam retorika politis yang ad hominem

Bahkan luar biasanya, dan sangat patut disesalkan, fisikawan Peter Higgs, yang telah memprediksi keberadaan partikel Higgs Boson dan dia telah terbukti benar, baru saja (26 Desember 2012) memakai oxymoron ini ketika dia melabelkan biolog termashyur Richard Dawkins sebagai seorang fundamentalis jenis lain. Tetapi, pada tahun 2007 dalam sebuah postnya di situs webnya, yang berjudul “How dare you call me a fundamentalist”, Dawkins menulis demikian, cermatilah: “Harap jangan menyamakan semangat (passion), yang dapat mengubah pikirannya, dengan fundamentalisme yang tak akan berubah. Dalam hal semangat, seorang Kristen evangelikal dan saya dapat dengan seimbang dipertemukan. Tetapi semangat saya dan fitur fundamentalisnya tidak sama. Saintis sejati, betapapun dia dapat sangat bersemangat ‘percaya’, percaya pada evolusi misalnya, tahu dengan tepat apa yang dapat mengubah pikirannya: bukti! Seorang fundamentalis religius tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang akan dapat mengubah pikirannya.”/1/ Pakar genetika Jerry A. Coyne, Ph.D., telah dengan tangkas memberi respons kepada Higgs dengan menyatakan bahwa Higgs adalah “seorang yang secara intelektual tidak jujur” dan, berkaitan dengan tuduhannya bahwa Dawkins adalah seorang fundamentalis jenis lain, bertanya kepada sang fisikawan ini, “Apa persisnya jenis ‘fundamentalisme’ Dawkins? Dapatkah anda sungguh-sungguh menyamakan ketaatan membuta pada teks-teks kuno buatan manusia dengan keraguan bahwa teks-teks itu membuktikan hal apapun mengenai suatu hakikat ilahi? Mengapa seseorang harus dicap ‘fundamentalis’ ketika orang ini meminta bukti, dan menantang orang-orang yang memeluk dogma di hadapan bukti-bukti yang berbicara lain? Mengapa memberi label ‘fundamentalis’ kepada seseorang yang mengambil sikap saintifik yang berpijak pada bukti terhadap klaim-klaim agama, tetapi tidak kepada klaim-klaim para penggembala kambing di zaman kuno?”/2/ 

Tentu dunia sains juga mengenal apa yang dinamakan aksioma atau postulat yang di atasnya sains bekerja.

Aksioma adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diterima sebagai benar tanpa perlu diragukan atau dibuktikan lagi. Para agamawan seringkali dengan naif menyamakan aksioma saintifik dengan iman-tanpa-bukti dalam dunia agama-agama.

Kata para agamawan, apa bedanya sains dari agama, tokh sains juga berpijak pada aksioma tanpa bukti, seperti iman dalam agama. Tapi, ada perbedaan mendasar antara aksioma dalam sains dan iman-tanpa-bukti dalam agama.

Ambil satu contoh aksioma geometri Euklidean bidang datar yang jumlah seluruhnya ada lima. Aksioma geometris itu menyatakan “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik  pada bidang datar”.

Bisakah aksioma geometris Euklidean ini disamakan dengan iman-tanpa-bukti bahwa Allah itu ada dalam dunia agama-agama teistik? Aksioma geometris itu dan iman keagamaan tidak bisa sama sekali disamakan atau disejajarkan!

Aksioma geometris itu objektif dapat diperlihatkan dengan menggambarkannya lewat tanda, bentuk, huruf, angka, karakter, gambar dan simbol pada bidang datar seperti papan tulis atau pada monitor LCD notebook anda. Orang di mana saja dan kapan saja secara universal bisa melihat kebenaran objektif aksioma geometris itu. Tapi coba minta seorang agamawan saleh untuk menggambarkan Allah yang dipercayanya ada pada sebuah papan tulis. Bisakah dia? Jelas tidak bisa. Jadi, aksioma dalam dunia sains sama sekali tidak bisa disamakan atau disejajarkan dengan iman membuta dalam dunia agama.

Kaum agamawan juga sering menyatakan bahwa sains itu tidak mutlak karena bergantung pada model yang dipakai. Mereka benar sekali, karena memang sesungguhnya sains itu relatif dan tidak absolut, seperti sudah dikatakan sebelumnya.

Tapi jika model yang dipakai dalam dunia sains dianggap membuat sains kehilangan keabsahannya, anggapan ini salah sama sekali. Model dalam dunia sains tidak dibangun sembarangan dan juga tidak berdasar pada iman membuta, tapi harus memenuhi kriteria saintifik.

Stephen Hawking dalam bukunya The Grand Design memberi  empat kriteria untuk sebuah model saintifik dapat dengan bagus dibangun dan digunakan. Pertama, sebuah model harus sederhana dan cerdas. Kedua, harus berisi sedikit unsur acak dan unsur yang adjustable. Ketiga, harus sejalan dengan semua observasi empiris saintifik yang ada, dus, harus sesuai bukti-bukti. Keempat, harus mampu memprediksi observasi-observasi di masa depan yang dapat menfalsifikasi model jika prediksi-prediksi ini gagal terpenuhi./3/

Jadi, model yang dipakai dalam dunia sains haruslah model yang dibangun sejalan dengan metode saintifik, bukan asal dibangun semau-maunya. Justru dengan dipakainya model, sains malah makin objektif dan makin memberi kemungkinan berkembang lewat prediksi-prediksinya, yang bisa diverifikasi ataupun difalsifikasi.

Sebetulnya, bukan hanya sains eksakta, semua bidang sains lain juga memerlukan model untuk sains ini dapat beroperasi.

Sosiologi berjalan karena para sosiolog mengonstruksi model-model dalam memahami dan menafsirkan realitas sosial yang sebenarnya sangat rumit. Dalam sosiologi ada berbagai model: model fungsionalisme struktural, model konflik, model interaksionisme simbolik, dan model simbolik.

Dalam menghayati keberagamaan, kaum agamawan juga membangun dan memilih model-model. Ada model religiositas konservatif fundamentalis, ada model progresif liberal, dan model in-between, dan juga model religiositas mistikal.

Dalam menafsir kitab-kitab suci, para penafsir juga memakai model-model, tak ada yang puritan tanpa model. Dalam dunia tafsir kitab suci, ada model literalis a-historis, model historis kritis, model feminis, model sosial-saintifik, model naratif, model tanggapan-pembaca, dlsb.

Sebetulnya kita semua memakai model tertentu ketika kita memandang kenyataan dan mencoba memahaminya. Tanpa memakai model tertentu, realitas akan jadi tampak begitu rumit, tak terpahami, tak dapat dijelaskan dan tak dapat dijalani.

Model adalah penyederhanaan cerdas atas realitas objektif yang sebenarnya rumit supaya kita bisa memahaminya dengan baik dan memberi respons. Model adalah semacam “kaca mata kognitif” yang kita pakai untuk dapat melihat, merangkum dan menafsirkan dunia ini secara terfokus dan bermakna minimal buat diri kita sendiri.

Jadi, aksioma dan model yang dipakai dalam dunia sains membuat sains dapat beroperasi dalam memahami jagat raya, dan sama sekali tidak mendelegitimasi sains.

Hingga sejauh ini, saya telah memperlihatkan tidak mungkin sama sekali seorang saintis menjadi seorang fundamentalis berkacamata kuda. Label “fundamentalis sains” adalah sebuah istilah yang kontradiktif pada dirinya sendiri, ada sebagai oxymoron hanya dalam retorika dan propaganda politik ad hominem.

Tapi melabelkan seorang beragama sebagai “fundamentalis religius” adalah label yang berdasar pada realitas, dan di Indonesia nyaris setiap hari kita lihat sepak terjang mereka yang berwacana membuta tentang keyakinan-keyakinan keagamaan mereka, dan yang bertindak terhadap sesama manusia dengan melawan akal sehat dan nilai-nilai humanis universal.

Bagaimana dengan istilah “saintisme” yang kerap juga dipakai orang untuk menuduh dunia sains sebagai dunia politik ideologis? Sains itu universal, tak pilih bulu, tak bersifat politis sektarian, dan bukan ideologi apapun. Coba anda temukan adakah ideologi politik sektarian dalam persamaan Einstein E=MC2? Atau, bisakah anda temukan sebuah ideologi politik sektarian dalam sebuah aksioma geometris Euklidean bahwa “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik dalam bidang datar” atau bahwa “jika ada sepotong garis lurus, maka sebuah lingkaran dapat dibuat dengan menjadikan potongan garis lurus ini jari-jari lingkarannya dan salah satu titik ujung potongan garis lurus ini pusat lingkarannya”? Jika anda bisa menemukannya, saya akan langsung meninggalkan dunia sains yang sudah saya geluti dua tahun terakhir ini!

Kata “saintisme” tak ada dalam dunia sains, tapi digunakan sebagai oxymoron (gabungan kata “sains” dan kata “isme”) oleh para pembenci sains sebagai retorika politis mereka. Begitu juga, sebutan-sebutan “sains politik”, “sains Nazi”, “sains Leninis”, “sains Kristen”, “sains Islam” atau “sains Hindu”, semuanya adalah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi hanya ada dalam retorika dan propaganda politis.

Tentu aplikasi sains dalam bentuk teknologi bisa dibisniskan dan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik dalam suatu negara. Tapi, membisniskan dan mempolitisasi pemanfaatan sains lewat teknologi tak ada hubungan langsung dengan sains sebagai sains.

Dalam politik, selain dalam agama, orang bisa berhaluan politik konservatif fundamentalis.

Karena sains bukan sebuah ideologi politik, mustahil seorang saintis menjadi fundamentalis sains. Bisa saja seorang saintis jadi berkacamata kuda dalam mempertahankan teori-teorinya yang sudah terbukti tidak akurat; tapi, jika dia bersikap demikian, kredibilitasnya sebagai seorang saintis akan langsung hilang, dan dia pasti akan terpental tanpa ampun dari komunitas saintifik dunia.

Jika istilah oxymoron “saintisme” dipaksa untuk digunakan, istilah ini jauh lebih nobel ketimbang istilah “fideisme”.

Dalam arti positifnya, “saintisme” mengacu ke sikap konsisten saintifik yang mencari kebenaran-kebenaran objektif hanya lewat sains dan metode saintifik.

Sebaliknya, “fideisme” mengacu ke sikap seorang religius berkacamata kuda, yang mau mati syahid demi iman (Latin: fidem) yang dipertahankannya mati-matian, yang diklaim mutlak benar tanpa didukung bukti apapun.

Jika harus memilih “saintisme” atau “fideisme”, saya dengan senang akan merangkul saintisme dan menolak fideisme. Saya percaya, siapapun yang sungguh-sungguh mau mencari kebenaran-kebenaran objektif, bukan kebenaran-kebenaran khayalan, orang yang mencarinya akan tiba di dunia sains dan akan tetap konsisten saintifik.

Pendek kata, label “fundamentalis sains” adalah sebuah oxymoron yang hanya ada dalam retorika politis para pembenci sains yang memakai argumentum ad hominem. END.

Catatan:

/1/ Lihat Alok Jha, “Peter Higgs criticises Richard Dawkins over anti-religious
‘fundamentalism”, The Guardian, 26 December 2012, pada http://www.guardian.co.uk/science/2012/dec/26/peter-higgs-richard-dawkins-fundamentalism?CMP=twt_gu. Lihat juga Richard Dawkins, How dare you call me a fundamentalist”, The Richard Dawkins Foundation for Reason and Science: News, 14 May 2007, pada  http://old.richarddawkins.net/articles/1071-how-dare-you-call-me-a-fundamentalist.

/2/ Lihat Jerry A. Coyne, Peter Higgs, the Boson Man, takes out after Richard Dawkins for the usual reasons, Why Evolution Is True blog, 27 December 2012, pada http://whyevolutionistrue.wordpress.com/2012/12/27/peter-higgs-the-boson-man-takes-out-after-richard-dawkins-for-the-usual-reasons/

/3/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010) hlm. 51.