Thursday, March 8, 2012

Beragamalah dengan modern!

Ada yang berkata kepada saya bahwa saya anti-agama. Saya jawab, "Anda salah besar!" Saya juga seorang beragama, cuma keberagamaan saya tak tradisional, tapi modern.

Bagi saya hidup beragama itu hidup dalam suatu ziarah intelektual yang tak pernah selesai. Masih dalam perjalanan panjang, belum tiba di finish.
Salah satu ciri modernitas adalah keterbukaan pada masa depan, progresivitas, menolak finalitas. Jadi kalau saya beragama secara modern, ya saya melihat Allah sebagai sebuah pertanyaan yang belum ada jawaban finalnya sekarang ini. Harus dicari terus.


Kitab suci adalah sebuah titik start, bukan titik finish!

Kalau kaum agamawan tradisional bilang Allah itu misteri, saya setuju betul, one hundred percent! Tapi saya berbeda dari kaum agamawan tradisional dalam perlakuan saya terhadap Allah sebagai misteri.

Kalau bagi kaum agamawan tradisional misteri Allah harus dijaga dan dilindungi, saya bersikap sebaliknya. Bagi saya yang beragama secara modern, justru misteri Allah harus terus-menerus ditemukan dan dipecahkan, dibuka terang-benderang. Allah sebagai misteri justru menantang saya untuk memecahkan misteri ilahi ini lewat berbagai cara, termasuk lewat sains.

Sains tak pernah berhenti, tak pernah mencapai finalitas, terus bergerak ke depan dengan dinamis. Meskipun dalam sains modern kita sudah memiliki hukum-hukum besi sains, keadaan ini tak menghentikan gerak maju sains.

Beragama secara modern menyebabkan konsep apapun yang ada tentang Allah sekarang ini, dipandang sebagai konsep yang belum final, konsep yang masih sementara.
Monoteisme, dengan demikian, bukan bentuk final agama, dan masih akan berganti di masa depan yang belum dicapai. Sebagai seorang modern, saya bersiap-siap mendapatkan ide-ide lain tentang Allah yang belum ada sekarang, ide-ide baru yang menakjubkan.

Bagi saya, agama-agama di masa depan akan dirumuskan secara baru totally dengan memakai parameter-parameter sains. Agama-agama yang ada sekarang akan bermetamorfosa, masuk ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi dan lebih menakjubkan.

Jadi, dilihat dari sudut pandang yang saya baru kemukakan, mengeksplorasi sains sebagai sains adalah tugas kaum agamawan juga. Sayangnya, banyak kaum agamawan telah memenjarakan diri mereka dalam tradisionalisme keagamaan, sehingga mereka bantut.

Nah, kalaupun saya menolak agama, agama yang saya tolak adalah agama yang sudah diubah menjadi kumpulan dogma yang membatu, fossilized religions. Agama-agama yang sudah difosilkan sebenarnya adalah pemberontakan dan penyangkalan terhadap Allah sendiri sebagai misteri besar.

Nah, kalau saya dibilang anti-agama, ya betul juga, dalam arti saya menolak agama yang sudah difosilkan, tapi memperjuangkan agama yang modern. Visi seperti yang saya ungkapkan ini tidak banyak dimiliki kaum agamawan di Indonesia.

Kaum agamawan tradisional banyak yang berpendapat bahwa  sejarah telah berakhir di dalam kitab suci. Kitab suci adalah akhir sejarah, itu kata kaum agamawan tradisional. Maksud mereka adalah bahwa awal dan akhir sejarah insani sudah ditulis dalam kitab suci mereka.

Tapi bagi saya yang berpikir modern, kitab suci adalah garis start untuk para atlit melesat ke masa depan yang tanpa akhir, bukan titik finish. Atau, kitab suci itu, bagi saya, ibarat sebuah tangga untuk naik ke atas atap sebuah rumah. Sesudah sampai di atap, tangga dilepaskan, lalu berjalan sendiri ke depan dengan tenang, ke masa depan yang penuh tanda tanya.

Orang beragama yang berkomitmen untuk berjalan terus ke depan, akhirnya akan merangkul sains dengan happy. Jadi, sikap saintifik adalah juga sikap religius!

Itulah garis besar pemahaman saya mengenai hidup beragama. Tak tradisional, tapi modern. Mungkin anda terpesona. Semoga!