Friday, December 16, 2011

Beragama Sarkofobik Versus Beragama Sarkofilik



“Jangan membangun rumah di atas jembatan, tapi laluilah dengan baik!”  

Di atas adalah sebuah pepatah bijak kaum agamawan gnostik. 

Yang dimaksud dengan “jembatan” dalam pepatah ini adalah dunia jasmaniah yang sedang kita diami.  Dunia fisik yang kita kenal ada hanya untuk dilewati, ditinggali hanya untuk sementara saja, bukan sebuah rumah abadi. Dunia fisik tidak penting, bahkan tak bernilai, jika dibandingkan dunia non-fisik yang menjadi tujuan pamungkas kaum agamawan gnostik. Dunia non-fisik yang ada di seberang “jembatan” akan dimasuki ketika raga yang dipandang memenjara jiwa sudah ditanggalkan.

Kaum agamawan gnostik rindu masuk ke dunia non-fisik, dan ingin bersegera melepaskan raga mereka yang kini dipandang sedang memenjarakan jiwa mereka.

Saat raga sudah ditinggalkan lewat kematian fisik, dan dunia fisik sebagai sebuah jembatan sudah diseberangi, mereka masuk ke tahap rehat di dunia lain. “Rehat” adalah sebuah terma religius kaum agamawan gnostik yang menunjuk pada pengalaman keselamatan abadi di dunia non-fisik.

Apakah anda setuju dengan pandangan kaum agamawan gnostik bahwa dunia fisik dan  raga anda tak bernilai apa-apa dibanding dunia rohani dan jiwa/roh?

Pandangan dunia semacam itu dari kaum agamawan gnostik disebut sebagai pandangan yang sarkofobik, menolak daging/raga.

Lawan “sarkofobik” adalah sarkofilik, menyukai daging/raga.

Bagi kaum agamawan sarkofilik, dunia fisik dan tubuh mereka adalah benda-benda sangat penting, bernilai dan memiliki arti penting tersendiri.

Kaum agamawan sarkofilik sangat serius dengan dunia ini dan dengan tubuh mereka serta dengan waktu kehidupan mereka di dalam dunia ini. Nilai terpenting kehidupan keagamaan ada justru ketika kaum agamawan sarkofilik masih hidup secara ragawi dalam dunia fisik masa kini.

Bagi kaum agamawan sarkofilik, agama ada justru untuk kehidupan sekarang dalam raga di dalam dunia fisik sekarang ini. Wawasan-wawasan sarkofilik mendorong kaum agamawan untuk berprestasi besar dan agung sementara mereka masih hidup dalam dunia ini.

Bagi kaum agamawan sarkofilik, hadiah surga atau ancaman neraka sesudah kematian sama sekali tak menarik dan tak menakutkan mereka. Mereka justru takut kalau-kalau kehidupan mereka dalam raga di dalam dunia fisik sekarang ini tak menghasilkan prestasi apapun.

Surga yang harus diraih justru ada dan dialami sekarang ini dalam dunia fisik yang mereka sedang tinggali sebagai manusia yang bertubuh. Neraka yang mengerikan justru mengancam bukan nanti setelah kematian, melainkan sekarang ini dalam dunia fisik ini.Yang satu harus dicapai, yang lainnya harus dihindari, justru sekarang ini.

Mereka berusaha keras untuk berprestasi besar dalam banyak bidang kehidupan karena  kehidupan ragawi dan dunia ini sangat bernilai pada dirinya sendiri.

Pada pihak lain, kaum agamawan gnostik ingin cepat-cepat meninggalkan dunia fisik sekarang ini dan masuk ke dunia lain yang non-fisik. Dus, eskapisme menjadi bagian sentral dari pandangan dunia keagamaan kaum agamawan gnostik.

Kalau kaum agamawan sarkofilik mengejar pengetahuan fisik untuk membangun dunia masa kini, kaum agamawan gnostik sebaliknya mencari pengetahuan rohani.

Sesuai dengan sebutan untuk diri mereka, pengetahuan yang mereka kejar dinamakan gnosis, sebuah kata Yunani yang berarti “pengetahuan”. “Gnosis” adalah pengetahuan spiritual yang perlu mereka temukan dan miliki, yang membuat mereka tercerahkan dan mengetahui bagaimana cara mencapai rehat abadi.

Keseluruhan gnosis yang mereka pegang mengarahkan mereka ke tujuan pamungkas mereka: lepas dari raga, masuk ke dalam rehat abadi di dunia lain.

Dalam gnosis diajarkan:

  • bahwa raga itu penjara jiwa, raga buruk dan tak abadi, jiwa abadi, jiwa berasal dari dunia atas adikodrati yang tak bisa binasa;
  • bahwa jiwa-jiwa yang sekarang terkurung dalam tubuh adalah percikan-percikan cahaya dan sempalan-sempalan dzat ilahi Yang Maha Agung suprakosmik;
  • bahwa oleh karena tertipu oleh berbagai hal ragawi dan duniawi dan anasir-anasir jahat, jiwa-jiwa menjadi mabuk dan tertidur sehingga lupa asal-usul ilahi mereka;
  • bahwa jiwa-jiwa yang sedang tertidur dan mabuk itu, sehingga lupa rumah sejati mereka, harus disadarkan kembali lewat berbagai cara dan media;
  • bahwa meditasi dan pengarahan mata batin ke dalam bagian terdalam relung batin, akan membuat mereka menemukan jati diri asli mereka;
  • bahwa lewat tapa brata, samadhi, dan penaklukan semua dorongan indrawi dan ragawi, mereka akan makin mampu menarik diri lepas dari penjara ragawi;
  • bahwa lewat askese, selibat dan kehidupan menyendiri, mereka akan makin bisa menjauhkan diri dari penjara dunia fisik, lalu masuk ke dunia non-fisik;
  • bahwa kerinduan besar jiwa untuk kembali menyatu dengan dzat ilahi Yang Maha Agung Suprakosmik, adalah inti terdalam perasaan religius;
  • bahwa jiwa itu, kendatipun sedang terpenjara, suci dan tak bernoda, sehingga setiap manusia gnostik harus menjaga kesucian batin dan jiwa mereka.
Untuk menjaga kesucian batin dan jiwa, mereka harus terus-menerus berperang melawan segala sesuatu yang duniawi dan ragawi indrawi.

Kalau mereka mendisiplinkan diri untuk hidup suci dan tak bernoda, hal ini bukan karena kehidupan ragawi dipandang sangat bernilai pada dirinya sendiri, tetapi karena mereka tak mau menjadi serupa dengan dunia ini yang dipandang bernilai negatif dan memenjara.

Kalau seorang gnostik tak mau korupsi, misalnya, hal ini dilakukan bukan karena dia mau membangun suatu kehidupan bangsa dan negara yang bersih, melainkan karena mereka tak mau membuat jiwa mereka ternoda oleh hal-hal kedagingan dan keduniawian. Motif mereka hidup suci tak dimaksudkan untuk membawa perubahan struktural-sistemik dalam suatu negara, tapi hanya untuk menjaga jiwa mereka tetap bersih.

Dari praktek kehidupan suci manusia-manusia gnostik, mustahil perubahan struktural-sistemik terjadi dalam suatu negara. Kenapa? Seperti raga, dunia ini dan juga negara dipandang oleh mereka sebagai penjara-penjara jiwa semata, dus tak ada nilai positif pada dirinya sendiri. Alih-alih ingin membarui dunia dan negara demi generasi masa depan, manusia gnostik malah ingin raga, negara dan dunia ini dimusnahkan segera.

Sebaliknya, kaum agamawan sarkofilik ingin membarui dunia dan negara supaya generasi masa depan dapat hidup dengan lebih baik dan lebih sejahtera. Kalau kaum agamawan sarkofilik menjalani suatu kehidupan yang suci, ini dilakukan bukan karena mereka menolak dan membenci segala hal yang ragawi, tapi karena mereka tahu bahwa akhlak dan moral yang baik akan memperkuat ketahanan sebuah negara dan bangsa. Tak berlebihan jika dinyatakan bahwa bagi seorang agamawan sarkofilik, kesucian batin pribadi jauh kalah penting dibandingkan kesucian masyarakat.

Pada pihak lain, pandangan yang negatif terhadap raga dan dunia ini dapat menimbulkan suatu praktek kehidupan libertinis yang melawan moral yang sehat. Seorang gnostik, karena menolak daging dan dunia ini, dapat hidup sembarangan dan tidak bermoral. Kenapa? Karena dengan hidup sembarangan dan tak bermoral, mereka menganggap mereka telah berhasil menginjak-injak dan mempermainkan hal-hal indrawi dan ragawi, dan menganggap semua itu tak ada sama sekali. Sesuatu yang tidak real ada, tak akan berpengaruh apa-apa. Mereka beranggapan, semakin mereka dapat hidup tak bermoral, semakin jaya jiwa mereka meremehkan hal-hal ragawi dan indrawi. Suatu paradoks!

Nah, semua hal yang sudah diuraikan di atas, memperlihatkan ciri-ciri kehidupan keagamaan yang sarkofobik dan yang sarkofilik. Anda pilih yang mana? Saya dengan tegas memilih kehidupan keagamaan yang sarkofilik. Jika anda memilih kehidupan keagamaan yang sarkofilik, maka anda akan serius berjuang untuk menjadi seorang agamawan yang cerdas, sebab anda bermotivasi besar untuk membangun dunia dan peradaban insani, dan membuat kehidupan anda makin sehat dan makin bahagia dari waktu ke waktu. Untuk mencapai hal-hal ini, anda memerlukan kecerdasan.


oleh Ioanes Rakhmat
Jakarta, 16 Desember 2011