Wednesday, September 8, 2010

Pascal’s Wager (Pertaruhan Pascal):
Sebuah Note untuk Para Apologet Agama

Blaise Pascal mengajak kita bertaruh tentang Tuhan...

Dalam abad-abad lampau, sejarah Eropa memang mencatat ada sejumlah saintis Kristen, dan status mereka sebagai para ilmuwan Kristen kerap dipakai para apologet Kristen masa kini untuk menyatakan bahwa kekristenan sejalan dengan sains modern. Pernyataan apologetik ini keliru, sebab status sebagai orang Kristen hanya menyatakan bahwa sang ilmuwan ini atau itu beragama Kristen dan sama sekali bukan sebuah bukti bahwa kepercayaan Kristen selalu sejalan dengan sains modern. Malah dalam banyak segi, invensi-invensi di dunia sains yang dibuat para ilmuwan Kristen Eropa pada masa-masa lampau banyak bertabrakan dengan isi kepercayaan Kristen, misalnya heliosentrisme Kopernikus jelas sangat ditentang Gereja Roma Katolik pada masa itu, dan seorang fisikawan Italia, Galilelo Galilei (1564-1642), tampil sebagai seorang saintis Kristen yang mendukung heliosentrisme, dan akibatnya dia diserahkan ke Inkwisisi Roma dan dikenakan tahanan rumah sampai akhir kehidupannya, setelah sebelumnya diancam akan dijatuhi hukuman. Pada masa kini, bagian terbesar orang Kristen di seluruh dunia, karena skripturalisme dan literalisme yang mereka pegang, memilih mempercayai dogma kreasionisme dan dogma intelligent design (ID) sementara kedua gagasan dogmatik ini bertabrakan dengan sains evolusi kosmologis dan sains evolusi biologis modern.

Mengapa para saintis Eropa itu, pada zaman mereka masing-masing, tetap Kristen, kendatipun pemikiran mereka sudah sedemikian maju? Tak lain karena mereka hidup pada suatu zaman yang tidak memberi pilihan lain selain harus tetap Kristen jika ingin memiliki akses ke fasilitas-fasilitas penyelidikan sains; ateisme pada masa itu belum menjadi suatu pilihan jalan hidup yang diterima masyarakat. Pada abad XXI ini, ada banyak saintis kebangsaan Amerika Serikat memilih menjadi ateis, karena pilihan menjadi ateis sudah terbuka dan diterima semakin banyak orang (ada 850 juta sampai 1,2 milyar orang ateis dewasa ini di level global). Tetapi harus dipahami bahwa ateisme mereka tidak ada hubungannya dengan sains, sebab sains itu bukan ideolog ateisme, dan tentu juga bukan ideologi teisme. Sains tidak berhubungan baik dengan teisme maupun dengan ateisme, sebab sains bukan ideologi apapun. Sebaliknya, pada level rakyat kebanyakan yang bukan ilmuwan, 85 persen orang Amerika pada masa kini sangat saleh beragama sementara USA sendiri adalah suatu negara sekular (yang memisahkan agama dari politik), dan dogma kreasionisme dan ID terus-menerus diperjuangkan kalangan Kristen fundamentalis USA untuk diizinkan oleh negara diajarkan di sekolah-sekolah umum.


BLAISE PASCAL

(Bagian ini diterbitkan di Koran Tempo edisi 10 Oktober 2010, hlm. A21, dengan judul Pertaruhan Pascal; untuk lihat, klik di sini.)

Blaise Pascal (1623-1662) adalah seorang matematikus dan fisikawan Perancis, beragama Katolik. Dia juga seorang penulis dan inventor terpandang pada zamannya. Pada 23 November 1654, Pascal mengklaim mengalami suatu pengalaman “mistikal” yang membuatnya memutuskan diri untuk meninggalkan dunia sains lalu mengabdi pada penyelidikan filosofis dan teologi.


Pascal terkenal dengan apa yang dinamakan “Pertaruhan Pascal” (Pascal’s Wager). Katanya, jika orang percaya pada Tuhan, kepercayaannya ini tidak akan merugikan dirinya jika ternyata nanti Tuhan tidak ada, dan akan sangat menguntungkan dirinya jika ternyata Tuhan ada karena dia akan dihadiahi surga. Sebaliknya, jika orang tidak percaya pada Tuhan, dia memang tak akan rugi juga jika ternyata nanti Tuhan tak ada; tetapi jika Tuhan ada, dia akan mengalami kerugian besar karena dia akan dihukum Tuhan di api neraka yang kekal karena ketidakpercayaannya. Jadi, kata Pascal, percayalah kepada Tuhan.

Pertaruhan Pascal ini sering dipakai kalangan apologet religius masa kini untuk menyerang para saintis yang sudah meninggalkan agama sebagai suatu jalan keselamatan. Karena itu, penting sekali untuk Pertaruhan Pascal ini dikritik.

Nah, jika Pascal bukan beretorika dengan pernyataannya di atas, melainkan serius, maka ada beberapa problem besar dengan pertaruhannya ini yang patut dipikirkan para apologet religius masa kini supaya mereka tidak terus saja memakai Pertaruhan Pascal untuk menyerang tanpa daya kalangan saintis yang sudah meninggalkan kepercayaan kepada suatu agama.

Pertama, beriman seperti dianjurkan Pascal adalah beriman sangat egoistik, yakni hanya sekadar untuk diri sendiri terluput dari ancaman penghukuman oleh Allah di api neraka abadi. Orang yang beriman semacam ini tidak akan menghasilkan prestasi besar apa pun bagi pembangunan kemanusiaan dan peradaban, karena hidup bagi mereka semata-mata tertuju ke akhirat dan di akhirat mereka harus masuk surga. Kepedulian mereka terhadap kehidupan masa kini dalam dunia ini tidak ada, kalau pun ada sangat minim. Mereka hanya menaruh kepedulian terhadap “roh” manusia, tetapi sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap “badan” manusia.

Kedua, beriman semacam yang dianjurkan Pascal dapat membuat orang berpura-pura beriman, menipu Allah yang diimaninya hanya supaya si orang beriman ini luput dari hukuman Tuhan di akhir zaman. Kalaupun seorang saintis tetap beragama, Pertaruhan Pascal ini, jika diterima olehnya, akan membuat si saintis ini memutuskan untuk menjalani kehidupan dalam dua dunia terpisah: dunia sains yang anti-Allah di hari-hari kerja, dan dunia rohani di hari suci agamanya.

Ketiga, Allah yang diimani dengan iman semacam ini tak pelak lagi adalah suatu allah yang boleh dikata dungu, yang tak maha tahu, yang tidak tahu bahwa dirinya hanya menjadi sebuah objek pertaruhan manusia yang introvert dan egoistik. Apa yang dapat diharapkan manusia beragama dari suatu allah yang dungu, selain kedunguan juga? Apa yang diharapkan dari suatu agama yang dungu, selain hanya masyarakat yang diperbodoh?

Keempat, Allah dalam Pertaruhan Pascal ini tampil sebagai suatu Allah yang picik dan tak bijaksana, yang di akhir zaman hanya akan memperhitungkan ada atau tidak adanya kepercayaan personal seseorang kepada diri-Nya dalam menentukan nasib akhir orang ini di kehidupan akhirat. Semua prestasi seseorang dalam banyak aspek kehidupan yang non-agamawi di mata Allah semacam ini sama sekali tidak berharga. Allah semacam ini adalah suatu Allah yang “sola-fideistik”, yang hanya mengutamakan iman keagamaan seseorang, dan akibatnya suatu Allah yang “nihilistik”, yang tidak menghargai sama sekali semua prestasi non-agamawi si orang beragama selama kehidupannya dalam dunia.

Kelima, daripada percaya pada suatu Allah yang tidak pasti ada, yang bisa dipertaruhkan, orang lebih baik memilih tak percaya, lalu menyusun sekian argumentasi tentang ketakberadaaan Allah ini yang nanti, jika Allah ternyata ada, dapat dibeberkan di hadapan-Nya dengan jujur. Bukankah Allah, jika memang Dia adalah Allah yang baik, akan lebih menyayangi orang jujur di akhir zaman ketimbang orang yang menjadikan diri-Nya objek pertaruhan?

Keenam, Allah yang dipikirkan Pascal adalah Allah dalam kepercayaan apokaliptik Yahudi-Kristen (dan, belakangan, Islam) yang akan berperan sebagai sang Hakim di akhir zaman untuk mengadili semua orang berdasarkan ada atau tidaknya kepercayaan dan penyerahan diri total kepada-Nya dan apakah mereka semasa kehidupan di muka Bumi tidak berlaku jahat kepada umat milik Allah ini. Konsep teologis apokaliptik tentang Allah pembalas semacam ini semula diciptakan oleh suatu umat yang sedang mengalami penganiayaan oleh suatu bangsa lain yang tidak mengenal Allah ini. Karena umat yang dianiaya ini lemah posisinya dibandingkan kekuatan pihak penganiaya, umat yang teraniaya ini menunggu suatu pembalasan setimpal yang dipercaya akan Allah lakukan kepada musuh umat ini di akhir zaman. Dengan kata lain, konsep teologis apokaliptik semacam ini lahir dari kebencian mendalam dan kekal suatu umat terhadap umat lainnya, dan Allah diangkat sebagai sang Algojo yang akan membela umat teraniaya ini. Jadi, jika manusia harus berbicara dari kesadaran nuraninya, manusia harus bertanya, apakah Allah yang dikonsep semacam ini harus dipercaya ada atau malah keberadaan-Nya sama sekali harus ditolak.

Ketujuh, karena keberadaan Allah dipertaruhkan, maka, logisnya, belum tentu Allah yang akan menghakimi si orang beragama adalah Allah yang dia percaya yang menjadi isi kepercayaan agamanya selama kehidupan di muka Bumi, melainkan bisa Allah lain yang dia tidak kenal dan dia tidak sembah. Jadi, jika nantinya yang akan menghakimi adalah suatu Allah lain yang tidak dikenal, Allah ini tetap akan menghukum dirinya kendatipun si saleh selama kehidupan di muka Bumi sudah menyembah Allah, karena dia menyembah suatu Allah yang salah atau suatu Allah yang lain. Akan bisa terjadi bahwa nanti di akhir zaman, yang akan mengadili orang Kristen, misalnya, ternyata Dewa Zeus, dan bukan Tuhan Yezus.

Itulah tujuh poin keberatan terhadap Pascal’s Wager. Keberatan-keberatan saya ini dilandaskan pada logika saja, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela ateisme, sebab bagi saya ateisme dan teisme sama-sama bisa buruk, bisa radikal, bisa fundamentalis, dan bisa dungu. Keduanya bisa sama-sama menjadi penjara-penjara kokoh atas pemikiran bebas.


Oleh Ioanes Rakhmat