Monday, September 20, 2010

“Tubuh” Yesus Yang Bangkit menurut Rasul Paulus


Kebangkitan Yesus, suatu konvergensi warna-warni berbagai faktor


Orang yang berhak, dan pantas, menduduki posisi utama dan tertinggi dalam hierarki kepemimpinan gereja-gereja awal  yang berdiri tak lama sesudah kematian Yesus, haruslah orang yang diberi kesempatan istimewa dan khusus untuk berjumpa tatap muka dengan Yesus yang sudah dibangkitkan! Maka disusunlah kisah-kisah semacam ini!

N.B. diedit 8 April 2021
20 September 2010

Pendahuluan

Untuk mengkaji topik yang menjadi judul tulisan ini, secara metodologis orang haruslah tidak memulainya dari teks-teks injil-injil Perjanjian Baru, melainkan harus dari teks-teks Rasul Paulus yang ditulis beberapa dekade sebelum penulisan kitab-kitab injil. 

Akan ditelusuri dalam tulisan ini ihwal apa yang dimaksud Rasul Paulus pada masanya ketika dia menyebut “tubuh rohaniah” (Yunani: sōma pneumatikon) sebagai tubuh yang dimiliki Yesus setelah Dia dibangkitkan dari antara orang mati. 

Untuk menemukan apakah gagasan Paulus tentang “tubuh rohaniah” sebagai tubuh orang yang sudah dibangkitkan dari kematian tetap bertahan pada era sesudahnya, kisah-kisah injil Perjanjian Baru tentang penampakan-penampakan diri Yesus sesudah kebangkitan-Nya juga harus diperhatikan.

Orang Kristen umumnya cenderung mengelak ketika kepada mereka ditanyakan bagaimana atau apa wujud “tubuh rohaniah” yang digagas Rasul Paulus. Bagi mereka, wujud atau rupa atau hakikat tubuh semacam ini berada di luar pengetahuan manusia, tak dapat dijangkau oleh sains, sehingga tinggal hanya dipercaya keberadaannya dan juga tinggal diharapkan dimiliki nanti di akhir zaman ketika orang-orang Kristen yang sudah mati dibangkitkan, untuk dipersatukan dengan Yesus Kristus dan diberi tubuh yang sama dengan tubuh-Nya yang mulia. 

Tapi tak sedikit juga orang Kristen memgembangkan imajinasi mereka dengan liar sehingga jadilah “tubuh rohaniah” ini dipandang sebagai gabungan atau hibrid tubuh jasmaniah (tubuh protoplasmik) yang dimiliki selama kehidupan mereka di dunia dan “tubuh kemuliaan” yang, kata mereka, akan diberi hanya ketika mereka sudah dibangkitkan dan masuk sorga.

Penggabungan seperti itu pastilah didorong oleh suatu kesadaran bahwa jika Yesus yang telah dibangkitkan masih sepenuhnya memiliki tubuh organik biologis (tubuh protoplasmik) yang sama dengan tubuh sebelum Dia dibangkitkan, maka Yesus yang sudah dibangkitkan pastilah akan mati lagi (ini suatu hukum biologis yang tak terelakkan). Menurut Paulus, setelah dibangkitkan dan menerima tubuh kebangkitan, Yesus tidak mati lagi, maut tidak berkuasa lagi atas Yesus (Roma 6:9). Dengan kata lain, Paulus mau menegaskan bahwa tubuh Yesus yang sudah dibangkitkan bukan tubuh biologis protoplasmik.

Ya, jika Yesus yang sudah mati, dihidupkan atau dibangkitkan lagi dengan tubuh atau daging yang sama, atau mayat Yesus dihidupkan lagi, namanya bukan "resurrection", tapi "resuscitation". 

Betul sekali bahwa "bodily resurrection" hanya akan membuat Yesus mati lagi sesudah kebangkitan-Nya. Konsekuensi logis ini mereka mau atasi dengan berbagai cara imajinatif. Ya, baguslah. Setiap teologi memang memerlukan imajinasi yang kreatif.

Pada kesempatan ini sesungguhnya mau ditunjukkan bahwa wujud atau hakikat “tubuh rohaniah” yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus dapat ditemukan lewat kajian-kajian kritis lintasilmu atas teks-teks Perjanjian Baru yang relevan, sebagaimana akan diperlihatkan dalam uraian berikut. 

Juga akan diperlihatkan terjadinya pergeseran atau perubahan pandangan mengenai wujud “tubuh kebangkitan”: semula (oleh Paulus) dipercaya hanya “rohaniah”, tetapi kemudian dipandang bersifat “ragawi” atau “material” (seperti dipercaya para penulis injil-injil Perjanjian Baru). 

Pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah mengapa pergeseran pandangan ini terjadi. Faktor-faktor apa saja yang telah berperan? 

Tulisan ini bukan tulisan tentang iman pada kebangkitan Yesus, melainkan tentang mengapa dan bagaimana iman ini bisa muncul, dengan memakai pendekatan lintasilmu.

Dari mana Rasul Paulus memperoleh injilnya?

Baiklah kita mulai dengan sebuah pernyataan Rasul Paulus dalam surat Galatia 1:11-12 ihwal sumber injil yang diberitakannya.

“Sebab aku menegaskan kepadamu, Saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah Injil menurut manusia. Karena aku tidak menerima (Yunani: paralambanō) Injil ini dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya melalui penyataan (Yunani: di’ apokalupseōs) Yesus Kristus.”

Kata kerja paralambanō (= menerima) dapat berarti menerima suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis dari orang lain sebelumnya tentang suatu kejadian historis. Tetapi dalam teks Galatia 1:11-12 ini Rasul Paulus dengan sangat jelas menyatakan bahwa dia menerima injil bukan dari manusia, melainkan dari “penyataan” (atau “wahyu”; Yunani: apokalipsis) yang disampaikan oleh Yesus Kristus kepadanya.

Bagaimana cara Rasul Paulus menerima penyataan dari Yesus Kristus? Paulus dalam 1 Korintus 9:1, melalui sebuah pertanyaan retoris, menyatakan bahwa dia telah melihat (horaō) Tuhan. Menurut lexikon BDAG/1/, kata kerja horaō selain berarti “melihat dengan mata”, juga berarti “melihat suatu penglihatan” atau “melihat secara mental atau secara spiritual.”

Dalam 2 Korintus 12:1-4 Rasul Paulus mengisahkan tentang seseorang, yang tidak lain adalah dirinya sendiri, yang telah menerima “penglihatan-penglihatan (optasias) dan penyataan-penyataan (apokalupseis)” “dari Tuhan” (kyriou) ketika dirinya, empat belas tahun sebelumnya, mengalami suatu perjalanan mistik masuk ke langit ketiga, ke Firdaus, dan di Firdaus ini dia “mendengar kata-kata yang tak terkatakan, yang tak boleh diucapkan manusia.”

Tampaknya apa yang dimaksud Paulus tentang hal-hal “yang tak terkatakan dan yang tak boleh diucapkan manusia” itu adalah injil yang diterima dan diberitakan olehnya. Dalam Roma 16:25-26 kita baca,

“Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan penyataan (apokalupsis) rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan (fanerōthēnai) dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman.”

Jadi, kita dapat dengan pasti menyatakan bahwa injil yang Rasul Paulus beritakan adalah injil yang diterimanya melalui suatu penyataan atau penglihatan mistikal, bukan melalui suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu peristiwa sejarah, yang disampaikan kepadanya lewat orang lain. 

Selain itu, melalui penafsiran kitab-kitab para nabi, injil ini dapat ditemukan, karena sebelumnya, pada zaman lampau, injil ini telah diberitakan oleh para nabi dalam kitab-kitab mereka atas perintah Allah. 

Jadi, Rasul Paulus menemukan apa isi injilnya lewat pengalaman mistikal dan lewat penafsiran (midrash) teks-teks para nabi Perjanjian Lama. 

Dia menafsirkan pengalaman mistikalnya lewat metode midrash, sesuai dengan praktek-praktek kalangan terpelajar di "sekolah-sekolah" agama pada masanya yang mencari teks-teks dalam kitab suci Ibrani lalu mencocokkan teks-teks tersebut dengan hal-hal atau kejadian-kejadian tertentu yang dialami.

Selanjutnya, tentang injil yang diberitakannya, dalam 1 Korintus 15:1-9 Rasul Paulus menulis:

“(1) Dan sekarang, Saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri…. (3) Sebab yang sangat penting telah kusampaikan (paredōka) kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima (parelabon) sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan kitab suci (kata tas grafas), (4) bahwa Dia telah dikuburkan, dan bahwa Dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci; (5) bahwa Dia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. (6) Sesudah itu Dia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. (7) Selanjutnya Dia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. (8) Dan yang paling akhir dari semuanya Dia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti anak yang lahir sebelum waktunya. (9) Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah.”

Dalam 1 Korintus 15:3 yang sudah dikutip di atas, Paulus menyatakan bahwa dia “menyampaikan” (paradidōmi) apa yang dia telah “terima” (paralambanō). 

Tentu dua kata kerja ini, paradidōmi dan paralambanō, dapat berarti bahwa Paulus “menyampaikan” suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu kejadian historis, yang dia sebelumnya “telah terima” dari orang lain. 

Tetapi, seperti telah dicatat di atas, injil yang Paulus beritakan atau sampaikan bukanlah injil sebagai suatu tradisi yang dia telah terima dari orang lain (atau dari rasul-rasul sebelumnya), melainkan injil yang dia telah terima melalui suatu penyataan mistikal yang diberikan Yesus Kristus, dan yang maknanya dapat ditemukan melalui penafsiran kitab suci, khususnya kitab-kitab para nabi. 

Konsisten dengan ini, dalam 1 Korintus 11:23-26, ketika mengacu ke perjamuan malam Yesus Kristus, Rasul Paulus membuka ucapannya dengan perkataan: “Sebab apa yang telah kuteruskan (paredōka) kepadamu, telah aku terima (parelabon) dari Tuhan….”

Dan injil yang dia telah terima ini, dia juga telah sampaikan bukan sebagai sebuah tradisi atau sebuah ajaran dari orang lain, melainkan sebagai ajarannya sendiri, yang berasal "dari Tuhan" di Firdaus. 

Kata benda paradosis (dari kata kerja paradidōmi), yang menurut BDAG berarti “tradisi atau isi ajaran yang disampaikan kepada orang lain,” dalam 1 Korintus 11:2 dan 2 Tesalonika 3:6 menunjuk ke tradisi atau ajaran langsung dari Rasul Paulus sendiri. Dalam 1 Tesalonika 4:2 Paulus menyebut “petunjuk-petunjuk” (paraggelias) yang dia sendiri telah berikan kepada jemaat atas nama atau dalam kewibawaan Tuhan Yesus.

Dalam 1 Korintus 15:3-4 Rasul Paulus memperinci apa isi injil yang diberitakan olehnya, yakni:

• bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci,

• bahwa Dia telah dikuburkan, dan

• bahwa Dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci.

Dalam ayat-ayat ini dengan jelas Rasul Paulus menyatakan bahwa isi injilnya ini adalah “sesuai dengan kitab suci”, kata tas grafas, yang juga berarti “sebagaimana kita ketahui dari kitab suci”, yang ditafsirkan secara baru dan diinspirasi atau diilhami atau dinafasi atau “dibuat hidup” oleh Roh Kudus. 

Earl Doherty/2/ menyatakan bahwa teks-teks profetis dalam Perjanjian Lama yang mengilhami Rasul Paulus untuk memberi isi pada injilnya adalah Yesaya 53 (tentang kematian yang menebus dosa), Hosea 6:2 (tentang kebangkitan setelah tiga hari), Mazmur 119:120; Mazmur 22:16; dan Zakharia 12:10.

Dalam 1 Korintus 15:4b Rasul Paulus mengungkapkan isi salah satu bagian dari injilnya, yakni bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci. Sudah ditegaskan di atas bahwa injil yang Paulus beritakan tidak diterima olehnya dari suatu tradisi historis (lisan atau pun tertulis), tetapi lewat suatu penglihatan mistikal yang diberikan oleh Yesus Kristus, dan melalui suatu pembacaan secara baru atas kitab-kitab para nabi. 

Jadi, ringkasnya, injil yang disampaikan Paulus bahwa Kristus telah dibangkitkan pada hari ketiga sama sekali bukan sebuah kabar baik yang disampaikan berdasarkan suatu kejadian sejarah yang dia saksikan sendiri, tetapi berdasarkan suatu visi atau penglihatan mistikal dan melalui pembacaan kristologis secara baru Hosea 6:2.

Peristiwa hanya dalam iman

Jika halnya demikian, seperti dilihat oleh Earl Doherty,/3/ pantaslah jika di beberapa tempat dalam surat-suratnya Rasul Paulus dengan sangat jelas mengindikasikan bahwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati adalah suatu perkara dalam dunia iman saja, bukan suatu kejadian sejarah dalam suatu dunia objektif material. Mari kita perhatikanlah teks-teks lainnya, sebagai berikut:

“Karena jika kita beriman bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita beriman juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1 Tesalonika 4:14)

“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” (Roma 10:9)

“Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sia juga kepercayaan kamu…. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu.” (1 Korintus 15:14, 17a)

Tubuh rohaniah etherial

Karena kebangkitan Yesus Kristus, sebagai salah satu isi injil Paulus, adalah sesuatu yang diketahuinya lewat pengalaman penglihatan atau lewat suatu visi mistikal yang diberikan Yesus Kristus, maka “tubuh” Yesus yang sudah dibangkitkan, yang diklaim “dilihat” Rasul Paulus (1 Korintus 9:1; 15:8), tentu bukanlah suatu tubuh material protoplasmik yang dimiliki oleh setiap manusia biasa. Sudah dicatat di atas, bahwa Rasul Paulus mengklaim dirinya “melihat” Tuhan (1 Korintus 9:1), “melihat” dalam arti spiritual dan mental, bukan dengan mata jasmaniah biasa. 

Maka tepatlah jika Rasul Paulus menyebut “tubuh” kebangkitan sebagai “tubuh rohaniah” (sōma pneumatikon) yang berbeda dari tubuh alamiah atau tubuh jasmaniah (sōma psukhikon) (1 Korintus 15:44), atau sebagai “tubuh sorgawi” (sōma epouranios) yang berbeda dari tubuh duniawi (sōma epigeios) (ayat 40). Di sini, Paulus tidak berbicara tentang biologi, tapi tentang teologi.

Dalam Filipi 3:20-21, Rasul Paulus juga menyebut “tubuh kebangkitan” Yesus sebagai tubuh non-material, “tubuh yang mulia” (to sōma tēs doksēs). 

Di luar surat-surat asli Paulus, rujukan kepada “tubuh rohaniah” atau “tubuh sorgawi” Yesus-yang-bangkit ditemukan antara lain dalam 1 Petrus 3:18-22 (“Dia [= Yesus Kristus], yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi telah dibangkitkan menurut roh [pneumati]), dalam Efesus 1:20 (“… dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga”), dan dalam Ibrani 10:12; 13:20 yang menunjukkan penulisnya tidak mengenal konsep tentang kebangkitan daging.

Kembali ke pertanyaan ini: Bagaimana wujud “tubuh rohaniah” yang dibayangkan Rasul Paulus ini, yang bukan “tubuh berdaging” atau “tubuh jasmaniah”, yang dapat “dilihat” olehnya lewat suatu visi atau penglihatan mistikal? Tentang ini, Richard Carrier membuat sebuah obervasi menarik berikut:

“Gagasan bahwa jiwa tidak memiliki massa, bahwa jiwa bukan ‘tubuh’ dengan lokasi, yang terbuat dari materi, tidaklah lazim di dunia kuno, tidak seperti pada zaman sekarang. 

Sebetulnya, gagasan umum tentang suatu jiwa yang tak memiliki massa, jiwa yang immaterial, pada dasarnya adalah suatu produk pemikiran Abad Pertengahan, meskipun gagasan ini telah memiliki suatu tempat embrionik di dalam Platonisme dan kultus-kultus pagan tertentu. 

Jadi, adalah mungkin bahwa Paulus dan orang-orang Kristen perdana lainnya percaya bahwa sang Kristus yang telah bangkit memiliki sebuah ‘tubuh’ baru, meskipun kini terbuat dari bahan yang tak bisa binasa…. 

Pada masa kehidupan Paulus, tubuh baru ini pastinya dipandang terbuat dari zat etherial murni dan homogen, zat-zat yang membentuk kawasan angkasa, yang umum dikenal oleh semua pemikir pada masa itu sebagai satu-satunya zat yang tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat berubah, di dalam jagat raya.”/4/

Nah, “tubuh etherial” semacam ini, yakni “tubuh rohaniah” namun memiliki “substans” atau “zat”, dipercaya oleh orang Yunani-Romawi pada era kekristenan perdana sebagai tubuh para dewa atau para malaikat. 

Relevan dengan ini, perlu diingat, dalam Markus 9:2-8 ada sebuah kisah tentang Yesus berubah rupa, mengalami transfigurasi (Latin: transfiguratio; Yunani: metamorfē), di sebuah gunung yang tinggi, pada saat mana juga muncul Elia dan Musa yang bisa “dilihat” oleh murid-murid Yesus yang hadir (Petrus, Yakobus dan Yohanes) dan, karena penglihatan ini, mereka mengalami ketakutan luar biasa; tetapi kedua orang zaman lampau ini kemudian menghilang lagi begitu saja.

Walaupun sama sekali tidaklah jelas bagaimana ketiga murid Yesus ini bisa mengenali wajah Elia dan Musa yang mereka tidak pernah jumpai, namun kejadian ini dikisahkan sedemikian rupa, dan pengisahan yang semacam ini harus membuat pembaca menyimpulkan bahwa peristiwa yang dikisahkan ini adalah suatu peristiwa penglihatan atau suatu visi. 

Bisa jadi kisah ini semula adalah kisah tentang suatu penampakan Yesus sesudah kebangkitan-Nya (dalam tubuh-Nya yang sudah “berubah”, bertransfigurasi, mengalami metamorfē), yang dilihat para murid dalam suatu penglihatan mistikal. Kisah penampakan mustinya muncul di bagian-bagian akhir kitab-kitab injil; tetapi kisah yang satu ini ada di Markus 9. Salah penempatankah?

Yang sangat jelas dalam kisah ini, Elia dan Musa digambarkan masing-masing memiliki suatu “tubuh” yang tidak biasa, yang bisa dilihat namun sebentar kemudian lenyap begitu saja, yang kemunculannya juga tak diduga-duga sebelumnya oleh para murid penyaksi. Segera kita teringat pada kisah-kisah penampakan Yesus dalam bagian-bagian akhir kitab-kitab injil, yang paralel dengan kisah penampakan Elia dan Musa tersebut di atas.

Jadi, ada alasan untuk menyatakan bahwa konsep kuno tentang zat etherial alam semesta melatarbelakangi baik pemikiran Rasul Paulus tentang “tubuh rohaniah” yang dikatakannya sebagai tubuh Yesus yang sudah dibangkitkan, sebagai suatu prototipe “tubuh yang diubah” dari orang-orang lain yang nanti akan mengalami kebangkitan, maupun kisah transfigurasi Yesus dan penampakan Elia dan Musa dalam Markus 9:2-8. 

Tapi tentu saja harus dicatat, konsep kuno zat etherial semesta ini sudah usang, bahkan salah. Dalam zaman sekarang, kita tidak lagi berpikir bahwa alam semesta dipenuhi zat etherial,/5/ tetapi dipenuhi gelombang dan energi elektromagnetik dan partikel cahaya yang disebut foton, juga materi gelap, energi gelap, plasma, cahaya kosmik, dll. 

Dengan demikian, konsep Paulus tentang tubuh kebangkitan sebagai tubuh rohaniah ethereal juga sebuah konsep yang sudah usang, jika dilihat dari sudut fisika modern!

Tetapi jika kita harus percaya bahwa Rasul Paulus memang sungguh-sungguh “melihat” Yesus yang sudah bangkit dalam suatu penglihatan mistikal atau dalam suatu visi/6/, adakah alternatif lain untuk kita pikirkan sebagai “wujud” tubuh rohaniah ini, yang bukan tubuh etherial?

Antara “fantasma” dan “bodily resurrection”

Dalam hal ini, sebagaimana disarankan oleh James G. Crossley, teks Markus 6:49-50 patut dipertimbangkan./7/ 

Di perikop itu penulis Injil Markus menuturkan bahwa pada jam tiga malam murid-murid melihat Yesus berjalan di atas air, hendak melewati mereka yang sedang berperahu dengan susah payah karena angin sakal. Segera mereka mengira bahwa Yesus adalah fantasma (kata Yunani) atau "penampakan seperti kabut" atau "penampakan bayang-bayang". Sayangnya, oleh LAI fantasma diterjemahkan "hantu", yang sebetulnya bermakna lain, yakni roh jahat. Selanjutnya dikisahkan bahwa murid-murid Yesus berteriak-teriak karena kaget dan takut luar biasa. 

Teks ini menunjukkan bahwa pada era kekristenan perdana, ada kepercayaan bahwa fantasma itu terlihat, memiliki suatu wujud kongkret, dan melakukan gerakan-gerakan tanda hidup.

Tampaknya pada awalnya kepercayaan bahwa Yesus-yang-sudah-bangkit memiliki tubuh yang kasat mata sebagai fantasma, non-material tetapi berwujud (ghostly and bodily, atau apparition), sudah cukup meluas beredar. 

Tetapi penulis Injil Lukas (di tahun 85) merasa perlu untuk menangkis kepercayaan ini. 

Lukas menulis dalam pasal 24:36-43 bahwa untuk menepis sangkaan para murid-Nya bahwa Yesus sesudah kebangkitannya berubah menjadi “fantasma” atau “roh” (pneuma)/8/ yang kelihatan nyata, Yesus, dalam ayat 39, dibuat oleh Lukas berkata, “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabahlah Aku dan lihatlah, karena fantasma tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.” 

Dalam suratnya, Kepada Jemaat di Smyrna 3.2, Ignatius melaporkan perjumpaan Yesus yang sudah bangkit dengan murid-murid-Nya dalam suatu bentuk yang dekat dengan yang dikisahkan dalam Lukas 24:36-43, tetapi tidak menunjukkan ketergantungan:

“Dan ketika Dia datang kepada mereka bersama Petrus, Dia berkata kepada mereka: ‘Peganglah, sentuhlah Aku dan lihatlah bahwa Aku bukanlah fantasma tanpa tubuh.’ Maka mereka segera menyentuh-Nya dan percaya, bahwa Dia tampil utuh sebagai daging dan roh... Dan setelah kebangkitan-Nya, Dia makan dan minum bersama mereka sebagai suatu makhluk berjasad, meskipun Dia dipersatukan dalam roh dengan sang Bapa.”

Ringkas kata, pada era injil-injil Perjanjian Baru ditulis, beberapa dekade setelah masa aktif Rasul Paulus, “Yesus yang bangkit” tidak lagi dipahami dan dipandang sebagai Yesus yang memiliki “tubuh rohaniah”, yang hanya bisa dilihat lewat pengalaman visioner atau mistikal (seperti yang dialami Rasul Paulus), tapi sebagai Yesus yang memiliki tubuh kebangkitan yang nyata dan material.

Komunitas Yohanes dan komunitas Thomas 

Dalam injil-injil Perjanjian Baru, tubuh kebangkitan Yesus secara kronologis (mulai dari Injil Markus di tahun 70, sampai ke Injil Yohanes di tahun 95) digambarkan semakin material, dan paling nyata sifat materialnya dalam Injil Yohanes. 

Pengisahan yang makin material ini oleh para penulis injil, khususnya oleh penulis Injil Yohanes, tentu memiliki suatu maksud dan tujuan yang real.

Gregory J. Riley, dalam bukunya Resurrection Reconsidered,/9/ memperlihatkan bahwa perlawanan berbagai bentuk kekristenan gnostik terhadap gagasan kekristenan anti-gnostik (proto-ortodoks) tentang “kebangkitan ragawi” Yesus, telah mendorong ditulisnya kisah-kisah injil tentang penampakan Yesus secara ragawi dan material setelah kebangkitan-Nya. 

Kisah dalam Injil Yohanes tentang Rasul Thomas yang tidak mau percaya bahwa Yesus sudah bangkit secara ragawi kecuali kalau dia sudah bisa menyentuh daging dan bekas luka-luka Yesus, yang ditutup dengan sebuah pernyataan “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:24-29), menyingkapkan kontroversi yang timbul di sekitar ihwal tubuh kebangkitan Yesus antara komunitas (gnostik) Thomas dan komunitas Yohanes yang anti-gnostik atau anti-doketik. 

Dalam tahap belakangan perkembangannya, komunitas Kristen Thomas menjadi komunitas Kristen gnostik yang bermental “sarkofobik” atau “anti-raga” (menolak raga, dan memandangnya sebagai “penjara jiwa” yang harus dilepaskan jika orang ingin masuk ke dalam keselamatan). Pada tahap ini, komunitas Thomas tidak bisa menerima pandangan Kristen proto-ortodoks Perjanjian Baru bahwa Yesus dibangkitkan “secara ragawi”, bukan hanya secara rohaniah. Dalam Kitab Thomas 143.10f, termuat sebuah kutukan, “Celakalah kalian yang berharap pada daging, dan pada penjara yang akan binasa!”

Komunitas Thomas dan komunitas Yohanes tumbuh, tulis Riley, “dalam percakapan satu sama lain, yakni, dalam suatu kondisi perkembangan timbal-balik dan debat atas, antara lain, topik tentang kebangkitan ragawi.”/10/




Untuk memastikan bahwa Yesus sesudah kebangkitan-Nya memakai tubuh material, Rasul Thomas sampai harus mencucukkan jarinya ke bagian-bagian tubuh Yesus yang luka, yang sedang berdiri di antara sebelas rasul lainnya


Pertarungan kepemimpinan

Orang tak akan luput melihat bahwa pandangan Lukas bahwa Yesus bukan fantasma, tetapi bertubuh kongkret lengkap dengan daging dan tulang, malah juga bisa memakan sesuatu (Lukas 24:43; bdk. Yohanes 21:12-14), sudah jauh meninggalkan konsep Rasul Paulus yang tidak mengenal baik gagasan tentang “kubur kosong” maupun gagasan tentang “kebangkitan daging” dan “penampakan ragawi”. 

Gagasan-gagasan injil yang semacam ini, yang muncul belakangan, termasuk kisah-kisah penampakan Yesus yang sudah bangkit secara ragawi, sesungguhnya bisa dijelaskan kemunculannya secara sosiologis: gagasan-gagasan ini diajukan oleh para penulis injil-injil dalam Perjanjian Baru ketika para rasul utama dalam kekristenan perdana sedang terlibat dalam suatu pertarungan religiopolitis memperebutkan posisi utama dalam hierarki kepemimpinan gereja awal. 

Dalam pertarungan ini, orang yang berhak, dan pantas, menduduki posisi utama dan tertinggi dalam hierarki kepemimpinan gereja-gereja awal yang berdiri tak lama sesudah kematian Yesus, haruslah orang yang diberi kesempatan istimewa dan khusus untuk berjumpa tatap muka dengan Yesus yang sudah dibangkitkan! Maka disusunlah kisah-kisah semacam ini! 

Tafsiran sosiologis yang impresif ini dipertahankan banyak pakar Perjanjian Baru.

John Dominic Crossan berpendapat bahwa kisah-kisah injil dalam Perjanjian Baru tentang penampakan-penampakan Yesus dan tentang penyataan-penyataan yang diberikan-Nya, secara perlahan dan bertahap menggeser penekanan terhadap pemberian penyataan-penyataan ini secara konsisten dan hierarkis, mulai dari komunitas secara umum, lalu ke kelompok para pemimpin, sampai akhirnya ke hanya beberapa individu pemimpin khusus yang memegang otoritas apostolis./11/ 

Helmut Koester menyatakan, “kisah-kisah kesengsaraan yang ditulis, yang beredar, dan juga tulisan-tulisan yang menjadi injil-injil, menyingkapkan suatu kepentingan politis.”/12/ 

Werner Kelber juga menegaskan bahwa jenis kisah-kisah penampakan Yesus setelah kebangkitan-Nya, yang mengisi kitab-kitab injil Perjanjian Baru khususnya, cocok untuk menetapkan dan meningkatkan pengetahuan esoteris dan otoritas apostolis./13/

Dalam komunitas Yahudi-Kristen yang muncul dan berpusat di Yerusalem tak lama setelah kematian Yesus, figur yang dipandang sebagai saksi pertama dan utama atas kebangkitan Yesus, sebagaimana dikisahkan dalam Injil Orang Ibrani 9 (bdk. 1 Korintus 15:7), adalah Yakobus si Adil, “saudara Yesus” (lihat Galatia 1:19; Markus 6:3; Flavius Yosefus, Antiquitates 20.200), yang menjadi pendiri dan soko guru utama komunitas Yahudi-Kristen ini. 

Logika di balik tuturan itu jelas: karena pemimpin utama komunitas Yahudi-Kristen ini adalah Rasul Yakobus si Adil, maka kesempatan istimewa untuk menjadi saksi mata kebangkitan Yesus dan menerima wahyu, tentunya diberikan lebih dulu kepadanya, bukan kepada Maria Magdalena (yang menjadi saksi kebangkitan Yesus menurut Matius 28:1-10; Markus 16:9; Lukas 24:10; Yohanes 20:11-18) dan juga bukan kepada Rasul Petrus (yang menjadi saksi kebangkitan Yesus menurut 1 Korintus 15:5; Yohanes 20:1-10)./14/

Lintaszaman

Di lain pihak, dalam banyak kebudayaan kepercayaan pada adanya fantasma atau "penampakan bayang-bayang" (dari orang yang sudah mati) yang berjalan-jalan lalu menampakkan diri kepada manusia pasti dapat ditemukan, bahkan juga pada zaman modern sekarang ini. Bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan secara saintifik?

Dengan berdasar pada pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh antropologi lintas-budaya, lintas-agama dan psikososial, dan juga yang diperoleh dari kajian-kajian psikiatris modern terhadap kondisi-kondisi mental manusia ketika mengalami kedukaan dan kehilangan, Crossan menyimpulkan bahwa suatu visi atau suatu penglihatan mengenai fantasma, yakni mengenai orang yang sudah mati tetapi tampak hidup lagi dan aktif, adalah suatu kemungkinan yang umum terjadi pada manusia, suatu kemungkinan yang terhubung kuat, hard-wired, dengan fungsi otak kita, yang faktual terjadi di abad pertama dan di zaman modern./15/

Selain itu, dengan memperhatikan tulisan Virgil, Aeneid Buku 2, tulisan Justinus Martyr, 1 Apology 21, dan juga suatu bagian dari tulisan Celsus, On the True Doctrine, Crossan menyimpulkan bahwa di dalam kebudayaan Laut Tengah kuno, pada awal mula berdirinya kekristenan, penampakan-penampakan diri orang-orang yang sudah mati, dan kenaikan ke sorga orang-orang yang sudah mati tetapi hidup lagi, diterima sebagai kemungkinan-kemungkinan yang nyata, dan bukan sebagai kejadian-kejadian yang abnormal dan sepenuhnya unik./16/

Setelah mengkaji kisah-kisah tentang penampakan fantasma orang-orang yang sudah mati dalam kebudayaan Yunani klasik, kebudayaan Romawi, dan dalam teks-teks Yahudi, Thomas S. Verenna menyimpulkan bahwa kisah-kisah tentang fantasma adalah “fenomena kebudayaan”, dan tradisi serta kepercayaan tentang fantasmata orang-orang mati yang gentayangan “berakar pada fenomena psikologis dan fisikal yang sangat nyata” yang “dapat terjadi dalam aneka ragam bentuk.”/17/

Visi mental individual dan massal

Tentu tidak semua orang akan begitu saja mengklaim telah melihat fantasma orang-orang mati. Ada prakondisi-prakondisi psikologis patologis tertentu yang harus dialami seseorang sebelum dia bisa menerima suatu penglihatan atau suatu visi melihat fantasma, "penampakan bayang-bayang orang yang sudah mati", misalnya prakondisi psikologis sedang berduka sangat dalam karena kehilangan orang yang sangat dikasihi. 

Atau prakondisi psikologis terbuka pada pengalaman-pengalaman paranormal atau spiritual, berhubung yang bersangkutan memang menjalani suatu pergaulan yang intensif dengan kelompok-kelompok paranormal atau kelompok-kelompok spiritual tertentu yang memiliki buku-buku bacaan, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual spesifik. 

Apa yang dinamakan penglihatan mental atau visi psikologis akan dengan mudah dialami oleh orang-orang yang memiliki prakondisi-prakondisi sosio-psikologis semacam itu. 

Penglihatan akan fantasma tentu saja tergolong penglihatan individual, sebab fantasma yang sama bisa tidak terlihat oleh orang lain yang ada bersama dengan orang yang sedang mengalami visi ini.

Dalam suatu kajian tentang fenomena visi psikologis dalam lingkungan kehidupan orang-orang Kristen perdana, Richard Carrier menyatakan bahwa orang-orang Kristen perdana kerap secara teratur mengalami visi-visi psikologis ini yang menyebabkan mereka juga menerima penyataan-penyataan yang serupa dengan yang diterima Rasul Paulus yang sebelumnya memang juga pernah mengalaminya./18/ 

Carrier menulis, “pengalaman-pengalaman penglihatan mental yang jelas, terdokumentasi dengan baik di sepanjang semua tradisi keagamaan, di sepanjang sejarah, dan tampaknya otak manusia secara khusus terhubung dengan pengalaman-pengalaman ini.”/19/ 

Menurut Slade dan Bentall, yang dirujuk oleh Carrier, “proses dan kondisi patologis… umumnya dikaitkan dengan pengalaman visi mental. Kondisi ini mencakup kerusakan sistem pengindraan, variasi-variasi fisiologis seperti naiknya suhu tubuh dan kekurangan air, gangguan sistem saraf pusat, dan kondisi-kondisi psikiatris seperti skizofrenia dan psikosis depresif yang berlebihan.”/20/

Karena zat ethereal itu tidak ada dalam jagat raya, sehingga tubuh ethereal Yesus yang bangkit juga tidak ada, maka alternatif “fantasma” atau "penampakan bayang-bayang" perlu menjadi jadi sebuah alternatif yang paling mungkin untuk memberi wujud pada “tubuh rohaniah” yang diklaim Paulus sebagai tubuh kebangkitan, yang bisa dilihat hanya lewat pengalaman penglihatan atau pengalaman visioner, yang pada dasarnya adalah pengalaman penglihatan psikologis. 

Jadi, pengalaman penglihatan Paulus ini atas “tubuh rohaniah” Yesus adalah suatu visi psikologis. Paulus lama menyimpan rasa bersalah karena dia pernah menganiaya komunitas-komunitas pengikut Yesus yang baru berdiri, diawali oleh gereja induk Yahudi-Kristen di Yerusalem.

Bukan hanya dialami Rasul Paulus, pengalaman visi mental ini juga dialami oleh rasul-rasul lain yang disebutnya: Kefas, dua belas murid, lima ratus saudara sekaligus, Yakobus, semua rasul. 

Seperti sudah ditulis di atas, penglihatan mental bisa dialami oleh siapa saja yang memiliki prakondisi-prakondisi psikologis dan neurologis yang pas, dan otak manusia memungkinkan pengalaman ini dialami sebagai sesuatu yang neurologis real dalam otak manusia.

Kalau para sejarawan modern telah merekam dengan benar dan tak ada unsur pembesar-besaran berita, tercatat bahwa di kawasan peziarahan Cova da Iria, di Fatima, Portugal, pada 13 Oktober 1917, tujuh puluh ribu (70.000) peziarah serentak melihat Matahari “merobek dirinya sendiri dari angkasa lalu menimpa kerumunan orang banyak yang ketakutan.”/21/ 

Tentu laporan itu bukanlah sebuah laporan tentang suatu kejadian astronomis betulan, melainkan sebuah laporan tentang terjadinya penglihatan psikologis massal, yang melibatkan bukan hanya lima ratus peziarah, tetapi tujuh puluh ribu.

Kapanpun juga, visi-visi mental adalah suatu pengalaman neurologis psikologis, yang berlangsung dalam organ otak, bukan suatu pengalaman mengenai suatu kejadian historis dalam suatu dunia objektif. Pengalaman penglihatan mental Rasul Paulus melihat Yesus dalam “tubuh rohaniah” dengan tepat disebutnya sebagai suatu pengalaman yang hanya ada dalam iman, bukan dalam realitas objektif empiris.

Penutup

Telah diperlihatkan di atas, pergeseran telah terjadi dalam pandangan mengenai wujud Yesus-yang-sudah-dibangkitkan. Mula-mula (setidaknya mulai dari Rasul Paulus) Yesus yang hadir setelah peristiwa Paskah dibayangkan memiliki “tubuh rohaniah ethereal”, tubuh non-material tapi memiliki substans. 

Tetapi belakangan (oleh para penulis injil-injil Perjanjian Baru) Yesus-setelah-kebangkitan-Nya dibayangkan sebagai Yesus yang tetap memiliki raga protoplasmik, Yesus yang berdaging dan bertulang bahkan membutuhkan makanan, tetapi sekaligus Yesus yang sudah mentransendir kodrat kedagingan dan keinsaniannya, dengan mengambilbagian dalam keadikodratian ilahi yang tak dapat dibatasi oleh dimensi ruang-waktu kosmologis. Jelas, para penulis injil-injil PB telah mengkombinasi antropologi atau, lebih tepat, biologi dan teologi.

Dengan dimasukkannya biologi ke dalam teologi, dan jika kombinasi ini dengan keliru dipahami literal, maka Yesus sesudah kebangkitan-Nya akan harus terus-menerus memakan makanan material yang tersedia di Bumi. Metabolisme dan sistem biologis pencernaan-Nya bekerja terus sekalipun Dia sudah naik ke sorga. Siapkah anda untuk menerima konsekwensi yang mengagetkan ini jika anda seorang literalis?

Pergeseran pandangan tentang bagaimana wujud Yesus-yang-dibangkitkan, mulai dari wujud “tubuh rohaniah” sampai ke wujud tubuh yang material fisikal, tak dapat dilepaskan dari variabel-variabel historis sosiologis, eklesiologis dan doktrinal, yakni kebutuhan memberi legitimasi ilahi terhadap individu-individu pemimpin utama rasuli dalam hierarki kepemimpinan gereja-gereja perdana, dan kebutuhan membangun dan memenangkan polemik doktrinal dalam melawan berbagai bentuk kekristenan gnostik yang bermental sarkofobik dan anti-raga.

Alternatif memandang Yesus-yang-sudah-dibangkitkan hadir kembali dalam dunia orang-orang hidup sebagai fantasma, sebagai "penampakan bayang-bayang", merupakan alternatif yang paling kuat ditopang baik oleh kajian-kajian sastra keagamaan lintaszaman dan lintaskebudayaan maupun oleh kajian berbagai disiplin sains yang relevan, khususnya disiplin sains psikiatri, psikologi dan neurologi atau neurosains. 

Disiplin-disiplin sains ini membuat kita bisa menyebut semua pengalaman melihat kehadiran kembali Yesus setelah kematian-Nya sebagai visi-visi mental (individual dan massal) yang dimunculkan oleh aktivitas neurologis dalam otak manusia.

Visi mental melihat kembali Yesus dalam kondisi hidup dan aktif setelah kematian-Nya, khususnya yang dialami oleh sejumlah murid terdekat Yesus, yang disebut sebagai para rasul, menunjukkan bahwa mereka sedang mengalami tekanan dan penderitaan psikologis yang sangat berat karena telah ditinggal oleh Yesus yang sangat mereka kasihi, yang membuat mereka merasa sangat kehilangan. 

Atau karena mereka merasa sangat bersalah karena pernah menyangkali dan berkhianat pada Yesus pada momen-momen genting ketika Yesus ditangkap dan dieksekusi, sehingga timbul kebutuhan psikologis yang sangat besar dalam jiwa mereka untuk mendapat kesempatan bertemu Yesus kembali supaya mereka dapat mengakui segala kesalahan mereka dan meminta ampun kepada Yesus, sekalipun mereka sadar bahwa kebutuhan ini sangat tidak realistik./22/

Pendek kata, berbagai macam pernyataan atau kisah dalam Perjanjian Baru yang mencatat atau menuturkan perjumpaan kembali para murid Yesus dengan “penampakan atau “apparition Yesus setelah kematian-Nya, ditulis karena Yesus sungguh-sungguh menempati posisi signifikan dan utama dalam kehidupan para rasul, dan khususnya karena Yesus adalah seorang yang mereka sangat sayangi.

Jika seseorang menjadi “the significant other” bagi kehidupan anda, dan orang ini sangat anda cintai, anda akan pasti berharap dapat bertemu tatap muka kembali dengannya sekalipun dia sudah meninggal, apalagi jika anda merasa telah berbuat salah sangat besar terhadapnya ketika dia masih hidup. 

Harapan anda yang sangat besar, keadaan batin anda yang sangat galau, dan kondisi tubuh anda yang tidak bugar, dapat membuat anda mengalami visi-visi neurologis, melihat fantasma dirinya, mengalami “penampakan bahwa dia hidup kembali. 

Nah, jika saya sedang berada dalam sikon mental seperti itu, lalu saya bernyanyi dan berdoa, atau intensif menulis sebuah puisi, maka saya biasanya melihat citra tertentu sosok Yesus---yang saya kenal dan kasihi sejak usia remaja--- mendekati dan membelai saya. Tentu pengalaman internal personal ini menguatkan dan membahagiakan saya. Dan saya kerap mengalami hal ini, dan akan terus mengalaminya seumur kehidupan saya. I, therefore, certainly believe that Jesus is the risen Lord, hence the living Lord. 

Tetapi, saya lebih condong menyebut pengalaman visioner saya didatangi Yesus ini sebagai suatu pengalaman tentang hal-hal yang transenden, yang sanggup dihasilkan oleh otak kita.


ioanes rakhmat
20 September 2010

Catatan-catatan

/1/ A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (edisi ketiga; Chicago and London: University of Chicago Press, 2000). Lexikon edisi ketiga ini dirujuk juga dengan singkatan BDAG (Bauer-Danker-Arndt-Gingrich).

/2/ Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God: The Case for A Mythical Jesus (edisi baru yang diperluas; Ottawa, Canada: Age of Reason Publication, 2009), 47, 85-86.

/3/ Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God, 79.

/4/ Richard Carrier, “Osiris and Pagan Resurrection Myths” (2000) dalam situs http://www.frontline-apologetics.com/Carrier_on_Osiris_.html.

/5/ Lihat Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 95-96, 100.

/6/ Bandingkan dengan tuturan tentang fotisme yang dialami Rasul Paulus dalam suatu perjalanannya ke Damsyik dalam Kisah Para Rasul 9:3-9; 22:6-11; 26:12-18. 

Menurut para antropolog, pengalaman melihat suatu “sosok cahaya” (= fotisme) adalah sebuah fenomen lintas-budaya, yang dapat ditemukan dalam banyak kehidupan suku-suku bangsa di dunia ini. Tentu saja, jika ditinjau dari neurosains, fotisme adalah fenomen neurologis, bukan realitas faktual di dunia natural objektif. Lihat tulisan saya yang berjudul “Pengalaman-pengalaman Spiritual Ditinjau dari Neurosains: Interkoneksi ‘Roh’ dan Otak”, tersedia online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/ 2011/11/pengalaman-pengalaman-spiritual.html.  

/7/ Michael F. Bird and James G. Crossley, How Did Christianity Begin? A Believer and Non-believer Examine the Evidence (London/Peabody: SPCK and Hendrickson Publisher, 2008), 54.

/8/ BDAG menerjemahkan pneuma dalam Lukas 24: 37, 39 sebagai “ghost”. TB LAI menerjemahkannya dengan "hantu" yang bagi orang Indonesia bermakna lain, beda dari makna kata Yunani fantasma, "penampakan bayang-bayang".

/9/ Gregory J. Riley, Resurrection Reconsidered: Thomas and John in Controversy (Minneapolis: Fortress Press, 1995).

/10/ Riley, Resurrection Reconsidered, 177.

/11/ John D. Crossan, The Historical Jesus: The Life of A Mediterranean Jewish Peasant (New York: HarperCollins, 1991), 395-416; idem, Jesus: A Revolutionary Biography (New York: HarperCollins, 1994), 165 dyb.; idem, Who Killed Jesus? Exposing the Roots of Anti-semitism in the Gospel Story of the Death of Jesus (New York: HarperCollins, 1995), 202 dyb.

/12/ Helmut Koester, “Writings and the Spirit: Authority and Politics in Ancient Christianity” dalam Harvard Theological Review 84:4 (1991), 369 [253-372].

/13/ Werner H. Kelber, “Narrative and Disclosure: Mechanisms of Concealing, Revealing, and Reveiling” dalam Semeia 43 (1988), 6 [1-20].

/14/ Lihat Ioanes Rakhmat, Menguak Kekristenan Yahudi Perdana: Sebuah Pengantar (Jakarta: JRC, 2009), 19.

/15/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord” dalam The Jesus Controversy: Perspectives in Conflict. Penyunting umum: Gerald P. McKenny (Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press International), 6-7 [1-47]; idem, Jesus: A Revolutionary Biography, 87-88; idem, “Why Is Historical Jesus Research Necessary?” dalam James H. Charlesworth and Walter P. Weaver (eds.), Jesus Two Thousand Years Later (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2000), 17-18 [7-37]. Bdk. Gerd Lüdemann dan Alf Özen, De Opstanding van Jezus: Een Historische Benadering (Baarn: Ten Have, 1996), 176-178 [114-178].

/16/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord”, 6 ff., 26-31.

/17/ Thomas S. Verenna, Of Men and Muses: Essays on History, Literature, and Religion (Lulu.com, 2009), 145.

/18/ Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ” dalam Robert M. Price dan Jeffery Jay Lowder, eds., The Empty Tomb: Jesus Beyond the Grave (2005), 184-188.

/19/ Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ”, 184.

/20/ Peter D. Slade dan Richard P. Bentall, Sensory Deception: A Scientific Analysis of Hallucination (1988), 28.

/21/ Laporan ini tersedia online di http://www.sofc.org/Spirituality/s-of-fatima.htm.

/22/ Untuk menebus kesalahannya yang pernah dibuatnya ketika dia melakukan berbagai bentuk kekerasan terhadap para pengikut Yesus, Rasul Paulus sampai perlu membangun sebuah pemikiran kristologis tentang pendamaian dosa yang didatangkan oleh Yesus lewat kematian-Nya di kayu salib. 

Doktrin ini, dengan meminjam tradisi ritual penyucian dosa Yahudi, dirancangbangun oleh Paulus tentu untuk pertama-tama membuat dirinya terbebas dari perasaan berdosa yang sangat merusak mentalnya, yang lalu diperluasnya untuk berlaku bagi semua orang yang mau mempercayai doktrinnya ini. Tuturan tentang percakapan Yesus dengan Simon Petrus dalam Yohanes 21:15-19 juga dapat dijelaskan dari perspektif yang sama.




Saturday, September 11, 2010

5 Roti dan 2 Ikan, Yang Makan 5000 Orang



Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Tetapi, jika betul, mengapa masih ada kelaparan begitu parah dalam kehidupan dunia di abad ke-21 ini? Ironisnya, yang sekarang terjadi adalah mukjizat 5000 roti dihabiskan tuntas hanya oleh 5 orang lelaki berperut buncit!
― ioanes rakhmat

N.B. editing mutakhir 20 Agustus 2021


Pendahuluan

Kalangan Kristen apologet literalis menerima tuturan injil-injil Perjanjian Baru tentang Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, dengan sisa 12 bakul penuh (Markus 6:30-44 dan par.), sebagai tuturan sejarah faktual apa adanya.

Bagi mereka, dengan memakai iman sebagai senjata pamungkas pertahanan diri, kisah ini adalah kisah sejarah faktual, yang hanya perlu diterima kebenarannya tanpa ragu, dan tak perlu diadakan investigasi saintifik untuk memeriksa faktualitas kisah ini. 

Mereka sama sekali mengenyampingkan berbagai ciri dan sifat hiperbolik serta tujuan kisah-kisah hebat skriptural religius yang ditulis sebagai media propaganda ideologis, devosional, misiologis, dan apologetis.

Iman keagamaan memang kerap memblokir pemikiran kritis dan maju, lalu mematikannya selamanya. 

Tetapi ada jenis iman keagamaan yang mendorong orang untuk selalu mencari tahu hal-hal yang baru, atau memotivasi orang untuk dengan kritis dan berwawasan mengevaluasi hal-hal lama yang sudah dimapankan, untuk menemukan hal-hal yang baru dan mengejutkan, dan lebih maju. 



Kuriositas atau rasa ingin tahu adalah suatu motor kognitif penggerak yang membuat ilmu pengetahuan terus maju dan berkembang. Kuriositas mendorong orang mencari dan mengetuk, untuk menemukan dan gerbang ke pengetahuan dibuka. 


Sabda Yesus, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan...segenap akal budimu"; juga "Carilah, maka kamu akan mendapatkan; ketuklah, maka pintu akan dibukakan." Akal budi dan rasa ingin tahu atau kuriositas, diberi tempat luas oleh Yesus dalam orang menjadi para pengikut-Nya. Inilah iman yang mencerdaskan dan memperluas cakrawala pengetahuan.

Kuriositas perlu dibudidayakan, dikembangkan, sehingga makin membesar dan meluas, dan jangan anda "pendam dalam tanah". 

Ketika kuriositas makin berlipat ganda, kemampuan anda untuk berpikir kritis evaluatif makin membesar juga. Bahkan anda akan dengan gembira dan sadar penuh memikirkan dengan kritis setiap pemikiran kritis anda sendiri. "Thinking about your own thinking". Jika ini dapat anda lakukan, anda memiliki apa yang dinamakan "metacognitive skill" sebagai salah satu "soft skills" yang kini dipandang lebih berperan besar dibandingkan "hard skills" dalam membuat anda hidup sukses.

Jika begitu, mengapa anda malah memilih iman yang mematikan akal kritis anda?

Di saat pemikiran kritis sudah dibunuh, maka orang pun hanya bisa menyangkal fakta-fakta, hidup "in denial". Tentang sindroma psikologis "in denial", saya sudah tulis panjang lebar. 

Bacalah jika anda mau menjadi orang yang membuka diri terhadap fakta-fakta, dan tidak digigit oleh fakta-fakta, tetapi, sebaliknya, fakta-fakta makin memperdalam pengenalan diri anda dan memperluas horizon pengetahuan dan kearifan kehidupan anda, jauh ke depan. Ini tautannya https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/07/denial-apa-penyebabnya.html?m=0./1/

Ketika sudah terkerangkeng oleh "denialisme", maka orang pun memberi reaksi makin keras dan membuta terhadap fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran yang sudah diargumentasikan. Selain itu, mereka makin yakin tanpa dasar bahwa diri merekalah yang tetap benar. Lalu mereka menyerang balik kebenaran-kebenaran dengan caci maki yang sangat keras. 

Alih-alih memakai argumen-argumen cerdas dalam debat terpelajar, mereka malah memakai argumentum ad hominem: hantam kromo menyerang pribadi orang yang berpendirian berbeda, yang mereka tidak kenal, yang mereka sama sekali tidak pernah jumpai. Mereka menusuk dari belakang. Mereka menebar fitnah tanpa bisa ditahan, sementara mulut mereka yang sama memuji-muji Yesus.

Itulah semua yang dinamakan "backfire effect" atau efek bumerang, yang umum terjadi jika kalangan terpelajar sedang berhadapan dengan para apologet pecundang.

Tentu, manusia tidak dapat hidup dengan baik jika tanpa kepercayaan, tanpa iman. Bisa percaya dan beriman adalah salah satu kemampuan yang bersumber dari kapasitas kognitif otak kita. 

Tetapi, sekali lagi, bentuk dan isi iman tidak cuma satu. Ada banyak bentuk dan isi iman keagamaan yang membangun kehidupan, menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecerdasan, dan membudidayakan kebajikan dan keagungan. Rangkullah iman yang membangun semacam itu, dan lepaskanlah iman yang akan merusak kehidupan dan kebaikan, yang membunuh akal budi, kecerdasan dan pengetahuan.

Ingatlah, Tuhan itu mahatahu, dus Dialah sumber segala pengetahuan. Jadi, orang yang berjalan mengikuti rasa ingin tahu mereka, untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang makin banyak dan tanpa batas, adalah orang-orang yang sedang berjalan menuju Tuhan, lewat jalan ilmu pengetahuan yang tak memiliki ujung. Niscaya, para ilmuwan yang berintegritas adalah hamba-hamba Tuhan juga, para pencari dan penemu Tuhan tahap demi tahap, kawan-kawan Tuhan.

Well, kontras dengan posisi kalangan literalis skriptural itu, kalangan Kristen kritis non-literalis memahami kisah mukjizat pemberian makan 5000 orang ini sebagai sebuah kisah teologis, sebuah metafora, sebuah perumpamaan, a parable. Tentu, sebuah metafora besar. Di akhir tulisan ini, saya akan menjelaskan metafora itu apa. Sudah pasti, metafora bukan kiasan.

Sebagai sebuah metafora, sebuah kisah teologis besar, kisah ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah faktual apa adanya, tetapi mau menyampaikan pesan-pesan teologis dalam rangka pembinaan komunitas dan pembangunan devosi atau dalam rangka propaganda misiologis agama.

Sebuah pesan teologis bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi sebuah berita yang disampaikan untuk membangkitkan antara lain sebuah penyembahan dan pengagungan, sebuah sikap devosional reverensial, suatu sikap takjub, terhadap figur-figur besar yang dikisahkan di dalam kisah-kisah skriptural. 

Sejarah bersangkutpaut dengan dunia ini, "this world"; sedangkan kisah-kisah teologis atau teologi pada umumnya terfokus pada, dan masuk ke dalam, dunia yang lain, "the otherworld", dunia transenden, dunia nilai-nilai, dunia adinilai, dunia yang ada "di seberang" dunia sehari-hari kita, kawasan yang "melampaui" kawasan rutin sehari-hari kita yang dapat kita persepsi dengan lima indra kita.

Well, mari kita adakan investigasi kritis lebih jauh terhadap kisah ini. Akal yang cermat adalah karunia besar dari Tuhan. Perlu diulang: Kasihi Tuhan dengan segenap akal-budimu. Itu permintaan Yesus. Ucap Yesus juga, "Carilah, maka kamu akan mendapatkan; ketuklah, maka pintu akan dibukakan." 

Jelas, Yesus mendorong orang untuk mengikuti rasa ingin tahu mereka. Tak pernah Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk membenci dan menolak keras akal budi, rasa ingin tahu dan pengetahuan.

Yang kita punya kisah-kisah

Harus diingat betul-betul bahwa yang ditemukan dalam Alkitab bukan mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. 

Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris objektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra.

Selain itu, harus senantiasa diingat bahwa kisah-kisah mukjizat dalam kitab suci apapun tak pernah dimaksudkan untuk ditujukan kepada para pembaca modern oleh para penulis kisah-kisah ini dulu.

Kita sebagai pembaca modern atas kisah-kisah dalam kitab suci adalah para penyelundup, yang memaksa masuk ke dalam dunia kisah kuno dan ke dalam dunia kuno para penulis kisah-kisah ini. Selalu ada kesenjangan sejarah (= kesenjangan temporal) dan kesenjangan budaya (= kesenjangan pemikiran) antara kita para pembaca modern dan para penulis kitab-kitab suci kuno.

Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan (misalnya oleh penulis Injil Markus di tahun 70) dan apa yang faktual telah terjadi (yang dilakukan Yesus pada awal tahun 30-an ketika Yesus aktif di masa dewasa). 

Kalaupun para penulis kisah-kisah mukjizat memakai tradisi-tradisi lisan yang berawal pada masa kehidupan Yesus, semua tradisi lisan disebarkan tidak apa adanya, melainkan selalu mengalami penyuntingan, editing, sehingga mengalami banyak perluasan, penambahan, pembesar-besaran, dan perubahan, ataupun penyusutan, sehingga kisah-kisah ini makin jauh dari fakta-fakta di masa lampau. Penyuntingan juga terjadi pada tradisi-tradisi lisan yang sudah dibuat tertulis.

Penyuntingan adalah suatu langkah hermeneutik yang serius dan penting, dilakukan untuk berbagai kebutuhan, antara lain untuk merelevansikan atau mengaktualkan cerita dan kisah zaman dulu yang ditulis di zaman lain dan di tempat lain, bagi zaman, lokasi dan persoalan lain yang menjadi konteks kehidupan para penyunting kemudian hari.

Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut:

• dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis;

• faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu;

• untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi, dan dalam Perjanjian Lama;

• apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks sejarah dan kebudayaan luas dunia Greko-Romawi, dan dalam konteks dunia sastra kontemporer sekitar;

• ditempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, dan jika ditinjau dari sains modern, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah;

• termasuk ke dalam jenis sastra (literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu. Kebenaran dan cara penyampaian suatu jenis sastra berbeda dari kebenaran dan cara penyampaian jenis sastra lainnya;

• dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu;

• dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.

Kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan, pertama-tama adalah kisah, bukan fakta langsung. Di sini kita berhadapan dengan kisah injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri.

Oh ya, warga gereja kebanyakan tidak menyadari bahwa hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. 

Perbedaan pengisahan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan sudut pandang tentang siapa Yesus bagi penyusun Injil Yohanes.

Sejalan dengan kristologi "dari atas" ("high Christology") Injil Yohanes secara keseluruhan yang memandang Yesus sebagai sosok ilahi yang "sudah ada pada mulanya", yang turun ke dalam dunia "bawah" dengan "menjadi manusia", Yesus di dalam kisah pemberian makan dalam Injil Yohanes ini ditampilkan sebagai seorang yang serba mandiri dan sanggup sendirian mengatasi segala permasalahan dan tantangan yang mendatangi diri-Nya. 

Kenyataan adanya perbedaan tekstual semacam itu sudah tidak memungkinkan orang untuk memperlakukan semua kisah dalam injil-injil PB sebagai kisah-kisah sejarah murni, "mere/pure history". 

Mana yang benar, Yesus sendiri yang membagi-bagikan, atau murid-muridnya yang mengedarkan makanan itu? Tak mungkin ada dua sejarah yang berlainan, untuk hanya satu kejadian! Salah satunya saja yang benar, atau keduanya salah sekaligus.

Tiga golongan penafsir

Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima ribu orang, belum termasuk perempuan dan anak-anak, yang datang dari berbagai tempat, bukanlah suatu kejadian mudah. Ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam jumlah besar.

Represi telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang akhirnya dibunuh Herodes Antipas karena kekhawatirannya atas massa yang berjumlah besar pengikut Yohanes Pembaptis (baca tuturan tentang ini dalam tulisan sejarawan Yahudi Flavius Yosefus, Antiquities 18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus.

Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan diri-Nya tetap aman-aman saja.

Selain itu, harus diingat, pada zaman kuno total penduduk di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang itu (Lukas 9:10 menyebut kota Betsaida sebagai lokasinya) mungkin sekali tidak mencapai angka lima ribu. Jauh lebih realistis jika angka 5000 ini dipandang sebagai sebuah hiperbola numerik.

Tafsiran supernaturalis

Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini. 

Yang pertama adalah penafsir kalangan supernaturalis. Kalangan ini adalah para literalis skriptural yang tidak tahu sama sekali ilmu tafsir teks-teks kitab suci. 

Jika anda ingin tahu betul apa itu ilmu tafsir dan bagaimana menjalankannya, dan metode keilmuan apa saja yang ada dalam ilmu tafsir, bacalah tulisan saya "Langkah-langkah Menafsirkan Sebuah Teks Alkitab"/2/ dan "Metode-metode Ilmiah Tafsir Alkitab"./3/

Nah, kalangan literalis menyatakan bahwa Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan sisa dua belas bakul (orang dapat bertanya dari mana bakul-bakul ini berasal). 

Apa maksud dan tujuan kisah teologis ini dulu ditulis, dan apa pesan yang disampaikannya, mereka tidak mau tahu dan tidak tertarik untuk tahu. Bagi mereka, cukup yang sudah tertulis saja di Alkitab, tinggal dibaca dan diterima penuh, tak perlu ditafsir-tafsir. Inilah yang dinamakan literalisme skriptural. 

Para literalis sangat naif, tidak tahu, bahwa untuk menerjemahkan kisah ini dari bahasa Yunani koine (bahasa asli PB) ke bahasa Indonesia (atau bahasa lain), para penerjemah harus menafsirkan teks Yunani kisah ini. Kegiatan menerjemahkan niscaya adalah kegiatan menafsirkan. Tanpa penafsiran, tak akan pernah ada terjemahan teks apapun. 

Nah, jenjang penafsiran menjadi bertambah jika teks Alkitab anda bukan terjemahan langsung dari teks Yunani koine, tetapi dari teks Inggris, misalnya dari The New Revised Standard Version atau NRSV. Di Indonesia, orang yang menguasai bahasa Yunani koine sangat, sangat langka.

Ok-lah, jika mereka merasa puas dan berbahagia sebagai para literalis. Tetapi, apa betul mereka berbahagia? Dalam dunia modern masa kini yang dikendalikan oleh iptek dan wawasan pengetahuan yang jauh ke depan, literalisme skriptural adalah salah satu sumber stres besar jiwa manusia.

Nah, masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan) didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun berkelompok-kelompok mendapat makanan.

Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik teknologis dan trik mental untuk menyihir masyarakat juga pasti tidak bisa mengadakan kejadian semacam ini: faktual mengadakan gundukan roti secara mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka, lewat mantra sim salabim albarabarakadabra!





Tafsiran rasionalis/naturalis

Penafsir kedua, golongan rasionalis atau golongan naturalis yang merasionalisasi kisah ini supaya natural, cocok dengan kewajaran, tanpa perlu mukjizat terjadi. Tapi ada biaya yang mereka harus bayar: pesan dan amanat penting kisah ini jadi hilang, lari entah ke mana.

Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu kepada beberapa orang yang sedang duduk berkelompok di barisan terdepan telah mendorong orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya, sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu mukjizat terjadi. Semua kejadiannya sangat natural, alamiah biasa.

Ok-lah. Tapi kesulitan tafsiran rasionalis ini adalah teks injil-injil jelas-jelas tidak berbicara tentang sharing of bread dan sharing of fish semacam itu. Tidak dikisahkan, ada kegiatan membagi-bagi roti dan ikan antarsemua orang dalam perhimpunan besar itu.

Sebaliknya, dalam injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali "hanya" lima roti dan dua ekor ikan yang ada pada seorang anak, "tidak lebih" (Matius 14:17; Lukas 9:13; Yohanes 6:9).

Selain itu, angka 5000 orang lelaki yang berhimpun itu tentu saja harus dinyatakan sebagai angka yang sangat dibesar-besarkan, berdasarkan alasan yang sudah ditulis di atas.

Mungkin anda yang naturalis akan berpendapat, berbagi roti dan ikan semacam ini jauh lebih menyentuh perasaan kemanusiaan kita, jauh lebih ajaib dan mempesona, ketimbang Yesus dan murid-muridnya mengadakan gundukan-gundukan roti mendadak lewat mantera sim salabim albarabarakadabra

Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar. Tetapi, karena kejadian historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka, untuk mempersakti Yesus, sejarah disunting oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam injil-injil PB. 

Kalau tafsiran kalangan rasionalis ini benar, tentu kita harus mengubah atau merasionalisasi angka 5000 menjadi mungkin maksimal 50 orang saja. 

Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin tinggi mempermuliakan, mempersakti dan mengagungkan Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri, sebagai sang Firman yang "pada mulanya" "adalah Allah" dan "ada bersama dengan Allah" (Yohanes 1:1, di tahun 95). 

Kenapa kekristenan awal perlu mengglorifikasi dan mendeifikasi Yesus? 

Ya, pertama, karena berbagai komunitas Kristen awal memang lahir dan tumbuh dalam konteks religiopolitik dunia Laut Tengah kuno yang sudah biasa mempraktekkan deifikasi sosok-sosok insani besar mereka sehingga sosok-sosok besar ini menjadi allah atau “manusia ilahi” atau "manusia dewa" (Latin: semideus; Yunani: hēmitheos atau theios anēr; Inggris: demigod). Tentang hal ini, saya sudah menuliskannya./4/

Kedua, karena umat Kristen perdana dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologi religiopolitis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus. Sang kaisar ini dalam kultus pemujaan Kaisar dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan kekaisaran./5/

Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan terhadap kisah Yesus memberi makan lima ribu orang adalah tafsiran tipologis yang menghubungkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru dan memandang Perjanjian Baru sebagai penggenap dan penyempurna "tujuan-tujuan rohani" Perjanjian Lama.

Ketahuilah, hermeneutik tipologis umum dipakai para penulis PB jika mereka mengacu dan menggunakan teks-teks PL. Apa itu hermeneutik atau tafsiran tipologis? Ini akan segera diperlihatkan di bawah.

Bagaimana kisah Yesus memberi makan lima ribu orang ini harus dijelaskan dan ditafsirkan secara tipologis?

Tafsiran tipologis

Tipologi (yang berhubungan dengan kata Yunani tupos, dengan kata Latinnya figura) adalah salah satu metode tafsir yang khas dan umum dijalankan para penulis Perjanjian Baru ketika mereka menggunakan teks-teks Perjanjian Lama dalam rangka menyusun pandangan-pandangan mereka tentang siapa Yesus (kristologi), bagaimana gereja-gereja harus dibangun dan diatur (ekklesiologi) dan bagaimana doktrin-doktrin Kristen harus dirumuskan (dogmatika).

Dalam metode tafsir tipologis, segala sesuatu yang muncul dalam pekerjaan Allah di zaman Perjanjian Lama dipandang para penulis Perjanjian Baru sebagai, seperti ditulis Gerhard von Rad, “pra-gambaran (pra-figurasi) atau tipologi dari berbagai hal yang terjadi pada masa kehidupan Yesus Kristus di masa Perjanjian Baru.”/6/ 

Dalam pandangan Jean Daniélou, “esensi tipologi adalah menunjukkan bagaimana kejadian-kejadian di masa lampau merupakan suatu gambaran, suatu figur atau suatu tupos, dari kejadian-kejadian di masa yang akan datang.”/7/ 

Menurut Walter Eichrodt, “apa yang disebut tupoi [bentuk jamak tupos] … adalah tokoh-tokoh, lembaga-lembaga, dan peristiwa-peristiwa dalam dunia Perjanjian Lama yang dipandang sebagai model-model atau presentasi-presentasi yang dibangun oleh Allah bagi realitas-realitas yang bersesuaian dalam sejarah keselamatan Perjanjian Baru.”/8/

Meskipun ditemukan kesesuaian dalam detail-detail historis, kultural, arkeologis dan biografis antara kejadian-kejadian tertentu di masa Perjanjian Lama dan di masa Perjanjian Baru, dalam penafsiran tipologis detail-detail ini, sebagaimana Von Rad tegaskan, bukanlah hal-hal utama yang menjadi sorotan. 

Sorotan utama tipologi adalah pesan-pesan teologis atau kerugmata (yang terbungkus dalam detail-detail kisah) atau “pesan-pesan rohani”, yang dilihat berhubungan antara yang disampaikan teks-teks Perjanjian Lama dan yang disajikan teks-teks paralel dalam Perjanjian Baru./9/

Tetapi hal paling penting yang mau disampaikan tafsiran tipologis adalah bahwa figur Yesus Kristus sendiri sebagai anti-tupos (atau anti-type) adalah lebih tinggi, lebih agung dan penyempurna yang tiada taranya dari tokoh-tokoh agung Perjanjian Lama sebagai tupoi. 

Begitu juga halnya dengan segala sesuatu yang terjadi pada Yesus Kristus jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa paralel yang sudah terjadi dalam masa Perjanjian Lama. Peristiwa Yesus lebih tinggi, mengalahkan dan melampaui atau menyempurnakan peristiwa yang dapat dibaca dalam PL.

Dalam tipologi, kejadian-kejadian yang dialami Yesus Kristus bukan hanya pengulangan kejadian-kejadian dalam Perjanjian Lama atau dibangun berdasarkan model-model kejadian-kejadian dalam masa Perjanjian Lama, tetapi melampaui, menyempurnakan dan merupakan klimaks semua kejadian dalam Perjanjian Lama. Yesus menjadi yang teragung, terbesar, paling sempurna, tiada pesaing. Ya, supersesionisme kristologis mewarnai setiap tafsiran tipologis PB terhadap PL.

Dalam tipologi, tokoh-tokoh agung dalam Perjanjian Lama bukan hanya dijadikan model-model dasar dalam merancangbangun berbagai figur Yesus oleh para penulis Perjanjian Baru, tetapi oleh mereka Yesus Kristus dibuat mengalahkan, melampaui, mentransendir, menyempurnakan dan menjadi puncak dari semua model yang tersedia dalam Perjanjian Lama.

Progres, puncak, kulminasi, kemenangan, penyempurnaan dan pelampauan atas model-model Perjanjian Lama di dalam diri Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru adalah hal-hal terpenting yang mau disampaikan tipologi. Supersesionisme kristosentris adalah sebuah ciri terpenting setiap tafsiran tipologis, dan merupakan kerugma atau pesan terpenting yang mau disampaikannya, yang tak boleh tertutup oleh detail kisah-kisah atau literalisme skriptural./10/

Dengan demikian, sebagaimana akan segera ditunjukkan, dilihat secara tipologis, Yesus yang dipersaksikan dalam kisah-kisah injil tentang pemberian makan lima ribu orang (khususnya dalam Matius 14:13-21) adalah anti-type yang bukan saja sejajar atau semodel dengan, tapi juga menjadi penyempurna dan penakluk, nabi Musa (nabi teragung dalam Yudaisme), nabi Elia (yang dihubungkan dengan Yohanes Pembaptis di era penulisan kitab-kitab injil PB), dan nabi Elisa sebagai tupoi dan model-model rekonstruktif ketika para penulis injil Perjanjian Baru merancangbangun kristologi-kristologi.

Yesus sebagai “Musa yang baru”

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang klop dengan keseluruhan pesan teologis Injil Matius.

Bagi penulis Injil Matius, Yesus adalah “Musa yang baru” pemberi "Taurat yang baru", yakni Khotbah di Bukit dan keseluruhan Injil Matius, bahkan lebih besar dari Musa, yang membawa hukum baru, hukum kasih, dan yang mengulangi kembali bahkan melampaui peristiwa-peristiwa besar yang dikisahkan pernah dialami nabi Musa. Lewat tafsir tipologis, bukan Musa yang menjadi nabi teragung bagi orang Yahudi, tetapi Yesus sebagai "the new Moses".

Ya, harus jangan dilupakan bahwa bagi bangsa Yahudi kapan pun juga, nabi teragung mereka bukanlah Abraham, melainkan Musa yang wajahnya, dikisahkan, pernah diselimuti cahaya sorgawi kehadiran Allah (atau Shekinah, jika memakai kosa kata Yahudi pasca-tahun 70 M).

Jadi, dalam rangka bersaing secara ideologis dengan Yudaisme (dalam era PL dan era PB, tidak dikenal pemisahan ideologi politik dari ideologi agama), dengan jitu penulis Injil Matius menghadirkan satu figur suci Yesus yang bukan saja sejajar dan semodel dengan, tapi juga melampaui dan menaklukkan, Musa./11/

Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah memberi mereka “daging” dan “roti” (yang disebut manna) untuk dimakan (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah yang baru, yaitu Israel baru (= gereja Matius), Yesus sebagai Musa yang baru dan bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangan-Nya sendiri, sesuatu yang tidak dilakukan oleh nabi Musa dalam zaman Perjanjian Lama.

Jadi, di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tupos sedangkan Yesus adalah anti-tupos-nya. Bagi Matius, Musa adalah nabi besar dunia Perjanjian Lama yang muncul kembali di dalam figur Yesus pada masa kemudian dalam sejarah Israel, yang semodel dengan Musa tapi juga melampaui Musa, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang sejajar dengan, tapi juga lebih hebat dari, yang dilakukan Musa.

Yesus sebagai anti-tupos Elia

Atau, dalam pandangan Matius, Yesus adalah “nabi Elia yang baru”, bahkan lebih agung dari nabi Elia, yang sanggup tanpa habis-habis memberi roti kepada bukan hanya satu orang, tetapi kepada banyak orang, kurang lebih serupa dengan, tapi juga jauh melampaui, apa yang konon pernah dilakukan Elia kepada seorang janda di Sarfat dalam konteks peristiwa yang berbeda (lihat 1 Raja-raja 17:7-16).

Bagi orang Yahudi kuno, juga pada abad pertama Masehi, Elia adalah figur nabi agung yang tak pernah mengalami kematian fisik sebab dipercaya dia dulu telah diangkat ke sorga dengan kereta berapi yang ditarik kuda berapi (2 Raja-raja 2:11) dan dia dipercaya akan datang kembali pada “hari Tuhan” (Maleakhi 4:5). Mereka menunggu kedatangannya sebagai salah satu tahap dari tindakan-tindakan besar Allah untuk memulihkan pamor dan kedaulatan bangsa Yahudi, saat di mana “surya kebenaran” terbit, saat di mana “orang-orang fasik diinjak-injak” oleh umat Israel “di bawah telapak kaki” mereka (Maleakhi 4:2-3).

Komunitas Matius percaya, bahwa Yohanes Pembaptis yang menjadi pendahulu Yesus, adalah nabi Elia sendiri yang telah datang kembali (Matius 11:13-14) seperti telah dinubuatkan nabi Maleakhi sebelumnya.

Dengan menggambarkan Yesus sebagai Elia yang baru dan bahkan melampaui Elia, maka bagi Matius, dengan demikian, Yesus sebetulnya juga lebih tinggi dari Yohanes Pembaptis./12/

Yesus sebagai anti-tupos Elisa

Menurut Reginald Fuller, “prototipe” sastra bagi beranekaragam kisah injil tentang Yesus memberi makan banyak orang dari sangat sedikit makanan adalah sebuah kisah dalam Perjanjian Lama tentang nabi Elisa melipatgandakan sedikit ketul roti untuk dimakan oleh banyak orang, yang terdapat dalam 2 Raja-raja 4:42-44, yang merupakan bagian dari “siklus Elisa” dalam 2 Raja-raja 2:1-8:29. Selengkapnya kisahnya demikian.

Datanglah seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.” Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.” Lalu dihidangkanlah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN. (2 Raja-raja 4:42-44)

Fuller mengikhtisarkan pola dasariah dari kisah tentang Elisa melipatgandakan ketul-ketul roti:

• Makanan dibawa ke seorang abdi Allah;
• Jumlah makanan disebutkan dengan angka;
• Ada keberatan yang logis bahwa jumlah makanan tidak cukup untuk dihidangkan kepada sangat banyak orang;
• Si abdi Allah selaku sang master mengabaikan keberatan itu, dan memerintahkan makanan tersebut diedarkan;
• Ternyata orang banyak bukan saja dikenyangkan, tapi makanannya juga bersisa./13/

Tak diragukan bahwa pola dasariah dari kisah Perjanjian Lama tentang Elisa ini memang mendasari keseluruhan kisah injil yang lebih panjang tentang Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan dua ekor ikan. 

Tetapi kita juga tahu bahwa dalam kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan orang banyak dari sangat sedikit makanan, Yesus ditampilkan jauh lebih agung dan lebih mempesona. Yesus memberi makan bukan seratus orang (seperti dilakukan Elisa), tetapi lima ribu orang laki-laki (belum termasuk perempuan dan anak-anak); Yesus memberi makan bukan dari dua puluh ketul roti (seperti dilakukan Elisa) tetapi dari makanan yang jauh lebih sedikit: lima ketul roti dan dua ekor ikan.

Jadi harus disimpulkan: dalam pandangan penulis Injil Matius, Yesus adalah anti-tupos nabi Elisa sebagai tupos. Yesus bukan saja sejajar dan semodel dengan nabi Elisa, tetapi juga jauh melampaui dan mengalahkan Elisa, dalam tindakan-Nya memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan dua ekor ikan, dengan sisa makanan dua belas bakul.

Jadi, pemberian makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ekor ikan oleh Yesus, hanya ada dalam teks, dalam sastra injil, dalam dunia kisah teologis, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.

Kisah injil-injil Perjanjian Baru tentang tindakan hebat Yesus ini disusun dalam bingkai pemahaman dan penafsiran tipologis, bukan dalam bingkai suatu kejadian faktual historis yang melawan nalar dan hukum-hukum alam, kejadian yang disebut mukjizat. 

Dalam sejarah, tak pernah ada tindakan hebat Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima ketul roti dan dua ekor ikan. Meski begitu, kisah ini sebagai suatu metafora sangat menawan, menggerakkan hati, dan dapat dengan radikal mengubah watak serakah setiap pembaca kisah hebat ini, sekaligus membangkitkan pengharapan terhadap Yesus yang dinanti akan bertindak ketika suatu krisis kehidupan mendatangi.

Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, siapapun seharusnya dapat memutuskan untuk memandang kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (lelaki) dengan lima roti dan dua ekor ikan sebagai kisah-kisah tipologis imajinatif yang ditulis dengan memakai kisah-kisah Perjanjian Lama sebagai model untuk mempertahankan sebuah teologi, sebuah kerugma, atau sebuah kisah kreatif imajinatif tentang Yesus. Bahwa Yesus itu lebih besar dari dan mengalahkan Musa. Bahwa Yesus adalah nabi yang sejajar dengan bahkan melampaui nabi agung Elia. Bahwa Yesus adalah nabi akbar yang semodel dengan, tapi juga jauh melampaui nabi Elisa, yang sanggup untuk mengenyangkan semua pengikut-Nya. Alhasil, diharapkan, mereka, sebagai orang Yahudi, perlu berpaling kepada Yesus dan percaya penuh. Ada tujuan misiologis konversionisnya, jelas sekali.

Jadi, kisah-kisah imajinatif ini adalah propaganda religiopolitis misiologis Kristen yang disusun ketika umat Kristen perdana sedang berusaha menjadi besar di tengah tekanan dari berbagai kelompok pesaing, misalnya dari Yudaisme, sekaligus sebagai kisah-kisah devosional yang dapat membangun ikatan batin yang makin kuat dalam diri komunitas para penulis injil-injil terhadap Yesus, sang Tuhan mereka./14/

Tuhan itu bebas dan kreatif

Uraian-uraian di atas telah berhasil memperlihatkan bahwa kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima roti dan dua ekor ikan, bukanlah kisah-kisah tentang sebuah peristiwa sejarah faktual, melainkan kisah-kisah kreatif imajinatif intertekstual (antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang disusun untuk berbagai kepentingan: misiologi, devosi, kompetisi religiopolitis. 

Juga telah diperlihatkan ada banyak persoalan dan kesulitan besar timbul jika kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kisah-kisah sejarah faktual. 

Tuhan Allah berfirman dengan cara yang bebas dan kreatif, dapat memakai fakta-fakta dan dapat juga memanfaatkan kisah-kisah figuratif imajinatif. Jangan batasi kreativitas Yesus dan juga kreativitas Allah, sang Bapa.

Selain itu, jika kisah-kisah ini dipahami dan diterima secara literalistik, maka maksud dan tujuan misiologis sebenarnya penulisan kisah-kisah ini tak berhasil didapatkan, padahal kisah-kisah ini menjadi penting justru karena maksud dan tujuan penulisannya sama sekali bukanlah untuk menceritakan atau melaporkan kejadian-kejadian di masa lampau, melainkan untuk membimbing dan menguatkan serta memperlengkapi dan menggerakkan komunitas-komunitas Kristen yang berdiri empat puluh sampai lima puluh lima tahun setelah Yesus wafat dengan seperangkat ajaran kuat dan ideologi tangguh yang diperlukan.

Kisah-kisah ini menjadi penting khususnya ketika mereka sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologis religiopolitis dengan Yudaisme yang memicu mereka untuk menggambarkan Yesus sebagai “Musa yang baru”, yang lebih agung dari Musa yang sebenarnya, atau sebagai nabi besar yang berdiri berdampingan dengan, bahkan melampaui, nabi Elia dan nabi Elisa. 

Jadi, lewat kisah-kisah tentang Yesus yang melebihi nabi Musa, nabi Elia, dan nabi Elisa, para pembaca injil-injil didesak untuk meninggalkan agama Yahudi, atau tidak memilih agama Yahudi, tetapi berpaling dan masuk ke dalam agama Kristen versi masing-masing penulis injil. Kisah-kisah ini niscaya adalah kisah-kisah religiopolitis misiologis.

Dalam usaha memahami kisah-kisah mukjizat Yesus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperlakukan kisah-kisah tersebut sebagai kisah-kisah, bukan sebagai fakta-fakta.

Tentu ada kisah-kisah faktual, tapi juga ada kisah-kisah fiktif, dan kisah-kisah tentang mukjizat Yesus termasuk dalam kisah-kisah fiktif imajinatif, kisah-kisah teologis. Karena setiap kitab suci pasti bukan buku sejarah, maka di dalamnya ada lebih banyak kisah fiktif teologis ketimbang kisah faktual historis. Sejarah dan kisah imajinatif telah saling merangkul.

Jika orang mencari dan mau mendapatkan firman Allah lewat kisah-kisah skriptural, firman Allah juga bisa dengan jelas dan efektif disampaikan lewat media kisah-kisah imajinatif, tidak selalu harus lewat media kisah-kisah faktual. 

Yesus menyampaikan firman Allah banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusun-Nya sendiri, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya, metafora-metafora-Nya.

Siapa yang bisa memaksa Allah untuk berfirman hanya lewat kisah-kisah sejarah faktual? Dan jika Allah mau berfirman lewat kisah-kisah fiktif, lewat tamsil, lewat pepatah, lewat epik, lewat nyanyian, lewat imajinasi yang kaya dan kreatif, lewat puisi, lewat perumpamaan, maka siapa yang dapat melarang-Nya? 

Sekali lagi, Yesus menyampaikan firman Allah banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusun-Nya sendiri, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya. Siapa yang mau mempersalahkan Yesus?

Roti apapun bisa disediakan dalam jumlah yang terbatas, tetapi firman Tuhan yang disampaikan Yesus lewat berbagai cara dan bentuk bisa tidak terbatas. Karena itulah Yesus, dalam suatu kisah pencobaan diri-Nya, berkata, "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4 dan par.). 

Ucapan Yesus itu dikutip dari Ulangan 8:4. Pada teks kitab Ulangan ini si penulisnya menafsirkan "manna" (dalam kisah-kisah keluaran atau exodus dari Mesir) sebagai firman Tuhan. Jika demikian, firman Tuhan yang disampaikan Yesus lewat ajaran dan perumpamaan-Nya, juga lewat tindakan simboliknya, jauh lebih banyak dan lebih tinggi dibandingkan yang disampaikan nabi Musa.

Apa itu metafora?

Mereka yang menolak untuk melihat kisah mukjizat Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 roti dan 2 ikan sebagai sebuah perumpamaan, sebuah metafora, umumnya tidak suka pada sains modern, apalagi jika sains ini dipakai untuk mengupas teks-teks Alkitab untuk memperlihatkan teks-teks itu sebagai metafora. 

Sains itu berurusan hanya dengan fakta-fakta. Dengan ingin memperlakukan kisah-kisah mukjizat Yesus sebagai kisah-kisah faktual, kisah-kisah tentang fakta-fakta, mereka anehnya ingin memperlakukan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks ilmiah, padahal mereka anti-ilmu pengetahuan. 

Jika mereka tetap ingin memperlakukan teks-teks Alkitab sebagai teks-teks ilmiah, paling jauh mereka akan hanya bisa melakukan suatu praktek mencocok-cocokkan dengan naif teks-teks Alkitab dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan. Praktek kebablasan ini saya namakan cocokologi, yang sama sekali tidak mempunyai nilai kebenaran ilmiah. 

Tentang usaha naif cocokologi yang sia-sia dan melelahkan, sudah saya beberkan dalam tulisan saya Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Agama-agama dalam Era Sains Modern./15/

Nah, sekarang anda tentu perlu bertanya, apa itu metafora. Buang konsep anda yang sempit sebelumnya tentang metafora.

Metafora (dibentuk dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein") adalah suatu sarana dan wahana sastrawi artistik imajinatif yang dibangun untuk memindahkan atau "menyeberangkan" (Yunani: "ferein") para pembaca atau pendengar, masuk ke kawasan lain yang lebih tinggi, yang "melampaui", atau "beyond" (Yunani: "meta"), kawasan biasa yang rutin sehari-hari yang sudah tidak direnungkan lagi tetapi diterima begitu saja. Kawasan lain yang lebih tinggi ini disebut kawasan transenden.

Kawasan lain yang lebih tinggi ini adalah kawasan adinilai, kawasan besar, kawasan transenden, yang menakjubkan, kawasan baru yang membuka, memperluas dan mencerahkan sekaligus memukau pikiran, jiwa, perasaan, karya dan kehidupan yang menyeluruh. 

Lewat berbagai metafora agung yang diresapi, manusia tumbuh, bergerak, pindah, memasuki kawasan kehidupan yang lain, yang baru, yang lebih tinggi, yang agung dan penuh dengan wawasan terobosan, etika agung, dan kebajikan. Memasuki kawasan transenden, kawasan yang luarbiasa besar, melampaui batas-batas yang biasa sehari-hari. Untuk ulasan lebih luas dan lebih dalam tentang metafora, bacalah tulisan saya "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu Metafora?"/16/

Jadi, bagi saya, kisah metaforis Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan adalah kisah yang sangat memukau, sangat kuat menggerakkan hati saya, mengubah etika saya, membarui pengenalan saya terhadap figur agung Yesus, membarui wawasan dan pemahaman saya tentang kehidupan, pemilikan, belarasa dan empati, dan semuanya ini diangkat ke peringkat yang lebih tinggi dan lebih agung, memasuki kawasan adinilai, kawasan transenden. 

Ya, kisah ini mendorong saya untuk berbagi apa yang saya punyai, kepada makin banyak orang, yakni pikiran, wawasan, kebaikan, waktu, tenaga, umur, dan makanan serta kebutuhan hidup esensial lainnya yang saya punyai sebagai pemberian Tuhan, meskipun saya tidak mempunyai banyak. Kebajikan ini akan berdampak besar dan berarti bagi makin banyak orang jika saya lakukan terus-menerus, makin tinggi lagi, sebagai seorang pengikut Yesus yang agung, yang sangat besar, yang melampaui nabi-nabi besar PL. Itulah kekuatan metafora. The power of a metaphor. Saya menikmati dan mengalaminya.

Penutup

Jika anda punya harta dan kepemilikan, share ke orang lain, bagilah ke orang lain sebisa anda, berhubung sekarang ini (sejak 2015) segelintir orang, yakni orang terkaya dunia yang merupakan 1% penduduk dunia, menguasai kekayaan jauh lebih banyak dibandingkan total kekayaan yang dimiliki 99% penduduk dunia lainnya. Data 2017 menunjukkan bahwa total kekayaan yang dipunyai 8 orang superkaya dunia sama dengan total kekayaan yang dimiliki separuh penduduk termiskin dunia./17/

Metafora Yesus memberi makan 5000 orang dengan sangat sedikit makanan memiliki kekuatan untuk ikut membangun kesadaran manusia untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang begitu besar, lebar dan dalam antara orang kaya dan orang miskin sedunia sekarang ini. Jangan biarkan 5000 roti dihabiskan oleh 5 orang saja. 

Terima kasih Yesus. Terima kasih juga kepada para penulis metafora besar Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan dalam PB.

Catatan-catatan

/1/ Ioanes Rakhmat, "Mengapa memilih hidup 'in denial'?", Freidenk Blog, update mutakhir 15 Juni 2019, 
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/07/denial-apa-penyebabnya.html?m=0.

/2/ Ioanes Rakhmat, "Langkah-langkah Menafsirkan Sebuah Teks Alkitab', Freidenk Blog, 3 November 2010, diperluas 18 Mei 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/11/langkah-langkah-menafsirkan-sebuah-teks.html?m=0.

/3/ Ioanes Rakhmat, "Metode-metode Ilmiah Tafsir Kitab Suci", Freidenk Blog, 19 Oktober 2008, diperiksa kembali 02 November 2017, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/10/pendekatan-pendekatan-kritis-hermeneutik.html?m=0.

/4/ Ioanes Rakhmat, "Allah-allah dalam Dunia Laut Tengah Kuno", Freidenk Blog, update mutakhir  27 Maret 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2009/01/allah-allah-dalam-dunia-yunani-romawi.html?m=0.

/5/ Ihwal Kaisar Augustus disembah sebagai “sang juruselamat dunia” dan kelahirannya dipandang membawa “kabar baik” dan “keselamatan” bagi seluruh kekaisaran, ditulis dalam sebuah prasasti yang mencantumkan dekrit Majelis Provinsi Asia yang dikeluarkan tahun 9 SM. Lihat teks dekrit ini selengkapnya dalam Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context (New York: Crossroad, 1989) hlm. 27.

/6/ Gerhard von Rad dalam Claus Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics (Richmond, Virginia: John Knox Press, 1964) hlm. 36.

/7/ Jean Daniélou, From Shadows to Reality (London: Burns and Oates, 1960) hlm. 12.

/8/ Walter Eichrodt  dalam Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 225.

/9/ Gerhard von Rad dalam Westemann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 36-37; lihat juga S. Lewis Johnson, The Old Testament in the New (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1980) hlm. 55.

/10/ Jean Daniélou, From Shadows to Reality, hlm. 12; Walter Eichrodt dalam Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 235.

/11/ Tema tipologis tentang Yesus sebagai “Musa yang baru” dalam Injil Matius telah dieksplorasi dengan bagus antara lain oleh Dale C. Allison, Jr., The New Moses: A Matthean Typology (Minneapolis: Fortress Press, 1993).

/12/ Kendatipun dalam konteks narasi tentang pembaptisan Yesus di sungai Yordan, Yesus, kita baca, mengungkapkan kesediaan-Nya untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis yang malah sebaliknya sungkan untuk melakukannya (Matius 3:14-15). Bagaimana pun juga, dalam injil-injil PB terlihat ada usaha kuat untuk menaklukkan Yohanes Pembaptis ke kaki Yesus.

/13/ Reginald Fuller, Preaching the New Lectionary (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1974) hlm. 406.

/14/ Ioanes Rakhmat, "Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Agama-agama di Era Sains Modern?", Freidenk Blog, dimutakhirkan 16 Maret 2020, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/02/bagaimana-seharusnya-memperlakukan.html?m=0.

/15/ Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang, khususnya yang terdapat dalam Lukas 9:12-17, dapat juga dijelaskan dengan memakai pendekatan tafsir sosial saintifik, dengan memakai model “patron-klien”, sebagaimana sudah dilakukan oleh Ekaterini Tsalampouni, “The Story of Feeding the Multitudes in Luke 9:12-17: A Social-Scientific Approach” (February 2012),
http://www.bibleinterp.com/opeds/tsa368003.shtml.

/16/ Ioanes Rakhmat, "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu Metafora?", Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.