Wednesday, January 21, 2009

Teori "Normative Dissonance" dan Kekristenan Perdana

Oleh Ioanes Rakhmat
Pendahuluan
Kalau teori cognitive dissonance melihat kepercayaan keagamaan yang dipegang dengan konsisten (di mana untuk ini rasionalisasi jelas harus dilakukan) dan disebarluaskan, sebagai kunci untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab viability dan resilience komunitas-komunitas Kristen perdana, maka teori “normative dissonance” (ND) menjelaskannya dari sudut sebaliknya, yaitu dari inkonsistensi norma-norma yang menjadi ciri kehidupan masyarakat Laut Tengah kuno.[1]

Dilihat dari perspektif teori ND, harus dikatakan bahwa kekristenan perdana dapat bertahan dan berkembang karena komunitas dan individu Kristen di dalamnya tidak mengambil posisi ekstrim untuk selalu bersikap dan berpandangan konsisten secara total yang dapat membawa orang pada kehancuran diri yang fatal dan tragis, melainkan mampu bersikap fleksibel, luwes, tidak bertahan pada satu pilihan nilai dan norma saja, terbuka pada banyak pilihan yang tersedia, menerima ambivalensi dengan lapang dada, moderat dan toleran. Dengan keluwesan dan keterbukaan pada banyak pilihan, maka individu atau kelompok dalam masyarakat tidak perlu memberi komitmen tunggal, habis-habisan dan menyeluruh, hanya pada satu pilihan (entah nilai sosial atau pun pemimpin organisasi); keterbukaan ini membuat orang mampu mempertanyakan sesuatu, meragukan, berganti pilihan, dan, dengan demikian, menghasilkan inovasi dan ketahanan diri.

Orang-orang Kristen perdana, sebagaimana ditampilkan dalam teks-teks Perjanjian Baru, adalah orang-orang yang berperilaku ambivalen dalam skala luas; dan mereka juga tidak melaksanakan norma-norma dengan konsisten. Dalam surat-surat Paulus dan dalam Injil-injil, bahkan dalam seluruh PB, sebetulnya inkonsistensi norma-norma, nilai-nilai, makna-makna, dan perilaku, banyak ditemukan. Inkonsistensi-inkonsistensi nilai, norma, makna dan perilaku yang ditemukan dalam teks-teks PB bukan hanya menunjukkan telah berlangsungnya aneka ragam aktivitas literer: mulai dari penulisan bahan-bahan sumber, lalu sejarah transmisi tradisi dan berbagai penafsiran, aktualisasi dan penyuntingan bahan-bahan itu, sampai pada bentuk kanoniknya masing-masing; tetapi juga, dilihat dari studi sosial, menampilkan situasi-situasi sosial masing-masing komunitas terkait dan cara-cara mereka menanggapi situasi-situasi sosial itu.

Mengenai inkonsistensi dalam teks-teks PB, sedikit contoh perlu dikemukakan, diambil dari Injil-injil. Misalnya, dalam Markus 2:18 murid-murid Yesus dikatakan tidak berpuasa, tetapi di dalam 2:20 mereka dikatakan akan berpuasa. Dalam Markus 2:21-22 dikatakan anggur baru tidak boleh dimasukkan ke dalam kantung tua, tetapi dalam 2:27 Yesus masih mempertahankan yang lama (hari Sabat). Dalam Matius 5:22 Yesus melarang orang berkata kepada saudaranya “bodoh!”, tetapi di dalam 23:1ff. Yesus dengan bebasnya mengecam orang-orang Farisi, “Hai kamu orang-orang bodoh!” (ayat 17).

Murid-murid Yesus Tidak Konsisten:
Mereka Menolak Sikap Ekstrim Yang Dituntut Yesus

Mengenai murid-murid Yesus, digambarkan bahwa mereka hidup wajar sebagaimana orang-orang lain dalam masyarakat mereka. Petrus, misalnya, menunjukkan kepedulian yang wajar terhadap ibu mertuanya (Markus 1:29-30; par.); dia juga wajar saja ingin tahu apa upah yang akan didapatnya kalau dia mengikut Yesus (10:28-31; par.). Murid-murid meminta sesuatu yang wajar dari Yesus, agar dia peduli ketika mereka ada dalam kesulitan (4:38; par.). Wajar juga kalau murid-murid tidak selalu bisa memahami Yesus (4:10; par.). Para murid tidak berharap, sebagaimana orang lain juga pada umumnya, bahwa ikut serta dalam gerakan yang diprakarsai Yesus akan sulit (10:23-24; par.). Malah Yakobus dan Yohanes berharap akan mendapat tempat mulia utama dibandingkan murid-murid lainnya (10:35-38; par.); demikian juga murid-murid lainnya mempersoalkan siapa yang terbesar dari antara mereka (9:34; par.). Semua ini (dan masih banyak contoh lainnya yang bisa diangkat) menunjukkan bahwa para murid bukanlah orang-orang yang berperilaku ekstrim; yang mereka pegang dan lakukan adalah nilai-nilai, norma-norma, makna-makna dan perilaku umum.

Tetapi, di dalam tradisi Injil, Yesus juga ditampilkan meminta para muridnya berperilaku ekstrim: harus meninggalkan rumah dan kaum keluarga bahkan harus membenci mereka (Markus 10:29; Matius 19:29; Lukas 9:59-62; 14:26); jangan memanggil siapapun bapa kecuali Allah (Matius 23:9); menjual tanah dan segala harta milik (Lukas 12:33; 14:33; Matius 19:29); mendisiplinkan tubuh dan indra dengan radikal (Markus 9:43-48; par.). Terhadap nilai, norma dan perilaku ekstrim ini, dan kepada dirinya sendiri selaku pemimpin, demi “kerajaan Allah”, Yesus meminta dari para murid komitmen tunggal dan menyeluruh, habis-habisan; mereka harus “bersedia kehilangan nyawa” (Markus 8:35; par.). Mereka diminta untuk membeli dan membawa pedang (Lukas 22:36-38, 49-50; bdk. Markus 14:46; Matius 26:51). Terhadap semua permintaan Yesus ini, para murid semula memberikan komitmen penuh. Tegas Simon Petrus, “Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau” (Matius 19:27). Tentang dirinya sendiri, ketika situasi genting akan segera menyongsong, Petrus sesumbar, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak!” (Markus 14:29; par.). Untuk ikut serta dalam penderitaan Yesus, sebelumnya murid-murid yang lain telah menyatakan, “Kami dapat!” (Markus 10:39; par.).

Tetapi, akhirnya, faktanya adalah para murid sama sekali tidak konsisten; mereka sangat fleksibel. Mereka melepaskan komitmen tunggal mereka pada Yesus dan perjuangannya. Mereka menjauhkan diri dari bentuk-bentuk perilaku ekstrim yang dapat membinasakan mereka. Ketika Yesus, karena berkomitmen penuh pada perjuangan yang sedang dilakukannya, ditangkap, ternyata “semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri” (Markus 14:50; Matius 26:56). Petrus yang sebelumnya sesumbar ternyata hanya “mengikut dari jauh” (Markus 14:54) dan akhirnya menyangkal Yesus, katanya, “Aku tidak kenal orang yang kamu sebut-sebut ini!” (Markus 14:66-72; par.). Ketika Yesus dieksekusi mati di kayu salib dengan suatu tuduhan politis bahwa dia mengklaim diri sebagai “Raja orang Yahudi” (Markus 15:26; par.) di suatu negeri, Tanah Israel, yang dijajah Roma, ternyata tidak seorang pun dari antara para murid Yesus yang ikut disalibkan dan mati. Mereka memilih menyayangi nyawa mereka, dan tentunya juga nyawa kaum keluarga mereka. Mereka tetap bebas, sementara Yesus dipancang di kayu salib; mereka tetap hidup dan hanya “melihat dari jauh” (Markus 15:40; par.) sementara Yesus sekarat dan akhirnya mati di kayu salib.

Kesimpulan
Kita boleh bebas menilai tindakan akhir para murid ketika Yesus ditangkap dan dihukum mati. Tetapi, bagaimana pun juga, semua perkembangan yang telah berlangsung itu, pas betul dengan teori ND. Pilihan mereka untuk tidak konsisten mengikut Yesus, di saat-saat genting melepaskan hypercommitment mereka kepadanya, melarikan diri dan tetap hidup, telah memberi suatu sumbangan penting bagi kelangsungan terus gerakan Yesus, meskipun sang pemimpin telah mati. Mereka menolak mengambil sikap ekstrim melawan Roma dan para pemimpin Yahudi yang telah menangkap dan mengeksekusi Yesus; bila tidak, maka mereka pun akan segera juga digulung dan gerakan mereka ditumpas habis;[2] akibatnya, tentu gerakan Yesus hanya akan tinggal sebagai suatu titik saja dalam sejarah masa lampau. Pada pihak lain, siapa pun juga tentu boleh menarik suatu kesimpulan teologis bahwa gerakan Yesus tidak berhasil ditumpas, meskipun sang pemimpin sudah dieksekusi, karena Allah menghendaki demikian. Pemakaian teori “normative dissonance” untuk memahami kekristenan perdana hanya bermaksud menunjukkan adanya faktor-faktor sosio-kultural dan psikologis empiris yang membuat umat Kristen perdana bisa bertahan dan tetap hidup kendati pun sang pemimpin mereka telah dibunuh.


Catatan-catatan
[1] Sumber primer untuk penjelasan teori ND, dapat dilihat pada Robert K. Merton, Sociological Ambivalence and Other Essays (New York: Free Press, 1976); Edgar W. Mills, Jr., “Sociological Ambivalence and Social Order: The Constructive Use of Normative Dissonance,” Sociology and Social Research 67 (1983) 279-287; Wilbert E. Moore, Social Change (ed ke-2; Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1974). Penerapan teori ini pada kekristenan perdana, lihat Bruce J. Malina, “Normative Dissonance and Christian Origins”, Semeia 35 (1986) 35-59.

[2] Tidak sedikit gerakan mesianis populis dan gerakan kenabian Yahudi abad pertama yang berpusat pada seorang tokoh yang diklaim publik sebagai “yang diurapi” (mesias) atau sebagai raja atau sebagai nabi, yang memberitakan pembebasan Israel dari kolonial Roma dan para petinggi Yahudi antek Roma, menghimpun massa populis, mengangkat senjata, mengklaim karya ajaib, akhirnya ditumpas dini oleh Roma. Tentang ini lihat antara lain Richard A. Horsley, John S. Hanson, Bandits, Prophets, and Messiahs: Popular Movements at the Time of Jesus (San Francisco: Harper and Row, 1985, cetakan ke-2: 1990) 110-134, 160-189.