Tuesday, July 14, 2009

Yesus Berjalan di atas Air: Betulkah?


Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.
 ioanes rakhmat

Selain itu, klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.
 

ioanes rakhmat

N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Pengantar

Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam alam harus bisa dijelaskan oleh sains sebagai sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum alam (the laws of nature atau natural laws), meskipun sains pada masa kini belum bisa menjelaskan dengan tingkat kepastian yang tinggi seluruh jalannya hukum-hukum alam, dalam "dunia" partikel dan dalam jagat semesta. 

Sains dihasilkan oleh akal budi yang digunakan dengan kritis dan konsisten, melalui metode observasi atas fakta-fakta dan fenomena, melalui eksperimentasi dengan objek-objek empiris dengan memakai instrumen-instrumen, atau lewat model-model yang dibangun (model komputer, model statistik, model matematis, dll). Koherensi dengan teori-teori besar yang sudah ada juga menjadi penuntun ketika para ilmuwan menyusun berbagai konstruksi keilmuan yang baru.

Belum semua hukum alam sudah diketahui. Masih banyak fenomena yang beyond hukum-hukum alam yang sudah dikenal dalam jagat raya kita, belum lagi dalam jagat-jagat raya lain, bukan kontra hukum-hukum alam.

Jika ada suatu fenomena alamiah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains pada masa kini, tidak berarti bahwa fenomena ini terjadi karena sebab-sebab supra-alamiah (misalnya karena campur tangan Allah atau campur tangan dewa-dewi) dan karenanya disebut sebagai mukjizat. Melainkan berarti bahwa sains pada masa kini belum bisa menjelaskannya dan terbuka kemungkinan untuk sains di masa depan bisa menjelaskannya. 

Sains pada dasarnya tidak akan membiarkan hal apapun tanpa penjelasan ilmiah. Semakin sains dan teknologi berkembang maju, semakin menakjubkan juga penjelasan-penjelasan keilmuan yang dapat diberikan atas berbagai fenomena.

Penjelasan sains bisa salah, ini sudah jelas; tetapi sains pada dirinya sendiri memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengoreksi diri. Tak ada sains yang mutlak bertahan abadi. Sains tak akan pernah menjadi dogma-dogma suci. Alhasil, sains, dan teknologi sebagai terapannya, terus berkembang makin maju. Koreksi diri, itulah kunci penting bagi kemajuan apapun.

Salah satu "soft skills" yang dibutuhkan untuk siapapun mampu dan cakap mengoreksi diri adalah "metacognitive skill", atau kecakapan metakognitif. Nah, m
etakognisi adalah "pikiran (kita) tentang pikiran (kita) sendiri". Jadi, kecakapan metakognitif adalah kemampuan dan kecakapan untuk dengan kritis dan dengan kesadaran penuh memantau, memikirkan, mempertimbangkan dan mengevaluasi terus-menerus pikiran-pikiran kita dan kinerja kita sendiri, sebagai pemikir dan pembelajar. /1/ 

Setelah proses metakognitif itu berjalan, kita selanjutnya cakap mengadaptasi pikiran-pikiran, hasil-hasil pembelajaran dan kinerja kita dengan konteks-konteks yang baru dan senantiasa berubah, dan dengan tugas-tugas dan tanggungjawab yang baru dalam dunia yang terus berubah dalam sangat banyak bidang./ 2/

Nah, jika kepercayaan pada adanya Allah dipertahankan, maka harus dikatakan bahwa Allah berkarya melalui dan di dalam hukum-hukum alam, dan tidak menentang atau melawan hukum-hukum alam. 

Lebih jauh bahkan dapat ditegaskan bahwa hukum-hukum alam itu sendiri adalah kehendak dan pikiran Allah yang paling langsung dan paling jelas dapat diketahui manusia dalam dunia alam. Orang yang bergerak dalam alur teologi naturalis tidak mengalami kesulitan apapun untuk menerima hal ini.

Beberapa abad lalu, Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) sudah berpikir demikian ketika dia menyatakan “Deus sive Natura”, Allah atau Alam, maksudnya: Allah adalah alam, atau bahwa hukum-hukum alam itu adalah Allah sendiri, yang satu tidak bisa dipilih dan yang lain dibuang. Michio Kaku, seorang kosmolog masa kini yang kondang, juga mengaku bisa menerima keberadaan Allah, tetapi Allahnya bukanlah Allah dalam tiga agama monoteistik (Yudaisme, Kristen, dan Islam), melainkan Allah yang dipahami Spinoza!

Dengan demikian, jika ada suatu laporan apapun bahwa telah terjadi sesuatu yang menurut sains selamanya tidak akan mungkin terjadi secara alamiah di Bumi atau di alam semesta karena melanggar hukum-hukum alam, maka laporan ini tidak boleh diperlakukan sebagai suatu laporan tentang sesuatu yang faktual empiris alamiah sungguh terjadi dalam dunia.

Laporan semacam ini harus dilihat sebagai suatu laporan palsu yang direkayasa untuk melayani kepentingan-kepentingan insani tertentu. Atau sebagai suatu laporan yang memang harus dipahami bukan sebagai suatu laporan faktual tentang suatu kejadian historis, tetapi sebagai suatu kisah teologis yang memang ditemukan dalam tulisan-tulisan keagamaan dari berbagai zaman di tempat yang berbeda-beda.




Lihat gambar di atas. Air yang bergelombang besar tidak bisa menelan Yesus, sang Tuhan gereja. Sebaliknya, Yesus menginjak-injaknya. Berkonsentrasilah, fokuslah, pada Yesus, Tuhan yang hidup, maka anda pun akan berjalan di atas air yang besar bergelora dalam kehidupan anda.


Metafora

Ketahuilah, suatu laporan atau kisah teologis bertujuan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah manusia, tetapi bermaksud menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam kawasan nilai-nilai, misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, hal-hal yang menguatkan dan memberdayakan mental, dan seterusnya. 

Atau untuk menimbulkan efek dan respons pada perasaan, emosi, pikiran dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional atau penyembahan dan pemujaan keagamaan. 

Kisah-kisah semacam itu lazim dinamakan metafora (dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein"). Yaitu suatu bentuk wahana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) si pembacanya, masuk ke kawasan lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia rutin sehari-hari, yakni kawasan adinilai, kawasan yang "sangat besar" atau transenden, yang melampau "batas-batas yang biasa". Kawasan ini memukau, mengejutkan, menggerakkan hati dan pikiran, dan mengubah kehidupan.

Tanpa metafora-metafora, maka pengenalan, pengalaman, penghayatan, gambaran dan internalisasi kita atas kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar" yang melampaui dunia sehari-hari kita yang rutin, kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan Misteri Besar, kawasan "the Wholly Other", akan sangat terbatas, bahkan tak dapat ada, tak dapat kita alami dan masuki, tak dapat mempesona dan tak dapat membuat kita tergetar dan tersungkur dalam keheningan, in deep silence

Rudolf Otto (dalam bukunya Das Heilige, 1917) menyebut Misteri Besar ini sebagai Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau "Misteri yang menakutkan sekaligus berkasihkarunia" (Inggris: fearful and merciful Mystery/Wholly Other"). Misteri ini, dalam bahasa Jerman, disebut oleh Rudolf Otto (1869-1937) sebagai "schauervolles und faszinierendes Geheimnis", atau sebagai "Ganz Andere", "Wholly Other" atau "Sang Lain" yang asing sepenuhnya, sang Serbalain./3/ 

Misteri Besar ini hanya bisa kita masuki dan alami lewat metafora-metafora besar yang dibangun dengan bagus, dan menghasilkan kebaikan dan cinta pada kehidupan.

Tanpa metafora, teologi apapun tak dapat dibangun, baik teologi cerita maupun teologi proposional, karena setiap teologi mengacu dan mau masuk ke Misteri Besar ini, misteri yang dahsyat sekaligus rahimi, yang melampaui segala sesuatu yang kita kenal dan persepsi dalam dunia biasa rutin sehari-hari kita. 

Untuk masuk ke Misteri Besar ini, ke "Ganz Andere", kita perlu menyeberang, memasukinya, lewat wahana metafora. Ya, karena misteri ini sepenuhnya melampaui atau berbeda dari dunia kita yang sehari-hari dan rutin, sehingga bahasa yang biasa, yang rutin, tak mampu menggerakkan dan membawa kita memasukinya. Metafora adalah bahasa, tapi bahasa yang lain, yang lewatnya kita mendatangi Sang Lain.

Misteri Sang Lain ini dahsyat dan mengerikan, tapi juga penuh kasih karunia dan menimbulkan kegembiraan, kesukaan, dan semangat. 

Lewat interaksi, metafora membawa kita memasuki kawasan transenden ini, sekaligus mendatangkan kawasan ini, Sang Lain ini, ke kita dan menyentuh kita dengan lembut sekaligus menyentak. 

Kita terbenam dalam keheningan di saat ini terjadi, di saat bertemu dengan, dan dijumpai oleh, the holy silent, the Wholly Other, Sang Lain. Itulah, the power of a metaphor.

Selanjutnya, silakan baca dengan cermat dan dada plong tulisan saya Teologi Adalah Metafora. Apa itu Metafora? Tulisan ini akan lebih luas membuka cakrawala pengetahuan anda tentang metafora, sejauh anda masih sedang berlayar ke depan, menuju cakrawala yang selalu samar dan menjauh./4/

Pencitraan diri

Ada sebuah tayangan audio-visual di youtube/5/ yang menampilkan Dedy Corbuzier (DC), seorang mentalist Indonesia, berjalan di atas air sementara kedua tangannya menggenggam sebuah handycam di sebuah kolam renang di Jakarta. Dalam sebuah tayangan lain, DC malah, seperti spiderman, berjalan ke atas pada sebuah dinding tembok dari sebuah bangunan tinggi dengan garis tubuhnya membentuk sudut 90 derajat dengan garis vertikal tembok. 

Menurut sains, berdasarkan hukum-hukum alam dan hukum-hukum fisika, dalam kondisi normal alamiah manusia manapun di Bumi ini tidak bisa berjalan di atas air yang dalam (kecuali di atas air yang kedalamannya hanya 10-20 cm) sebab massa jenis tubuh normal alamiah manusia lebih besar dari massa jenis air, dan juga tidak bisa berjalan normal alamiah ke atas pada dinding tembok sebab di Bumi ini secara alamiah bekerja gaya gravitasi Bumi yang akan menariknya jatuh ke bawah, seperti sebuah apel akan pasti jatuh ke bawah jika apel ini terlepas dari ranting pohon apel.

Jika DC betul-betul berjalan di atas air kolam renang yang dalam dan gambar acting-nya ini dapat secara objektif diambil oleh sebuah kamera, DC sangat boleh jadi telah berjalan (dalam dugaan saya semula) di atas sambungan balok-balok es batu yang panjang dan cukup besar yang telah disiapkan sebelumnya, yang mengapung di atas air kolam renang dan tidak bisa tertangkap oleh penglihatan biasa. 

Atau, ini yang sudah dipastikan, DC berjalan di atas tiang-tiang balok kaca yang disebut plexiglass, yang dipasang tegak lurus dengan dasarnya menyentuh dasar kolam renang. Plexiglass tidak bisa dilihat oleh mata biasa, tetapi dapat ditangkap oleh kamera khusus. 

Atau, tayangan DC berjalan di atas air atau berjalan ke atas pada dinding tembok semuanya adalah rekayasa teknologi canggih pembuatan film. 

Seorang lagi, yang telah menyihir publik, adalah Criss Angel. Si Angel ini diambil gambarnya sedang berjalan di atas air sebuah kolam renang, tanpa membawa handycam, dengan sangat berhati-hati, dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Dia dikelilingi gadis-gadis cantik yang dibayar. Sudah disingkap bahwa Criss bukan berjalan di atas air, tetapi di atas plexiglass. Lihat tayangan videonya dan analisisnya di youtube./6/ 

Kembali ke DC. Tujuan tayangan-tayangan tentang DC ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah citra metaforis DC, bahwa DC adalah seorang superman atau seorang spiderman kebangsaan Indonesia, bangsa yang merindukan seorang  superman benar-benar dilahirkan untuk mengangkat citra bangsa ini di mata dunia. 

Pencitraan diri semacam itu dibangun oleh banyak kalangan serebritas di seluruh dunia, bagaimana pun juga caranya, termasuk dengan cara menyihir atau memukau masyarakat (yang lugu) melalui teknologi canggih sinematografi atau melalui trik-trik material dan mental lainnya.

Yang sungguh tak bisa saya pahami adalah pendapat sekian pendeta yang disampaikan langsung kepada saya, bahwa DC memang sungguh-sungguh berjalan di atas air, bukan sebuah acting rekayasa untuk hiburan atau mencari nama, dan apa yang telah dilakukan DC ini, tegas para pendeta itu, membenarkan kisah-kisah injil Perjanjian Baru tentang Yesus berjalan di atas air! Walah, walah, argumen mereka kok jadi begitu? Kepercayaan pada mukjizat Yesus dipakai oleh mereka untuk membenarkan acting DC, dan sebaliknya juga.

Sekarang, mari kita cermati teks-teks injilnya. Tahap demi tahap kita perlu melangkah untuk dapat menemukan makna dan pesan teks, maksud dan tujuan teks ditulis dan dipublikasi oleh penulis-penulis injil.

Hukum alam yang baru?

Dalam Injil Markus 6:45-52 (paralel Matius 14:22-33; Yohanes 6:16-21) dikisahkan bahwa Yesus berjalan di atas air Danau Galilea (atau Danau Tiberias). Kita bertanya: Apakah Yesus bisa betulan berjalan di atas air danau yang dalam?

Jawabnya: Yesus secara alamiah tidak bisa berjalan di atas air di tengah Danau Galilea yang dalam, karena massa jenis tubuh Yesus lebih besar dari massa jenis air danau. Dan pasti, Yesus juga tidak bisa berjalan melayang di atas muka air danau itu, sebab Yesus memiliki tubuh yang memiliki massa atau berat, dan Dia bukan roh atau angin atau hantu tanpa tubuh. Ini adalah jawaban berdasarkan pandangan saintifik.

Ingatlah bahwa jika suatu hukum alam dilanggar, maka hasilnya adalah suatu hukum alam yang lain dan baru. Apakah sekarang kita sudah temukan hukum alam yang baru itu yang membuat kita dengan bobot tubuh kita dapat berjalan di muka air yang dalam secara alamiah (tanpa bantuan tenaga jet)? Ya, hukum alam yang seperti itu tidak ada. Kita semua tahu hal ini.

Prapaham dogmatis mengendalikan

Orang Kristen kalangan tertentu, karena kesalehan dan devosi mereka pada Yesus, umumnya akan berkeras menyatakan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Dia adalah Allah yang sanggup melakukan mukjizat apapun, yang melanggar hukum-hukum alam, dan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Alkitab melaporkannya demikian! 

Sikap keras atau kesalehan keras ini susahnya membuat pesan sebenarnya kisah ini ketika dulu ditulis hilang, tidak pernah bisa ditangkap mereka.

Sikap keras mereka itu timbul dari perlakuan dan ide mereka yang salah tentang hubungan teks-teks skriptural Alkitab dengan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Mereka umumnya menamakan iman atau keyakinan mereka ini sebagai bibliologi. 

Teks-teks Alkitab apapun begitu saja, dengan naif, tanpa pengetahuan yang benar, mereka pakai untuk mendukung dan membenarkan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Bibliologi mereka itu sebetulnya adalah prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab, bukan pengetahuan (Yunani: logos) yang benar tentang Alkitab (Yunani: biblion) atau teks-teks Alkitab. 




Argumen "kucing kejar buntutnya sendiri"


Argumen mereka jelaslah argumen yang sirkular. Maksudnya: prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab menentukan, menuntun dan mengendalikan pemahaman mereka (yang jelas literalis, naif dan keliru) atas teks-teks Alkitab, lalu pemahaman mereka yang oleh mereka telah dimasukkan ke dalam teks-teks Alkitab ini, yang mereka klaim telah diangkat dari teks-teks Alkitab, pada gilirannya memperkuat dan mengabsahkan prapaham-prapaham dogmatis mereka tersebut. Ini ibarat seekor kucing yang berputar-putar sirkular mengejar buntutnya sendiri. Lalu, pada gilirannya, si buntut mengejar sang kucing pemilik buntut--- terus demikian, tak pernah tiba di tujuan.

Ada banyak prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Beberapa dapat saya sebutkan, berikut ini. 

• Doktrin "inerrancy of the Bible", bahwa segala info dan data dalam Alkitab, bahkan sampai ke titik dan koma semua tulisan di dalamnya, tidak akan pernah keliru, tapi selalu benar dan akurat; 

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami Alkitab tapi hanya iman. Posisi ini dinamakan fideisme (Latin: fides, iman), yang mencampakkan akal dan ilmu pengetahuan;

• Ide bahwa para penulis Alkitab dikendalikan sepenuhnya oleh roh Allah ketika mereka menulis teks-teks Alkitab, sehingga akal budi, kehendak dan konteks real kehidupan mereka tidak berperan sama sekali. Posisi ini mengakibatkan mereka mengambil pemahaman ahistoris terhadap Alkitab;

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan, melainkan hanya Roh Kudus, yang dapat dengan benar menuntun para pembaca Alkitab untuk memahami Alkitab; 

• Ide bahwa kehendak dan pikiran Allah sudah terbaca dalam semua teks Alkitab apa adanya, sebagaimana telah tertulis, tanpa perlu ditafsir lagi. Ini yang dinamakan literalisme skriptural yang naif, dan dapat berbahaya;

• Ide bahwa Alkitab selalu serba tahu dan serba benar tentang segala hal yang telah ada, yang sekarang ada, dan yang akan ada, dalam dunia ini. Ya, lantaran penulis Alkitab yang sesungguhnya adalah Allah yang mahatahu dan mahabenar, sebagai sang Arsitek Agung penyusun Alkitab. Inilah yang disebut totalitarianisme skriptural yang sangat naif, keliru, dan dapat berbahaya.

Semua prapaham dogmatis itu sudah ada dan kekal berdiam dalam benak mereka sebelum mereka membaca teks skriptural apapun. Makanya, dinamakan pra-paham atau lebih tepat pra-anggapan  atau presuppositions, yang bagi mereka sudah tidak bisa diubah lagi, bahkan oleh teks-teks Alkitab sendiri. Meskipun mengaku bahwa mereka mempertahankan prinsip Protestan sola scriptura ("hanya Alkitab"), namun yang sebenarnya berlaku dan mereka pertahankan adalah sola doctrina, "hanya doktrin" atau "hanya dogma".

Well, yang seharusnya dilakukan mereka, jika mereka terpelajar dalam pengetahuan keilmuan tentang Alkitab, adalah teks-teks Alkitab yang dipahami dengan benar dipakai untuk mengoreksi prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Hal inilah yang tidak bisa mereka lakukan, ya lantaran mereka bukan exegetes, tapi para apologet. Saya seorang exegete yang terlatih, tak pernah bisa menjadi seorang apologet. Selain itu, "soft skill" metakognitif sangat mungkin tidak mereka miliki.

Nah, satu soal lagi. Ihwal apakah Yesus adalah Allah atau bukan, bergantung pada keyakinan masing-masing orang; jadi klaim teologis ini bersifat subjektif doktrinal. Ya, bisakah anda memberi definisi insani pada Allah yang dipercaya tak terbatas, infinite? Semua orang teistik tidak bisa. Hal yang "infinite", tidak dapat dikurung dalam pembatasan-pembatasan atau definisi-definisi. Dapatkah anda dengan objektif membuktikan bahwa Yesus itu God? Ya, tidak bisa, tapi anda dapat mempercayai bahwa Yesus itu God

Tentu saja, jika anda mempercayai Yesus itu Allah, mempercayai God Jesus, dan kepercayaan anda ini membuat anda dapat hidup dengan penuh cinta kasih kepada segenap bentuk kehidupan dan alam, dan tidak membuat anda serba ofensif dan agresif, kepercayaan anda ini fungsional positif, kepercayaan yang membangun kehidupan. Tetapi soal kita sekarang adalah menemukan maksud dan tujuan penulisan kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air. Jangan kehilangan fokus.

Anti-Kristus

Klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.

Jika fakta Yesus itu sosok manusia yang real disangkal, para penyangkalnya tergolong penganut doketisme dalam kekristenan gnostik, yang oleh gereja awal dulu telah dinyatakan sesat, sebagai anti-Kristus. Tentang ini, ada teks-teksnya dalam Perjanjian Baru (1 Yohanes 2:18, 22; 4:2-3; dan 2 Yohanes 1:7). Silakan dibaca dengan cermat.

Suatu tubuh yang dapat dipaku pada kayu salib lalu mengeluarkan darah dan akhirnya mati, setelah tubuh ini mengalami kesakitan dan penderitaan yang amat sangat, adalah tubuh yang pasti tenggelam di air danau yang dalam, sama pastinya dengan tenggelamnya sebutir kelereng begitu kelereng ini dilempar dan masuk ke danau. 

Selain itu, karena Alkitab adalah kitab keagamaan, bukan buku sejarah, dan juga bukan buku sains, maka tidak semua berita atau kisah di dalamnya adalah sejarah atau sejalan dengan pandangan sains! 

Dus, hindarilah usaha saintifikasi Alkitab, atau usaha mengalkitabiahkan sains. Kedua usaha ini selalu kandas, terperosok ke dalam praktek cocokologi yang sia-sia, praktek mencocok-cocokkan Alkitab dan sains atau sebaliknya, praktek yang superfisial dan melelahkan para agamawan.

Jika anda sebagai seorang literalis ngotot menyatakan dan meyakini bahwa "Alkitab itu serba tahu dan serba benar tentang segala hal", maka anda menyamakan dan menyetarakan Alkitab (to biblion) dengan Allah (ho Theos) yang mahatahu. Selangkah ke depan, atau mundur selangkah ke belakang, anda pun otomatis memuja bahkan memberhalakan Alkitab. Inilah bibliolatri yang anda punyai, selain bibliologi. Apakah praktek keagamaan anda ini betul dan Kristiani?

Jelas, sains dan akal budilah, bukan iman, bukan doktrin, yang menentukan dan menilai apakah suatu laporan atau suatu kisah dalam Alkitab adalah suatu laporan atau kisah sejarah faktual. Roh kudus Allah tentu saja juga bekerja lewat ilmu pengetahuan dan akal budi manusia, termasuk ketika orang mau memahami teks-teks Alkitab.

Dengan memakai pendekatan saintifik, setiap kisah mukjizat dalam Alkitab harus dipahami pertama-tama sebagai sebuah kisah yang berisi pesan-pesan teologis, dan tidak semua kisah adalah sejarah. Sejarah memang kisah, tetapi kisah nyata insani, bukan kisah teologis. 

Sejarah berurusan dengan dunia ini, "this world"; sedang kisah-kisah teologis, atau teologi umumnya, berurusan dengan dan memasuki "dunia yang lain", "the otherworld".

Teks-teks yang mendahului

Mari sekarang kita ikuti bagaimana ihwal Yesus berjalan di atas air dikisahkan sebagai sebuah kisah. Maksud dan tujuan kisah ini ditulis menunggu kita temukan.

Kalau Yesus bisa berjalan di atas air yang dalam (katakanlah karena dia memiliki “ilmu meringankan tubuh” yang konon, menurut dongeng, dimiliki para guru silat Biara Shao Lin), Dia sebetulnya memiliki suatu kesempatan emas untuk mendemonstrasikan kepandaian hebat-Nya ini di hadapan orang banyak -- konon berjumlah sampai lima ribu orang laki-laki; lihat Markus 6:30-44, sebuah perikop yang langsung mendahului perikop Yesus berjalan di atas air Markus 6:45-52-- untuk membuat mereka terkesima lalu menjadi percaya pada-Nya. 

Tetapi, menurut teks yang kita baca, dengan disaksikan orang banyak yang terus mengikuti-Nya, Yesus dan murid-murid-Nya “mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi” (Markus 6:32).

Demikian juga, dalam kisah sebelumnya tentang Yesus meredakan angin ribut (Markus 4:35-41), di hadapan orang banyak yang melihat-Nya dan dengan dikelilingi perahu-perahu lain yang sedang berlayar di Danau Galilea di siang hari, Yesus seharusnya mendemonstrasikan kehebatan-Nya jika memang Dia bisa berjalan di atas air. Tetapi apa kata teks yang kita baca?

Bukannya Yesus memperlihatkan diri berjalan di atas air danau, Dia malah “duduk” lalu “tidur” dalam perahu yang membawa-Nya bertolak bersama murid-murid-Nya. 

Bukankah orang banyak akan makin terkesima lalu percaya pada Yesus jika Yesus bukan saja memperlihatkan kemampuan-Nya meredakan angin ribut (4:39) tetapi juga kemampuan-Nya berjalan di atas air?

Jadi, bertolak dari teks-teks ini logis jika kita menyimpulkan bahwa Yesus sebetulnya tidak bisa berjalan di atas air. Ganjil kalau Yesus dalam kejadian-kejadian itu tidak mau berjalan di atas air, sebab dengan demikian Dia melewatkan kesempatan-kesempatan emas itu. 

Membaca teks dalam konteks

Nah, jika demikian halnya, mengapa Markus 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air di tengah Danau Galilea? Inilah pertanyaannya! This is the question!

Untuk menjawabnya, kita perlu ingat konteks sejarah yang melahirkan kisah ini, dan memperhatikan, dalam konteks sastranya, bagaimana tuturan kisahnya berjalan dan berkembang. Membaca teks apapun harus cermat kalau kita memang mau mendapatkan pesan teks, dan maksud serta tujuannya ditulis dalam suatu konteks kehidupan yang real, bukan mau berapologetika.

Kisah Markus ini tidak bermaksud melaporkan suatu kejadian sejarah faktual (bahwa Yesus dulu betulan berjalan di atas air yang dalam), melainkan mau menyampaikan ajaran tentang kemuridan (discipleship)—ajaran tentang bagaimana orang seharusnya bersikap dan menjalani kehidupan sebagai murid Yesus dalam sikon nyata yang keras yang sedang mereka hadapi.

Harus diingat bahwa kitab Injil Markus pertama kali dibaca bukan oleh murid-murid asli Yesus---"inner circle" yang konon berjumlah 12 orang, yang bisa diartikan secara simbolik sebagai 12 suku bangsa Israel yang sedang dipulihkan lewat gerakan Yesus--- pada tahun 30-an, tetapi oleh komunitas Kristen pada tahun 70 (abad pertama Masehi) yang menjadi alamat tujuan Injil Markus yang ditulis menjelang akhir Perang Yahudi I melawan Roma (66-70/74 M). 

Dalam komunitas ini, Yesus, seperti pada masa kini oleh gereja-gereja Kristen di abad ke-21, juga oleh saya, disapa sebagai Tuhan dalam doa dan dipercaya hadir dalam roh di tengah kehidupan umat Kristen.

Nah, kepada komunitas Kristen yang berdiri 40 tahun setelah kematian Yesus inilah kisah Yesus berjalan di atas air Danau Tiberias semula ditujukan. Apa yang diajarkan oleh kisah ini kepada gereja Markus ini?

Sekali lagi, fokuslah dan perhatikan kisahnya dengan seksama: Yesus berjalan di atas air ketika “hari sudah malam” (Markus 6:47), bukan di siang hari yang benderang, ketika perahu yang ditumpangi murid-murid-Nya terkena “angin sakal” dan gelombang air besar menghambat pelayaran mereka (6:48), dengan disaksikan hanya oleh murid-murid-Nya dalam perahu itu, bukan oleh orang banyak. 

Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.

Gambaran tentang kegelapan malam dan angin sakal yang menerpa adalah alegori yang memuat gambaran menakutkan tentang keadaan real kehidupan keras dan berat yang sedang menimpa gereja Markus, sementara di Palestina sedang berlangsung perang orang Yahudi melawan Roma yang segera berakhir dengan kekalahan telak bangsa Yahudi, dengan kota Yerusalem dan Bait Allah dihancurleburkan (tahun 70).  

Gambaran menakutkan tentang perang dalam Markus 13:7-13 tampak mengacu dengan jelas pada pengalaman komunitas yang menanggung beban berat Perang Yahudi melawan Roma tahun 66-70./7/

Pembaca Injil Markus pada abad pertama dulu juga pasti tahu kisah mitologis tentang Air Bah yang pada zaman Nabi Nuh, dikisahkan, melanda dunia dan membinasakan semua kehidupan kecuali Nuh dan keluarganya serta binatang-binatang yang dibawanya dalam bahtera (Kejadian 7-8). Kisah dalam Perjanjian Lama ini jelas mengambil alih dan mengadaptasi kisah serupa yang dikisahkan dalam Epik Gilgamesh, epik dari Mesopotamia yang ditulis pada tahun 3.000 SM.

Dalam pandangan Alkitab, air bisa menjadi lambang penyucian dan pengudusan (Zakharia 13:1; Efesus 5:26), sepertinya halnya dengan air baptisan Kristen, atau lambang kehidupan (Yesaya 55:1; Yeremia 2:13a; 17:13b; Yehezkiel 47; Yohanes 4:10; 7:38; Wahyu 7:17; 21:6; 22:1), tetapi juga, khususnya dalam kisah Air Bah (lihat juga Bilangan 5:19, 22), bisa menjadi lambang kutuk, ancaman maut, pembinasaan dan pemusnahan!  

Dengan demikian, kisah Markus tentang Yesus berjalan di atas air jelas adalah kisah tentang bagaimana menjadi murid Yesus dalam suatu kondisi kehidupan yang berat, sukar, rentan, dan mengancam kehidupan.

Nah, ketika gereja Markus sedang diterpa kekerasan dan penderitaan dalam kehidupan mereka dan terancam musnah, Yesus yang mereka panggil dalam doa didengar (via teks skriptural) bersabda, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Markus 6:50), sementara Dia menginjak-injak dan meremehkan air yang ada di bawah kaki-Nya.

Ya, siapa yang tidak takut kalau hidup dikitari peperangan, azab, kekalahan dan ancaman kemusnahan!? 

Tetapi, kalau gereja di tengah kehidupan yang sukar dan berat ini tetap memandang dan berkonsentrasi pada Yesus yang berkuasa atas air, semua kesukaran, keberatan dan ancaman kebinasaan ini, kata Markus, dapat diatasi. Lihat Petrus yang semula ketika berkonsentrasi pada Yesus sanggup juga, kata Matius (di tahun 85), berjalan di atas air (lihat Matius 14:29), di atas gelombang air danau yang bergelora mematikan, di tengah kegelapan malam, ketika biduk kehidupan dilanda angin sakal kehidupan. 

Kalau berjalan di atas air dapat diparalelkan dengan melayang di atas muka air, tentu saja umat Kristen perdana yang membaca kisah Yesus berjalan di atas air akan pasti teringat pada tuturan dalam Kejadian 1:2 yang menyatakan bahwa pada waktu Allah sedang menciptakan Bumi, “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.”

Ingatan pada teks kitab Kejadian ini akan membuat mereka menemukan di dalam kisah-kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air suatu pesan bahwa Yesus memiliki kuasa Roh Allah sehingga Dia sanggup “melayang” di atas muka air. Kepada Yesus yang memiliki kuasa Roh Allah inilah, mereka dapat mempercayakan diri, karena Dia hadir bukan untuk menghancurkan dan membinasakan, tetapi untuk mencipta dan membangun kehidupan.

Penutup

Nah, itulah berita, penguatan dan ajaran kemuridan dari penulis Injil Markus (dan penulis Injil Matius), yang disampaikan melalui kisah Yesus berjalan di atas air. Jika pesan ini kita tangkap dan hayati, maka secara figuratif metaforis Yesus memang berjalan di atas air, bahkan kita juga, sebagai gereja Yesus Kristus, sanggup berjalan di atas air.

Saya pun, ketika bersama Yesus dalam doa, dan diselubungi oleh Roh-Nya yang hadir bercahaya gemilang, melihat diri saya mampu berjalan di atas gelombang air yang keras menerjang kehidupan saya. Air yang bergelora keras saya injak-injak, bersama Yesus.

Well, kalau DC di zaman modern berhasrat menjadi sang hero untuk bangsa Indonesia sehingga dia menyihir publik dengan rekayasa berjalan di atas air, penulis Injil Markus dan penulis Injil Matius menampilkan Yesus Kristus sebagai sang hero buat komunitas-komunitas Kristen mereka, sang hero yang sedang menginjak-injak air Danau Galilea di abad pertama.

Tetapi sangat berbeda dari tujuan acting DC, para penulis sastra injil ini tidak bermaksud memperdaya dan menyihir komunitas-komunitas Kristen mereka, melainkan untuk, lewat sarana kisah metaforis, menguatkan dan memberdayakan mereka, untuk membuat mereka bisa tetap tabah menjalani kehidupan dalam suatu konteks sosial yang berat dan sulit.

Lewat kisah-kisah metaforis Tuhan juga berfirman, tidak cuma lewat fakta-fakta. Ya, karena Tuhan itu kreatif, dan dunia seni adalah bagian terpadu dari jagat raya yang diciptakan-Nya. Lewat seni sastra dan semua karya seni lainnya, kita menjumpai Allah sebagai sosok Seniman Agung yang kreatif, yang menyampaikan pesan-pesan besar.

Orang akan bertanya lebih dari satu kali, meminta jawaban tegas, apakah Yesus dulu betulan berjalan di atas air danau yang dalam? Jawabnya: Ya, lewat kisah metaforis, Yesus Kristus berjalan di atas air, tetapi dalam fakta Yesus tak bisa!

Dan ingatlah: ada metafora yang bisa membangun kehidupan, dan ada juga metafora yang bisa membinasakan kehidupan. Cermat-cermatlah dalam memilih dan menghayati kisah-kisah metaforis.

Teman-teman perlu tahu, bahwa metafora Yesus berjalan di atas air terus-menerus menyeberangkan saya, masuk ke dunia adinilai, dunia transenden, berjumpa dengan Sang Lain yang memberikan kekuatan dan daya tahan besar yang saya perlukan dalam kehidupan saya di dunia rutin sehari-hari. Metafora ini empowers, memberdayakan, saya.

Well, kita telah mendapatkan makna, pesan, maksud dan tujuan penulisan, kisah injil Yesus berjalan di atas air. Kisah yang besar. Kisah yang menawan. Kisah yang memberi kehidupan. Metafora besar yang abadi.

Be blessed. Be strong.

ioanes rakhmat

14 Juli 2009
N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Catatan-catatan

/1/ Nancy Chick, "Metacognition", Center for Teaching, Vanderbilt, 2013,
https://cft.vanderbilt.edu/guides-sub-pages/metacognition/.

 /2/ John D. Bransford, Ann L. Brown, Rodney R. Cocking, eds, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (expanded edition, Washington DC, The National Academic Press, 2000), hlm. 12, https://www.nap.edu/read/9853/chapter/1; dan https://www.nap.edu/catalog/9853/how-people-learn-brain-mind-experience-and-school-expanded-edition.

/3/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923; edisi kedua 1950). 

/4/ Ioanes Rakhmat, "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu METAFORA?", Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.

/5/ Saksikan sendiri tayangannya di http://youtu.be/8OtzHpiLsFs.

/6/ Tayangannya dapat anda saksikan sendiri di http://youtu.be/nTE3WmMnovY.

 /7/ Bdk. Daryl D. Schmidt, The Gospel of Mark (Sonoma, California: Polebridge Press, 1990), hlm. 127.

Baca juga: 


*) Versi awal tulisan ini adalah sebuah pengantar acara diskusi kritis kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, 15 Juli 2009, Komisi Dewasa Gereja Kristen Indonesia (Jawa Barat) Kepa Duri, Tomang Barat, Jakarta Barat, Indonesia.