Wednesday, July 29, 2009

Injil Orang Ibrani

Sabda Yesus, “Tadi ibuku, yaitu roh kudus, membawaku dengan memegang sehelai rambutku dan menjinjing aku ke Tabor, gunung yang besar” (Injil Orang Ibrani 4a)

Sejumlah penulis Kristen yang hidup pada pertengahan abad ke-2 sampai awal abad ke-5 (yakni Klemen dari Aleksandria [abad ke-2 sampai abad ke-3]; Origenes [abad ke-3]; Cyrillus dari Yerusalem [abad ke-4]; Didimus [abad ke-4]; Epifanius [abad ke-4]; Eusebius [abad ke-4]; Hieronimus [abad ke-4 sampai abad ke-5]), dalam tulisan-tulisan mereka yang ditulis dalam bahasa Latin, menyebut adanya satu “Injil Ibrani” yang digunakan oleh orang-orang Kristen yang memandang diri mereka berakar dalam dan kuat pada Yudaisme. Para penulis Kristen ini mengacu kepada injil ini dan mengutip bagian-bagian daripadanya. Akan tetapi, kutipan-kutipan dari “Injil Ibrani” dalam tulisan-tulisan para penulis Kristen ini berisi perbedaan-perbedaan teologis yang sangat kentara dan ciri-ciri sastrawi yang beranekaragam. Hal ini membuat para ahli harus menyimpulkan bahwa kutipan-kutipan ini tidak berasal dari satu injil tunggal (yang bernama “Injil Ibrani”), melainkan dari lebih dari satu injil.
Setelah menganalisis semua kutipan yang ada dan mengumpulkan serta memadukan segala petunjuk dari semua sumber, para ahli tiba pada suatu konsensus bahwa ada tiga injil Yahudi-Kristen yang masing-masing memiliki kekhasan, yakni: 1) Injil Orang Ibrani (ditulis singkat I.Ibr) yang berakar pada tradisi hikmat Yahudi (atau condong ke arah gnostik) dan memiliki sedikit hubungan dengan injil-injil kanonik dalam Perjanjian Baru; 2) Injil Orang Ebion (ditulis singkat I.Ebi) yang berdasar pada injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas); dan 3) Injil Orang Nazorean (ditulis singkat I.Naz) yang sangat mirip dengan Injil Matius.

Isi lengkap dan struktur utuh dari 3 injil Yahudi-Kristen ini tidak kita ketahui; pengetahuan kita tentang ketiga injil ini sangat terbatas dan diperoleh hanya dari kutipan-kutipan yang diberi para penulis Kristen pada abad-abad pertama kekristenan dalam tulisan-tulisan mereka. Karena para penulis Kristen perdana ini kerap memusuhi pandangan yang mereka temukan dalam injil-injil Yahudi-Kristen ini, dan menggolongkannya sebagai pandangan bidah, kutipan-kutipan yang mereka ajukan dengan demikian juga tidak bisa langsung dan begitu saja kita percayai. Hal yang juga ikut mempersulit kita dalam memahami injil-injil Yahudi-Kristen ini adalah kenyataan bahwa kutipan-kutipan dari para penulis Kristen perdana ini seringkali sangat pendek dan tidak lengkap. Selain itu, seringkali sulit bagi kita untuk menentukan injil Yahudi-Kristen mana yang para penulis Kristen perdana ini sedang sebut dan kutip.

Bagaimanapun juga, meskipun pengetahuan kita tentang ketiga injil Yahudi-Kristen ini tidak utuh, tanpa adanya kutipan-kutipan dari para penulis Kristen perdana itu, kita akan sama sekali tidak mengetahui adanya tiga injil Yahudi-Kristen ini. Berikut ini masing-masing injil Yahudi-Kristen ini, dalam bentuk dan isinya yang tentu saja tidak utuh, akan diketengahkan dalam terjemahan Indonesia. Sebelumnya, sebuah pengantar untuk masing-masing injil ini juga akan diberikan.


Injil Orang Ibrani


Pengantar
Dari tiga injil Yahudi-Kristen, Injil Orang Ibrani (selanjutnya ditulis: I.Ibr) adalah injil yang paling banyak disebut dan dikutip, sedikitnya oleh lima penulis Kristen (yang berbahasa Latin); dan ada tiga orang penulis Kristen lagi yang menyebut injil ini tanpa mengutipnya. Meskipun ada naskah kutipan yang ditulis dalam bahasa Koptik, dan sebagian besar dalam bahasa Latin, tidak diragukan kalau teks asli I.Ibr ditulis dalam bahasa Yunani, bukan dalam bahasa Ibrani sebagaimana diklaim Hieronimus (abad ke-4 sampai abad ke-5). Dalam I.Ibr 4c, 9, Hieronimus mengklaim bahwa dia telah menerjemahkan injil ini dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin. Tetapi kalau kita perhatikan bahwa kutipan yang diberi Origenes (abad ke-3) dalam bahasa Yunani pada I.Ibr 4a sama persis (bahkan sampai pada urutan kata-katanya) dengan kutipan yang diajukan Hieronimus (dalam I.Ibr 4c), kita harus meragukan klaim Hieronimus ini, dan hal ini mendorong kita untuk menyimpulkan bahwa I.Ibr aslinya ditulis dalam bahasa Yunani dan Hieronimus mengutipnya dari Origenes. Karena tampak bahwa I.Ibr mengenal injil-injil dalam Perjanjian Baru, dan karena injil ini sudah digunakan para penulis Kristen pada pertengahan abad ke-2, I.Ibr pastilah sudah ditulis pada awal abad ke-2 M. Kita tidak tahu persis di mana injil ini ditulis. Namun, kebanyakan kutipan injil ini dapat ditelusuri sampai kepada orang Kristen Yahudi yang hidup di Mesir; dan sejumlah ajaran dalam I.Ibr memiliki kesejajaran dengan ajaran yang dianut kekristenan Mesir. Jadi, mungkin sekali I.Ibr ditulis di Mesir.

Tidak mudah untuk menentukan apakah I.Ibr tergolong sebagai injil naratif (narrative gospel) yang memuat kisah-kisah tentang kehidupan Yesus atau sebagai injil yang hanya memuat ucapan-ucapan Yesus (sayings gospel). Tidak terlalu jelas apakah I.Ibr 1 adalah suatu kutipan dari I.Ibr asli, atau merupakan sebuah ikhtisar seluruh pelayanan Yesus yang dibuat oleh orang lain, dalam hal ini oleh Cyrillus dari Yerusalem (abad ke-4). Jika I.Ibr 1 adalah kutipan, ini adalah suatu petunjuk bahwa injil ini merupakan suatu injil naratif yang melaluinya si penulisnya mengetengahkan pandangan dan tafsiran teologisnya melalui narasi tentang kehidupan Yesus; jika halnya demikian, jenis (genre) I.Ibr lebih dekat dengan jenis Injil Yohanes ketimbang dengan jenis injil-injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas). Dukungan tambahan terhadap kesimpulan ini didapat dari fakta bahwa dalam I.Ibr 4 Yesus digambarkan mengisahkan sendiri (dengan memakai kata ganti orang pertama tunggal “aku”) suatu peristiwa yang sudah terjadi pada dirinya (bahwa ibunya, yaitu roh kudus, membawanya ke Gunung Tabor [lihat gambar di kiri atas] dengan menjinjingnya pada sehelai rambutnya, barangkali untuk dia di gunung itu dicobai). Cara pengisahan seperti ini sejajar dengan cara pengisahan “wasiat terakhir” Yesus dalam Injil Yohanes 17 di mana Yesus mengungkapkan hubungan dan kesatuannya dengan Allah, sang Bapa, di dalam doanya dengan menyebut dirinya sebagai “aku”.

Struktur dan isi teologis menyeluruh I.Ibr tidak mungkin lagi dapat kita tentukan atau rekonstruksi. Berikut ini, dari teks yang kita miliki, gambaran ringkas mengenai apa yang menjadi isi teologi I.Ibr dapat disajikan.

I.Ibr 1 menuturkan pra-eksistensi Yesus, keberadaannya di kawasan adikodrati sebelum dia turun ke bumi sebagai (atau dalam rupa) manusia melalui rahim Maria yang menurut injil ini adalah pengejawantahan “suatu kekuatan besar di surga” (atau roh kudus) yang bernama (malaikat) Mikhael. Dengan demikian, bunda Yesus, yakni Bunda Maria, juga memiliki pra-eksistensi. Dalam I.Ibr 4, Mikhael/Maria disamakan dengan roh kudus. Dalam I.Ibr 4c, 4d dan 4e diterangkan bahwa roh kudus, sebagai bunda Yesus, bergender feminin karena injil ini memakai tatabahasa Ibrani yang menggolongkan roh [Ibrani: ruakh] ke dalam gender feminin. Tetapi sebenarnya ada alasan yang lebih dalam dari sekadar alasan gramatikal. Penulis I.Ibr sebetulnya menyamakan roh kudus dengan hikmat/kebijaksanaan (hokhmah) yang dalam pandangan Yahudi dilihat sebagai suatu personifikasi feminin dari salah satu sifat Allah yang dipercaya mendiami atau rehat dalam “jiwa-jiwa yang kudus” (I. Ibr 3; bdk. Sirakh 24:6-7; Kebijaksanaan Salomo 7:27b, “Dari angkatan yang satu ke angkatan yang lain kebijaksanaan beralih masuk ke dalam jiwa-jiwa yang suci, yang olehnya dijadikan sahabat Allah dan nabi.”)

I.Ibr 2-3 memuat tuturan tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Meskipun Yesus awalnya berkeberatan terhadap ajakan bunda dan saudara-saudaranya untuk pergi kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptis olehnya, dia pada akhirnya membiarkan dirinya dibaptis. Berbeda dari tuturan dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas), pada waktu Yesus dibaptis, dalam I.Ibr dia dipanggil sebagai “anak” bukan oleh Allah, tetapi oleh roh yang sebetulnya adalah ibunya (I.Ibr 3,4). Dalam Yakobus Apokrif 5:6, Yesus menyebut dirinya sendiri sebagai seorang “anak roh kudus”; dalam Injil Tomas 101 bisa jadi Yesus menunjuk kepada roh kudus sebagai ibunya ketika dia mengatakan, “Ibuku yang sejati memberi aku kehidupan.” Dalam I.Ibr Yesus bukan hanya dibimbing oleh roh kudus (seperti dituturkan Lukas 4:1b), tetapi dia sepenuhnya menyatu dengan roh kudus, seperti dikatakan dalam I.Ibr 3, bahwa “seluruh curahan roh kudus turun ke atasnya dan berdiam padanya” (bdk. Lukas 4:1a). Dengan demikian, I.Ibr mau menyatakan bahwa dalam seluruh kehidupannya, Yesus menyatu dengan ibunya yang adalah roh kudus.

Dalam I.Ibr 4 kita baca suatu tuturan yang unik, berbeda dari tuturan dalam injil-injil sinoptik, tentang pencobaan Yesus, namun dikisahkan dengan sangat pendek dan tidak lengkap. Sebagaimana sudah ditulis di atas, Yesus sendiri (dengan memakai kata ganti orang pertama tunggal “aku”) mengisahkan bahwa dirinya dibawa oleh ibunya, yakni roh kudus, ke Gunung Tabor, tampaknya untuk dicobai. Dalam Matius 6:8 dituturkan bahwa adalah Iblis yang membawa Yesus ke gunung yang sangat tinggi.

Dalam I.Ibr 5, Lewi disamakan dengan Matias, rasul yang dipilih setelah kematian Yesus untuk menggantikan Yudas Iskariot (Kisah Para Rasul 1:15-26). Pengidentifikasian ini sama sekali berbeda dari yang kita temukan dalam Matius 9:9; dalam bagian Injil Matius ini Lewi si pemungut cukai dari Markus 2:14 disamakan dengan Matius. Bisa jadi perbedaan pengidentifikasian ini timbul karena kata Yunani untuk nama Matius dan nama Matias hampir serupa (Matthaios dan Matthias). Kisah tentang Lewi ini mungkin ada pada bagian awal I.Ibr.

Perintah untuk jangan berhenti “mencari” sampai orang “menemukan”, sebab ketika dia menemukan, dia akan “terpana” dan ketika terpana dia akan “memerintah” dan ketika dia memerintah, dia akan “rehat” (atau mencapai “perhentian”), mengisi I.Ibr 6a dan 6b. Pesan semacam ini pada I.Ibr 6 diungkap paling lengkap dan paling penuh jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan serupa yang ditemukan dalam teks-teks lain seperti Injil Tomas 2 (juga Papyrus Oxyrhynchus 654.8-9); Injil Tomas 50:3; 51:1; 60:6; 90; 92:1; 94; Matius 7:7-8; 11:28-29; Lukas 11:9-10; Injil Maria 4:7; Dialog Sang Penyelamat 11:5. Ungkapan-ungkapan semacam ini berasal dari tradisi hikmat Yahudi (lihat Sirakh 6:23-31; 51:26-27; Kebijaksanaan Salomo 6:20), dan dalam I.Ibr ungkapan-ungkapan ini dipakai untuk menggambarkan tahap-tahap pencapaian keselamatan akhir (= “rehat”), sekaligus untuk mendorong kaum mukmin untuk mengimitasi sifat-sifat hikmat surgawi dan dengan demikian ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi hikmat sebagai suatu personifikasi Allah. Dalam Kebijaksanaan Salomo 6:20 ditulis, “Keinginan mendapatkan hikmat membuat orang dapat memerintah [atau: masuk ke dalam kerajaan].” Dan dalam Sirakh 6:27-28 dikatakan bahwa penyelidikan dan pencarian akan kebijaksanaan atau pengajaran akhirnya akan membuat orang “rehat” (juga Sirakh 51:27).

Jadi, bagi komunitas Yahudi-Kristen yang memakai I.Ibr keselamatan akan dicapai jika orang mengejar hikmat; atau bagi mereka keselamatan (“rehat”/
istrirahat”) adalah pencapaian dan penguasaan tertinggi dan terakhir atas hikmat ilahi, yang juga dipercaya orang Yahudi mengejawantah di dalam Taurat sebagai “pengajaran” dan “jalan yang lurus” (lihat Sirakh 51:13-30, khususnya ayat 15b dan ayat 19). Pengejaran dan pencarian keselamatan akhir ini (= penguasaan hikmat) tidaklah membosankan, melainkan terus-menerus akan, dari tahap ke tahap, membawa si pencari pada pengalaman-pengalaman “terpesona” atau “terpana”. Seperti bersambungan dengan I.Ibr 6, dalam I.Ibr 7 dan 8 Yesus menegaskan bahwa tanda dari orang yang sudah mencapai keselamatan, dan bergembira karenanya, adalah bahwa orang itu “mencintai” saudara dan saudarinya dan “tidak mendukakan roh” mereka. “Saudara-saudari” di sini mengacu pada sesama anggota komunitas (lihat juga I.Naz 5; Matius 18:21-22), yang di dalam I.Naz 6:4 mengacu kepada sesama orang Yahudi.

Dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru, saksi pertama kebangkitan Yesus adalah Maria Magdalena (Matius 28:1-10; Markus 16:9; Lukas 24:10; Yohanes 20:11-18) atau Rasul Petrus (1 Korintus 15:5; Yohanes 20:1-10). Tetapi, menurut I.Ibr 9 Yakobus Yang Adil, saudara pria Yesus (I.Ibr 9; Galatia 1:19; Markus 6:3; Yosefus, Antiquities 20.200), adalah saksi pertama kebangkitan Yesus (bdk. 1 Korintus 15:7).

Dalam tradisi Kristen, Yakobus saudara Yesus dikenang dan dicatat sebagai pemimpin atau soko guru utama komunitas Yahudi-Kristen perdana yang berdiri di Yerusalem (lihat Galatia 2:9; Kisah Para Rasul 15:13; 21:18; Injil Tomas 12) dan, dibandingkan dengan 2 pemimpin lainnya, yakni Petrus dan Yohanes, Yakobus adalah seorang penganut dan pengamal Taurat yang sangat ketat, yang dengan taat diikuti murid-muridnya atau anggota-anggota gerejanya (lihat Galatia 2:12). Dalam I.Ibr 9:2, Yakobus, dengan kurang lebih mengikuti sumpah Yesus (lihat Markus 14:25; Matius 26:29; Lukas 22:16-18), tampil bersumpah tidak akan makan roti sejak dia minum dari cawan Yesus sampai dia melihat Yesus, saudaranya, dibangkitkan dari antara orang mati.

Jelas, komunitas Yahudi-Kristen yang memakai I.Ibr memberi tempat penting dan utama pada Yakobus sebagai saudara Yesus. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakai I.Ibr (yang ditulis pada awal abad ke-2) mempunyai hubungan historis dan teologis dengan Gereja Induk Yerusalem pra-tahun 70 yang dipimpin Yakobus, seorang penganut keras Taurat Yahudi. Seperti telah ditulis di atas, pencarian dan pengejaran hikmat dalam komunitas Yahudi-Kristen yang memakai I.Ibr identik dengan pemahaman, pendalaman dan pengamalan Taurat yang mereka pandang sebagai hikmat dan pengajaran.


Kutipan-kutipan Injil Orang Ibrani


1 [Naskah dalam bahasa Koptik; diparafrasiskan oleh Cyrillus dari Yerusalem (abad ke-4), Wacana tentang Maria sang Bunda Allah]
Di dalam Injil Orang Ibrani tertulis bahwa
1 ketika Kristus mau datang ke bumi, Sang Bapa yang Baik memanggil suatu kuasa besar di surga yang dinamakan Mikhael, dan memercayakan Kristus ke dalam pemeliharaannya. 2 Sang kuasa ini turun ke dalam dunia, dan dia dinamakan Maria, dan Kristus berada dalam rahimnya selama tujuh bulan. 3 Maria melahirkannya dan dia tumbuh dewasa [bdk. Lukas 2:52] dan dia memilih rasul-rasul yang berkhotbah tentangnya di segala tempat. 4 Dia menggenapkan waktu yang telah ditentukan, yang ditetapkan baginya. 5 Orang Yahudi iri hati terhadapnya dan mulai membencinya. Mereka mengubah adat-istiadat hukum mereka dan mereka bangkit melawan dirinya dan memasang sebuah perangkap dan menangkapnya. 6 Mereka menyerahkannya kepada gubernur [bdk. Matius 27:2], yang kemudian menyerahkannya kembali kepada mereka untuk disalibkan [bdk. Yohanes 19:6]. 7 Dan setelah mereka menggantungnya pada kayu salib, sang Bapa meninggikannya ke surga kepada diri-Nya sendiri [bdk. Filipi 2:8-9].

2 [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip Hieronimus (abad ke-4-abad ke-5), Melawan Para Pengikut Pelagius 3]
Dalam Injil Orang Ibrani [bdk. I.Naz 2] … kisah berikut dituturkan:
1 Sang bunda Tuhan dan saudara-saudaranya berkata kepadanya, “Yohanes Pembaptis membaptis bagi pengampunan dosa. Marilah kita datang kepadanya dan dibaptis olehnya.” [bdk. Markus 1:4; Lukas 3:3]
2 Tetapi dia berkata kepada mereka, “Apakah aku telah berbuat dosa? Jadi mengapa aku harus pergi kepadanya dan dibaptis olehnya? Sekiranya aku tidak tahu apa yang sedang aku katakan.” [bdk. Matius 3:14; Ibrani 4:15]

3 [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip oleh Hieronimus, Tafsiran atas Yesaya 4 (menafsirkan Yesaya 11:2)]
Dalam Injil Ibrani yang dibaca orang Nazorean, dikatakan [Bdk. Markus 1:9-11 dan par.; I.Ebi 4],
1 Roh kudus seluruhnya tercurah ke atas dirinya [bdk. Yesaya 11:2]. Sebab Tuhan adalah roh dan di mana ada roh, di situ ada kebebasan. [bdk. 2 Korintus 3:17]

Kemudian, dalam injil yang sama, kita temukan hal berikut:

2 Maka ketika Tuhan keluar dari air, seluruh curahan roh kudus turun ke atasnya dan berdiam padanya [bdk. Yesaya 11:2]. 3 Dikatakan kepadanya [oleh roh kudus], “Anak-Ku, Aku menanti-nantikan engkau dalam seluruh Nabi, menunggumu datang sehingga Aku dapat rehat di dalam dirimu [bdk. Kebijaksanaan Salomo 7:27; Sirakh 24:6-7; bdk. juga Kejadian 2:3]. 4 Sebab engkaulah rehat-Ku; engkau adalah Anak sulung yang Kulahirkan, yang memerintah selamanya.” [bdk. Mazmur 2:7; 132:14; Ibrani 1:6; Kolose 1:15; Lukas 1:33]

4a [Naskah dalam bahasa Yunani; dikutip dan dijelaskan oleh Origenes (abad ke-3), Tafsiran atas Yohanes 2] [bdk. Markus 1:12-13 dan par.; Yehezkiel 8:3]

Orang yang memercayai Injil Orang Ibrani, yang di dalamnya sang Penyelamat berkata,

“Tadi ibuku, yaitu roh kudus [bdk. I.Ibr 1:1-3; Yakobus Apokrif 5:6; Injil Tomas 101], membawaku dengan memegang sehelai rambutku dan menjinjing aku ke Tabor, gunung yang besar,” [bdk. Matius 4:8]

harus menghadapi masalah untuk menjelaskan bagaimana mungkin sang “bunda” Kristus adalah roh kudus yang menjadi ada melalui sang Firman. Tetapi hal ini tidak sulit untuk dijelaskan. Sebab jika “barangsiapa melakukan kehendak sang Bapa surgawi, dialah saudaranya dan saudarinya dan ibunya,” [bdk. Markus 3:35; Matius 12:50; Lukas 8:21; Injil Tomas 99:2; I.Ebi 5:3-4] dan jika nama “saudara dari Kristus” berlaku bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk semua hakikat dari jenjang yang lebih ilahi, maka tidak ada sesuatu yang tidak masuk akal jika roh kudus adalah ibunya, ketika setiap orang yang melakukan kehendak sang Bapa surgawi disebut sebagai “ibu sang Kristus.”

4b [Naskah dalam bahasa Yunani; dikutip oleh Origenes, Khotbah Berdasarkan Yeremia 15]

Jika seseorang dapat menerima ini—“Tadi ibuku, yaitu roh kudus, membawaku dengan memegang sehelai rambutku dan menjinjing aku ke Tabor, gunung yang besar,” —orang itu dapat melihat bahwa dia (roh kudus) adalah ibunya.

4c [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip dan dijelaskan oleh Hieronimus, Tafsiran atas Mikha 2 (menafsirkan Mikha 7:6)]

Barangsiapa telah membaca Kidung Agung akan mengerti bahwa firman Allah juga adalah mempelai pria bagi jiwa. Dan barangsiapa memercayai injil yang beredar dengan judul “Injil Orang Ibrani”, yang baru-baru ini kami terjemahkan (lihat I.Ibr 9), yang di dalamnya sang Penyelamat sendiri mengatakan,
“Tadi ibuku, yaitu roh kudus, membawaku dengan memegang sehelai rambutku,”
akan tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa firman Allah keluar dari roh, dan bahwa jiwa, yang adalah mempelai perempuan bagi firman, memiliki roh kudus (yang dalam bahasa Ibrani memiliki gender feminin, RUA) sebagai seorang mertua.

4d [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip dan dijelaskan oleh Hieronimus, Tafsiran atas Yesaya 11 (menafsirkan Yesaya 40:9)]

Dalam Injil Orang Ibrani yang dibaca orang Nazorean, dikatakan,
“Tadi ibuku, yaitu roh kudus, membawaku.”
Seorangpun tidaklah perlu merasa diserang oleh hal ini, sebab “roh” dalam bahasa Ibrani adalah feminin, sementara dalam bahasa kita (Latin) roh adalah maskulin dan dalam bahasa Yunani netral. Dalam keilahian, bagaimanapun juga, tidak ada gender.

4e [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip dan dijelaskan oleh Hieronimus, Tafsiran atas Yehezkiel 4 (menafsirkan Yehezkiel 16:13)]

Dalam Kitab Hakim-hakim, kita baca “Deborah” yang berarti “lebah”. Nubuat-nubuatnya adalah madu termanis dan menunjuk pada roh kudus yang disebut dalam bahasa Ibrani dalam bentuk suatu kata benda feminin. Dalam Injil Orang Ibrani yang dibaca orang Nasrani, sang Penyelamat menyatakan hal ini dengan mengatakan,
“Tadi ibuku, yaitu roh kudus, dengan cepat membawaku.”

5 [Naskah dalam bahasa Yunani; dilaporkan oleh Didimus (abad ke-4), Tafsiran atas Mazmur 184 (menafsirkan Mazmur 33)]

Tomas juga disebut Didimus [bdk. Yohanes 11:16; 20:24; 21:2; prolog Injil Tomas dan Injil Tomas 32.11; Kitab Tomas Si Petarung 138.2,4)], dan ada banyak orang lain yang memiliki dua nama. Kitab Suci tampaknya memanggil Matius “Lewi” dalam Injil Lukas [?; bdk. Matius 9:9; Markus 2:14], tetapi keduanya bukanlah orang yang sama. Melainkan, Matias, yang menggantikan Yudas [lihat Kisah Para Rasul 1:15-26], dan Lewi adalah orang yang sama dengan suatu nama ganda. Ini kelihatan dalam Injil Orang Ibrani.

6a [Naskah dalam bahasa Yunani; dikutip oleh Klemen dari Alexandria (abad ke-2 sampai abad ke-3), Hal-hal Lain 2] [lihat Injil Tomas 2 (juga Papyrus Oxyrhynchus 654.8-9); Injil Tomas 50:3; 51:1; 60:6; 90; 92:1; 94; Matius 7:7-8; 11:28-29; Lukas 11:9-10; Injil Maria 4:7; Dialog Sang Penyelamat 11:5; Sirakh 6:23-31; 51:26-27; Kebijaksanaan Salomo 6:20]

Dalam Injil Orang Ibrani ada tertulis,
“Barangsiapa terpana, akan memerintah, dan barangsiapa memerintah akan rehat.”

6b [Naskah dalam bahasa Yunani; dikutip oleh Klemen dari Alexandria, Hal-hal Lain 5]

“Barangsiapa mencari, haruslah tidak berhenti mencari sampai mereka menemukan; pada waktu mereka menemukan, mereka akan terpana. Ketika mereka terpana, mereka akan memerintah, dan ketika mereka memerintah, mereka akan rehat.”

7 [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip oleh Hieronimus (abad ke-4 sampai abad ke-5), Tafsiran atas Efesus 3 (menafsirkan Efesus 5:4)]

Kita dapat membaca dalam Injil Orang Ibrani bahwa Tuhan, ketika berbicara kepada murid-muridnya, mengatakan,
“Janganlah pernah bergembira kecuali ketika kalian memandang saudara dan saudari kalian dengan cinta.” [Matius 18:21-22; I.Naz 5; bdk. I.Naz 6:4]

8 [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip oleh Hieronimus, Tafsiran atas Yehezkiel 6 (menafsirkan Yehezkiel 18:7)]

Injil Orang Ibrani yang biasa dibaca orang Nazorean mendaftarkan hal berikut di antara tindak kejahatan yang paling serius:
Mereka yang telah mendukakan roh saudara atau saudari mereka.

9 [Naskah dalam bahasa Latin; dikutip oleh Hieronimus, Mengenai Orang Termashyur 2]

Aku baru-baru ini menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin injil yang dinamakan “Injil Orang Ibrani” (lihat I.Ibr 4c), injil yang Origenes (abad ke-3) juga sering gunakan. Setelah kebangkitan sang Penyelamat, injil ini mengatakan,
1 Tuhan, setelah dia menyerahkan pakaian linan kepada hamba sang imam [bdk. Injil Petrus 8:1-4], pergi kepada Yakobus dan menampakkan diri kepadanya [bdk. 1 Korintus 15:7; Injil Tomas 12]. 2 (Adapun Yakobus telah bersumpah untuk tidak makan roti sejak dia minum dari cawan Tuhan sampai dia melihatnya dibangkitkan dari antara orang yang tidur [bdk. dengan kaul/sumpah Yesus dalam Markus 14:25; Matius 26:29; Lukas 22:16-18]). 3 Tidak lama setelah itu, Tuhan berkata, “Ambillah sebuah meja dan beberapa roti.” 4 Dan setelah ini langsung ditambahkan: Dia mengambil roti, memberkatinya, memecahnya [bdk. Markus 14:22 dan par.; 1 Korintus 11:23-24], dan memberikannya kepada Yakobus Yang Adil [Injil Tomas 12] dan berkata kepadanya, “Saudaraku, makanlah rotimu, sebab Anak Adam telah dibangkitkan dari antara orang yang tidur.”




Tuesday, July 28, 2009

Pilar-pilar Yudaisme Periode Bait Allah Kedua




by Ioanes Rakhmat **

N.B. editing mutakhir 24 Januari 2022


Ada berbagai macam Yudaisme (Ioudaismos, lihat 2 Makabe 2:21; 8:1; 14:38) pada saat berbagai komunitas kekristenan perdana (early Christianity) bermunculan.

Yang akan diulas dalam tulisan ini adalah Yudaisme yang dianut oleh orang-orang Yahudi sebelum tahun 70, tahun berakhirnya Perang Yahudi I melawan kekaisaran Romawi (66-70), dengan akibat pembumihangusan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah Kedua. Yudaisme kurun ini dinamakan Yudaisme Bait Allah Kedua (Second-Temple Judaism).

Meskipun beragam, berbagai macam Yudaisme itu memiliki sejumlah unsur bersama yang dapat disebut sebagai pilar-pilar Yudaisme yang menopang bangunan agama Yahudi.

Dalam tulisan ini pilar-pilar Yudaisme ini akan dipaparkan dengan padat dan singkat. Setelah pemaparan ini, akan diperlihatkan bagaimana kekristenan Perjanjian Baru (yang sebetulnya juga tidak monolitis) memberi respons pada pilar-pilar Yudaisme ini.

Empat pilar agama Yahudi

Yudaisme kurun pra-70 dibangun di atas topangan sedikitnya empat pilar utama: 
1) monoteisme (Allah itu esa/satu); 
2) pemilihan (Israel sebagai suatu umat perjanjian; dan suatu tanah yang dijanjikan); 
3) perjanjian antara Allah dan Israel yang berpusat pada Taurat; 
4) tanah yang berpusat pada Bait Allah./1/

1) Monoteisme Yahudi

Monoteisme merupakan pilar mendasar yang mutlak bagi agama Yahudi di masa kehidupan Yesus. Setiap hari, setiap orang Yahudi telah diajar untuk mengucapkan Shema (= “Dengarlah”): “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ulangan 6:4). Berdasarkan Ulangan 6:7, seorang saleh Yahudi mengucapkan doa Shema dua kali sehari.

Shema adalah suatu bentuk ringkas doa harian Yahudi yang seutuhnya terdapat dalam Ulangan 6:4-9; 11:13-21, dan Bilangan 15:37-41. Menurut talmud (Sukkah 42a dan Brakhot 13b), bagian yang diulang-ulang hanya satu baris: Shema Yisrael, YHWH Eloheinu, YHWH ekhad (Ulangan 6:4).



Inskripsi Shema Yisrael (שְׁמַע יִשְׂרָאֵל). Sumber foto inskripsi Learn Religions.


Begitu juga, Sepuluh Perintah Allah dalam Keluaran 20 dimulai dengan perintah pertama yang juga menegaskan keharusan Israel untuk menyembah hanya satu Allah: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3).

Dalam m.Tamid 5.1, orang Israel diharuskan untuk mengucapkan shema dan perintah pertama ini setiap hari.

Yosephus, seorang sejarawan Yahudi, dalam salah satu karyanya menyatakan, “Bahwa Allah itu esa, adalah pandangan yang umum dipegang semua orang Ibrani” (Antiquities 5.1, 27, 112).

Philo dalam De Decalogo 65 juga menekankan bahwa orang Israel harus mengakui dan menghormati hanya satu Allah yang ada di atas segalanya.

Seorang Yahudi, Sibyl, menyatakan dengan jelas, “Dia saja Allah dan tidak ada yang lain” (Orakulum Sibyl 3.629).

2) Pemilihan (Israel sebagai suatu umat perjanjian; dan suatu tanah yang dijanjikan)

Yang juga sama mendasarnya bagi pemahaman diri Israel adalah keyakinan mereka bahwa mereka telah secara khusus dipilih oleh Allah dari antara segala bangsa, bahwa Allah yang esa, unik  dan satu-satunya, telah mengikatkan diri-Nya dengan Israel dan Israel dengan diri-Nya melalui suatu ikatan perjanjian.

Allah sudah mengawali ikatan perjanjian ini dengan Abraham/Ibrahim, yang disertai dengan janji pemberian tanah kepadanya dan kepada keturunannya (Kejadian 12:1-3; 15:1-6; 15:17-21; 17:1-8).

Dalam Ulangan 7:6 termuat ucapan Allah kepada Israel, “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.”

Ucapan itu didahului oleh perintah Tuhan supaya Israel membersihkan tanah yang dijanjikan-Nya dari semua bangsa yang menjadi penghuninya semula dan menghindari hubungan apapun dengan mereka (7:1-7); dan dalam 6:20-25; 26:5-10 ditekankan bahwa Allah telah berprakarsa membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir dan menjanjikan mereka lewat nenek moyang mereka tanah untuk mereka.

Status sebagai umat pilihan Allah, serta tanah yang dijanjikan kepada mereka, dan keharusan untuk Israel hidup murni dan tak bercampur dengan bangsa lain, diulang-ulang dalam banyak dokumen suci Yahudi lainnya, kanonik dan ekstra-kanonik, sampai ke kurun Bait Allah Kedua (lihat antara lain Ulangan 32:9; 1 Raja-raja 8:51, 53; 2 Raja-raja 21:14; Mazmur 33:12; 74:2; Yesaya 41:8-9; 44:1; 63:17; Yeremia 10:16; Mikha 7:18; Yudit 13:5; Sirakh 24:8, 12; Yobel 1:19-21; 15:31-32; 22:9-10, 15; 33:20; Mazmur-mazmur Salomo 9:8-9; 3 Makabe 6:3; 2 Barukh 5:1; Pseudo-Filo 12:9; 21:10; 27:7; 28:2; 39:7; 49:6; Roma 4:13; 9:4).

Perlu dicatat bahwa kekuatan pemberontakan Makabe pada abad 2 SM (167-142 SM) dalam melawan asimilasi nasional dan kebudayaan melalui helenisasi (= Yunanisasi) besar-besaran oleh Raja Syria, Antiokhus IV Epifanes, didorong persisnya oleh keyakinan bahwa Israel adalah umat pilihan Allah satu-satunya dan tanah mereka adalah tanah suci yang dijanjikan Allah, yang tidak boleh dinajiskan oleh bangsa-bangsa pagan.

Sebutan Yudaisme (Yunani: Ioudaismos) dijumpai pertama kali dalam 2 Makabe 2:21; 8:1; 14:38, dan setiap sebutan ini muncul dalam konteks perbincangan mengenai kegigihan Israel dan kesetiaan mereka untuk membela Yudaisme sebagaimana diperlihatkan oleh para pejuang Makabe dalam melawan helenisme. 

Perlawanan oleh Yudas dari Galilea pada tahun 6 M dan kemudian oleh kalangan Zelotes dalam akhir Perang Yahudi I melawan Roma juga dimotivasi oleh hal yang sama.

3) Perjanjian yang berpusat pada Taurat

Dalam kesadaran diri Israel sebagai bangsa pilihan Allah, Taurat menempati kedudukan sangat penting dan menentukan. Hal ini paling jelas diungkapkan dalam kitab Ulangan.

Bagian terpenting kitab ini (Ulangan 5-28) memuat pernyataan kembali perjanjian Allah dan Israel yang dibuat di Horeb/Sinai (5:2-3).

Seluruh batang tubuh pengajaran/hukum yang disampaikan dalam pasal 5 sampai pasal 28 dirangkum dalam 29:1, demikian, “Inilah perkataan perjanjian yang diikat Musa dengan orang Israel di tanah Moab sesuai dengan perintah TUHAN, selain perjanjian yang telah diikat-Nya dengan mereka di gunung Horeb.”

Dalam seluruh kitab Ulangan, perjanjian yang diikat Allah dengan Israel ditegaskan dan diperkuat; dan Taurat (atau hukum/ketetapan/peraturan) diberikan sebagai bagian dari perjanjian itu. 

Sebagai respons orang Israel terhadap ikatan perjanjian itu, yang menjadikan mereka umat khusus kepunyaan Allah, mereka harus mentaati Taurat dengan sepenuh hati mereka, dengan seluruh cara kehidupan mereka sebagai umat perjanjian. 

Ada janji dan peringatan yang disampaikan kepada mereka sementara mereka menjalani kehidupan mereka: apakah mereka akan mentaati Taurat, ataukah tidak. 

Pada Ulangan 4:1 ditegaskan, “Maka sekarang, hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu” (lihat juga 4:10, 40; 5:29-33; 6:1-2, 18, 24; 7:12-13; dsb.).




Ini buku tebal The Torah yang saya miliki, indah penampilannya, dihiasi banyak ilustrasi warna-warni.


Jika Israel melakukan perintah Taurat atau hukum Allah (4:8; 32:46) atau kelima kitab Musa (30:10), mereka akan hidup dan menerima berkat Allah; jika mereka tidak melaksanakan Taurat, mereka akan terkena kutuk (Ulangan 28:1-6, 15 dyb).

Ketaatan Israel pada Taurat menjadi ciri khas mereka sebagai umat istimewa pilihan Allah yang dengan mereka Allah telah mengikat perjanjian.

Setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi ciri mereka sebagai umat istimewa pilihan Allah: sunat lahiriah, perayaan Sabat, dan aturan tentang makanan yang halal dan makanan yang haram.

4) Tanah Israel yang berpusat pada Bait Allah

Dalam kehidupan yang dijalani Israel di tanah yang dijanjikan, yang diisi dengan ketaatan pada Taurat, Bait Allah di Yerusalem merupakan pusat kehidupan nasional dan keagamaan mereka.




Sebuah model kota Yerusalem periode Akhir Bait Allah Kedua. Credit: Daniel Ventura. Sumber: Creative Commons


Bahkan lebih luas dari itu, bagi Israel, kota Yerusalem, Bukit Zion, dan Bait Allah di dalamnya adalah pusat jagat raya, axis mundi (lihat Yobel 8:19; Orakulum Sibyl 5.248-50). 

Bait Allah memikul beberapa fungsi bagi kehidupan nasional Israel. 

Pertama, Bait Allah adalah suatu sentra politis, dan ini menjadikan Yudea sebagai negara Bait atau tanah Bait, maksudnya: Bait Allah di Yerusalem memberikan suatu alasan bagaimana kawasan Yudea menjadi suatu kawasan yang terpisah dan khusus di dalam wilayah luas Yunani-Romawi. 

Kedua, Bait Allah adalah suatu sentra ekonomis bagi kota Yerusalem dan Yudea, yang menarik orang dari kawasan lain untuk mendatangi Yerusalem, baik untuk kebutuhan keagamaan maupun untuk kebutuhan lain seperti kebutuhan perdagangan, finansial dan pembayaran pajak untuk menopang kelangsungan kehidupan Bait Allah. 

Dan, terakhir, Bait Allah adalah suatu sentra keagamaan.

Seluruh sistem pemberian kurban, kultus, pendamaian dan pengampunan, yang sangat mendasar bagi Yudaisme kurun Bait Allah Kedua, seluruhnya terfokus pada Bait Allah. 

Umat Allah dan tanah perjanjian, dan pelaksanaan Taurat, semuanya terfokus pada Bukit Zion, Yerusalem dan Bait Allah di dalamnya. Barangsiapa mengendalikan ketiganya, mereka mengendalikan akses kepada Allah.

Respons kekristenan terhadap empat pilar Yudaisme

1) Respons kekristenan terhadap monoteisme teologis

Dalam Injil Yohanes terlihat tahap-tahap paling awal dari pemisahan kekristenan dari Yudaisme di dalam suatu kawasan lokal tertentu, kelihatannya entah di Galilea atau di tempat lain yang dekat dengannya, dan permusuhan tajam yang ditimbulkan oleh pemisahan ini./2/

Penyebab akar dari pemisahan ini adalah kristologi, menyangkut pertanyaan apakah Yesus itu sang Messias Yahudi yang dinantikan. Orang Yahudi yang mengakui Yesus sebagai sang Messias dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos; lihat Yohanes 9:22; 12:42; 16:2), sebab, dalam pandangan otoritas Yahudi di tempat tinggal komunitas Yohanes, Yesus sama sekali bukan sang Messias Yahudi karena Yesus tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang Messias. 

Sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi seorang Messias Yahudi:

• Menjaga dan mempertahankan kota Yerusalem sebagai kota suci di Tanah Israel;
• Menjaga dan mempertahankan kesucian Bait Allah dan semua ritual religiopolitik yang dijalankan di dalamnya;
• Mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan negeri Israel dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa asing manapun.

Nah, pengucilan ini yang dialami dengan pahit oleh komunitas Yohanes pada akhirnya/3/ diberi reaksi puncak oleh komunitas Yohanes berupa pengajuan kristologi “dari atas” (high christology) yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai suatu hakikat ilahi (sang Firman/ho logos) yang datang “dari atas/sorga”, masuk ke dalam dunia melalui inkarnasi (= menjadi daging; Yunani: sarks egeneto) (Yohanes 1:14a). Pada poin inilah terletak masalahnya.

Dalam pemikiran kristologi “dari atas”, Yesus menjadi suatu hakikat ilahi di kawasan atas yang memiliki pra-eksistensi: Yesus sebagai sang Firman (ho logos) yang sudah ada “pada mulanya” dan ada “bersama-sama dengan Allah” dan “adalah Allah” (Yohanes 1:1-2), dan “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yohanes 1:3)./4/

Selain memakai figur sang Firman, kristologi “dari atas” dalam Injil Yohanes juga memakai figur “Anak Manusia” yang berasal-usul dari sorga, lalu melalui inkarnasi (6:51), masuk ke dalam dunia dan mengambil wujud manusia Yesus orang Nazareth. Figur “Anak Manusia sorgawi” ini dikatakan lebih rendah (subordinat) dari Allah (14:28), namun juga “satu” dengan Allah (10:30)./5/

Pada masa Injil Yohanes ditulis (tahun 90/100), trinitarianisme atau tritunggalisme Kristen sebagai "a modified monotheism", belum dirumuskan. Dengan demikian, para rabbi Yahudi pada kurun pasca-70 menilai kristologi “dari atas” ini telah melahirkan diteisme: ada dua penguasa di sorga, yakni Allah dan sang Firman atau sang Anak Manusia.

Bagi mereka, kristologi “dari atas” Injil Yohanes telah melanggar monoteisme teologis yang dipertahankan kuat-kuat oleh Yudaisme.

Dilihat dari sudut pandang Yahudi, dengan menyetarakan Yesus dengan Allah, kekristenan telah membuat diskontinuitas antara dirinya dengan Yudaisme, meskipun kekristenan (mazhab Yohanes) tetap mempertahankan kepercayaan monoteistik (lihat Yohanes 17:3; bdk. juga 1 Korintus 8:4-6; Yakobus 2:19; 1 Timotius 2:5), persisnya monoteisme kristologis.

Monoteisme dipertahankan komunitas Yohanes dengan jalan membuat diversitas atau pluralitas di dalam hakikat Allah yang esa: sang Firman berada “bersama-sama dengan Allah”; ini berarti ada pembedaan di antara keduanya. Sang Firman “adalah Allah”; ini berarti ada kesatuan di antara keduanya.

Kesatuan dan pembedaan ini hanya mungkin dibayangkan jika orang menerima adanya diversitas atau pluralitas di dalam hakikat Allah yang esa: Allah Yang Maha Esa di dalam diri-Nya sendiri majemuk!

Diversitas dalam hakikat Allah yang esa inilah yang belakangan membuka pintu bagi perumusan teologi kemajemukan atau pluralitas "cara berada" ("modes of being") Allah yang esa: Allah berada dan bekerja dalam dunia manusia lewat anekaragam cara berada, yang tidak bisa dibatasi oleh manusia.

2) Respons kekristenan terhadap pemilihan Israel dan tanah Israel sebagai tanah perjanjian

Etnosentrisme Yahudi (= keterpusatan pada etnis dan kultur Yahudi) yang dipertahankan Yudaisme dan kekristenan Yahudi perdana (khususnya Gereja Induk Yerusalem yang dipimpin tiga soko guru: Yakobus, Petrus, dan Yohanes) ditolak oleh kekristenan helenistik yang terdiri atas bangsa-bangsa bukan-Yahudi. Dalam hal ini, diskontinuitas antara kedua agama ini sangat tajam.

Gerd Theissen menyatakan, dalam teologi Paulus terjadi transisi dari Yudaisme sebagai agama nasional etnis Yahudi ke kekristenan sebagai suatu agama universal yang menyerap berbagai etnisitas. 

Tandas Theissen, Rasul Paulus adalah figur yang sangat penting dan menentukan dalam terpisahnya agama Kristen dari agama Yahudi. Kekristenan yang disusun Paulus adalah Yudaisme yang ditransformasi secara kharismatik personal dengan dimunculkannya Yesus sebagai sang Messias Kristen; sedangkan Yudaisme rabbinik, sebaliknya, adalah suatu Yudaisme yang dikembangkan berdasarkan penafsiran legalistik atas tradisi tua Taurat./6/

Kekalahan bangsa Yahudi dalam Perang Yahudi I melawan Roma (tahun 66-70), dan sikap Roma yang semakin represif terhadap bangsa Yahudi yang baru dikalahkan dalam pemberontakan mereka, ikut berperan dalam membentuk sikap anti-Yahudi dalam kekristenan non-Yahudi yang tersebar di dunia Yunani-Romawi di luar Palestina, sikap bermusuhan yang diarahkan kepada Yudaisme rabbinik.

Memasuki abad ke-2, orang Kristen bukan-Yahudi secara bertahap mengalami pertumbuhan kesadaran sebagai suatu “bangsa ketiga” berhadapan dengan bangsa Yahudi dan bangsa pagan; dan orang Kristen mulai juga memandang diri sebagai “Israel sejati”, umat zaman akhir yang diperluas, yang tersebar di dunia bangsa-bangsa, dan yang tidak terikat lagi pada batas-batas tanah perjanjian Palestina.

Tetapi, ketika kekristenan non-Yahudi memandang diri mereka sebagai “bangsa” yang terpisah, mereka pun terjatuh ke dalam rasialisme yang sama dengan etnosentrisitas Israel, ketika mereka mengeluarkan bangsa Yahudi dari persekutuan keluarga besar mereka yang beragam./7/

Bersamaan dengan memandang diri sendiri sebagai “umat perjanjian yang baru”, yang dibangun oleh Yesus sebagai sang Messias Kristen, kekristenan helenistik pun memahami Kitab Suci Ibrani yang dinamakan Tenakh (Taurat, Nabi-nabi, dan Khetubim/kitab-kitab) dari sudut pandang Kitab Suci Perjanjian Baru. Sekaligus mereka memberi penilaian teologis terhadap Tenakh sebagai Perjanjian Lama yang sudah usang (lihat Ibrani 8:13) (yang dibuat antara Allah dan Musa pada zaman dulu) dan karena itu harus direvitalisasi dan disegarkan kembali dengan menafsirkannya dari sudut pandang Perjanjian Baru (= perjanjian yang dibuat antara Allah dan Yesus Kristus). 

Itu adalah suatu posisi hermeneutik Kristen yang berbenturan dengan posisi hermeneutik Yahudi yang menafsir masa depan dengan bertitik-tolak dari Tenakh

3) Respons kekristenan terhadap keutamaan Taurat

Meskipun Rasul Paulus dalam surat Roma (14-15:13) memberi tempat penting bagi pengamalan Taurat dalam komunitas Kristen non-Yahudi yang anggota-anggotanya saling menghormati orang yang berbeda, dan menyatakan bahwa Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (10:4), dan bahwa “hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik” (7:12), namun pada bagian-bagian lain dari tulisan-tulisannya yang lain dia sangat kuat menolak hukum Taurat. 

Kata Paulus, “Aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat …, karena aku hidup di bawah hukum Kristus” (1 Korintus 9:20-21). Bahkan dalam Roma 7:10, dia menyatakan, “Perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian.”

Lagi tandasnya, “Sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Korintus 3:6); dan “Semua orang yang hidup dari pekerjaan [atau karya] hukum Taurat (ta erga tou nomou) berada di bawah kutuk” (Galatia 3:10a).

Bagi Paulus, sebelum iman kepada Kristus datang dan dimungkinkan, hukum Taurat memang memiliki fungsi sebagai “pengawal” dan “penuntun” (paidagōgos); tetapi ketika iman (hē pistis) telah datang, orang “tidak lagi berada di bawah pengawasan penuntun” (Galatia 3:23-25). 

Selama orang masih berada di bawah hukum Taurat, dosa berkuasa atas dirinya; tetapi kalau orang sudah di bawah karunia Allah melalui iman kepada Yesus Kristus, mereka sudah dibebaskan dari dosa.

Kata Paulus, “Kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Roma 6:14).

Jelas, bagi Paulus, “Hukum Musa tidak pernah diberikan untuk menghasilkan kebenaran dan kehidupan; tapi hukum ini diberikan untuk menunjukkan dosa dan untuk menghukum kita, sampai datang kehidupan baru dan pembebasan di dalam Kristus”/8/ (lihat Roma 7-8).

Ambivalensi Paulus terhadap Taurat memang tidak terelakkan berhubung sang rasul ini hidup dalam dua tradisi kultural kuat yang berbeda dan tarik-menarik: kultur Yahudi yang legalistik dan kultur Yunani yang libertarian.

Kendatipun dalam Injil Matius, seperti diperlihatkan Dale C. Allison, Jr., terdapat banyak paralelisme antara Musa dan Yesus, namun, dalam Injil ini Yesus digambarkan mengungguli Musa Perjanjian Lama. 

Sebagaimana Yesus lebih besar dari Bait Allah dan dari Nabi Yunus dan dari Salomo (Matius 12:6, 41-42), maka Yesus pun lebih besar dari Musa./9/ 

Bagi penulis Injil ini, Taurat Musa telah digenapi oleh hukum yang diberikan Yesus (Matius 5:17-20),/10/ dengan cara “mengkristenkan” baik Taurat Musa maupun diri Musa sendiri,/11/ sehingga muncullah "Musa yang baru", yaitu Yesus, yang membawa hukum baru yang isinya adalah seluruh Injil Matius sendiri yang merupakan “Taurat” Kristen, khususnya Khotbah di Bukit sebagai “Taurat baru yang valid abadi.”/12/ 

Dengan demikian, Taurat Musa diganti dengan Taurat baru yang merupakan penggenapannya, untuk umat yang baru, yang dibangun oleh Musa yang baru, yaitu Yesus, yang kedudukannya lebih tinggi dari Musa Perjanjian Lama. 

Tanpa Yesus sebagai Musa yang baru, Taurat Yahudi selamanya tidak pernah genap, tidak pernah sempurna, tidak pernah mencapai tujuannya. Ini adalah suatu superiorisme kekristenan Matius berhadapan dengan Yudaisme yang berpusat pada Taurat Musa.

Jadi, Taurat Musa tidak diterima dan diikuti secara harfiah seluruhnya oleh kekristenan; bahkan Paulus cenderung menolak kuat validitas Taurat bagi kekristenan yang dia bangun.

Yang paling drastis membatalkan Taurat Musa, dengan menggantikannya dengan pengajaran Yesus dan diri Yesus sendiri sebagai satu-satunya pengejawantahan sang Firman/Taurat, adalah Injil Yohanes.

Paling banter, sekali lagi, Taurat ditafsir ulang dari sudut pandang Kristen, dan hasil penafsiran Kristen ini dipandang, oleh komunitas Kristen-Yahudi Matius, sebagai penggenapan Taurat Musa, penggenapan yang dilakukan oleh Yesus sebagai Musa yang baru dengan hukum yang baru, hukum kasih (Matius 22:37-39), dan Khotbah di Bukit. 

Dengan demikian, dapat dikatakan, sehubungan dengan pandangan Kristen terhadap Taurat Musa, terdapat diskontinuitas yang jelas antara agama Yahudi dan agama Kristen. Penafsiran baru atas Taurat yang dilakukan para penulis Perjanjian Baru tidak lantas memunculkan kontinuitas antara kedua agama ini./13/

4) Respons kekristenan terhadap Bait Allah

Suatu segi yang konsisten meskipun tidak umum dalam teologi Kristen perdana adalah, selain kecaman terhadap validitas Taurat Musa, perlawanan terhadap Bait Allah. 

Kritik tajam kekristenan terhadap Bait Allah adalah bahwa Bait Allah di Yerusalem “dibuat oleh tangan manusia” (kheiropoiētos)./14/ 

Kritik ini sudah dimulai oleh Yesus sendiri, ketika dia menyerang Bait Allah secara simbolik (Markus 11:15-19) dan menyatakan, seperti dikutip para saksi ketika Yesus diadili di hadapan Mahkamah Agama, “Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan Kudirikan yang lain, yang bukan buatan tangan manusia” (Markus 14:58; 15:29). 

Penyerangan terhadap Bait Allah yang dilakukan Yesus adalah salah satu sebab mengapa orang Yahudi tidak bisa menerima Yesus sebagai sang Messias. Sebab, dalam tradisi Yahudi (dalam Kitab Suci Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa) tidak ada seorang Mesias Yahudi yang dengan terbuka menyerang Bait Suci. Justru adalah tugas seorang Mesias untuk menjaga, mempertahankan dan melindungi Bait Allah supaya tidak diganggu-gugat oleh siapapun./15/

Stefanus juga melancarkan kritik tajam yang sama terhadap Bait Allah di Yerusalem sebagai buatan tangan manusia sebelum dia mati syahid dirajam (Kisah Para Rasul 7:47-48). 

Dalam surat Ibrani 9:11 dan 24, dinyatakan bahwa Bait Allah yang dibuat tangan manusia tidaklah sempurna.

Dalam 1 Korintus 3:16, Rasul Paulus menyebut orang Kristen sebagai Bait Allah (karena Roh Allah berdiam dalam diri mereka), dan dengan begitu dia tersirat merelativisir Bait Allah di Yerusalem. 

Rasul Paulus dalam surat 2 Korintus menyebut suatu tempat kediaman di sorga, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia (5:1). Dengan dia menyebut tempat kediaman “yang tidak dibuat oleh tangan manusia”, kelihatanlah bahwa dia mengetahui polemik Kristen versus Yahudi mengenai Bait Allah sebagai rumah buatan tangan manusia.

Ringkas kata, sejauh menyangkut Bait Allah, posisi para penulis Perjanjian Baru sudah jelas: Bait Allah tidak relevan lagi bagi kekristenan. 

Hancurnya Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 di akhir Perang Yahudi I melawan Roma dilihat oleh komunitas-komunitas Kristen perdana sebagai suatu tanda bahwa Allah telah menolak dan tidak mengakui Israel lagi./16/ 

Seorang pemimpin gereja pada abad ke-4, Eusebius, melihat kehancuran Bait Allah dan kebinasaan Yerusalem di akhir perang Yahudi melawan Roma (66-70) sebagai suatu penghukuman Allah atas bangsa Yahudi yang (menurutnya) telah berbuat keji terhadap Yesus dan para rasulnya (Sejarah Gereja III,5,2f). 

Penutup

Respons yang diperlihatkan kekristenan perdana proto-ortodoks Perjanjian Baru terhadap empat pilar keyakinan Yahudi menunjukkan bahwa diskontinuitas antara agama Yahudi dan agama Kristen begitu tajam dan luas. 

Dengan adanya diskontinuitas ini, kekristenan perdana Perjanjian Baru dapat mengklaim diri sebagai agama yang mengungguli agama Yahudi, bahkan menafikannya, dan dapat melihat dirinya sendiri unik, "umat Israel yang baru", bukan dalam arti etnisitas atau kebangsaan, tapi sebagai pewaris sekaligus pembaharu tradisi-tradisi kuat Israel Perjanjian Lama.  

Dari diskontinuitas ini, dan dari klaim kekristenan perdana sebagai komunitas yang lebih unggul dibandingkan komunitas Yahudi, dan (harus dicatat!) dari kemenangan politis mereka pada era Kaisar Konstantinus Agung di abad ke-4 dan pada saat Kaisar Theodosius pada tahun 381 mengeluarkan dekrit bahwa orang yang memeluk agama yang tidak diakui negara [yakni kekristenan Arius, yang sedang berkonfrontasi dengan kekristenan Athanasius] adalah orang yang melawan negara, tidaklah berlebihan jika dikatakan, lewat liku-liku sejarah yang kompleks, lahir anti-Semitisme yang membawa maut pada zaman modern di Eropa ketika Jerman dikuasai Hitler.

Karena itu, untuk menghindari berulangnya tragedi kemanusiaan ini, masing-masing pihak, Yahudi dan Kristen, perlu terus mencari titik-titik temu di antara kedua agama ini, baik dalam sejarah di masa lampau maupun dalam merancang dan membangun masa depan. 

Salah satu langkah untuk mencari titik temu adalah dengan menyelidiki figur Yesus sejarah (the historical Jesus) sebagai seorang suci Yahudi sekaligus sebagai pendiri komunitas kerajaan Allah yang kemudian menjadi gereja Kristen Yahudi perdana yang mula-mula (sebelum tahun 70) berpusat di Yerusalem sebagai Gereja Induk (= kekristenan Yahudi, Judeo-christianity) yang didirikan oleh saudara Yesus, yaitu Yakobus si Adil. 

Kesulitan mencari titik temu, atau mencari kontinuitas Yahudi-Kristen, terletak terutama pada penolakan kuat orang Yahudi untuk menerima Yesus sebagai sang Messias Yahudi, sehingga Yesus Kristus tercerai dari bangsa-Nya sendiri, bangsa Yahudi, lalu menjadi atau diklaim sebagai sang Messias gereja saja.  

Puncak atau penyempurna dan pemenuh serangkaian lima "perjanjian Allah" dengan bangsa Israel dalam diri Yesus, atau penantian messianik umat PL yang dipercaya terwujud dalam Yesus Kristus, hanya berlaku dalam kepercayaan gereja awal, baik gereja berlatar budaya Yunani maupun gereja berlatar budaya Yahudi.

Bagaimana pun juga, dialog empatetis di antara penganut agama Yahudi dan orang Kristen pada masa kini harus dilakukan, agar keduanya dapat bertemu dan dari pertemuan ini lahir hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian dalam dunia ini.

** Versi awal tulisan ini adalah bab 1 buku saya yang berjudul Menguak Kekristenan Yahudi Perdana: Sebuah Pengantar (Jakarta: JRC, 2009), hlm. 1-13. 

Catatan-catatan

/1/ Selengkapnya, lihat James D.G. Dunn, The Partings of the Ways Between Christianity and Judaism and Their Significance for the Character of Christianity (London/Philadelphia: SCM Press/Trinity Press International, 1991¹), hlm. 18-36.

Tentang hal yang sama, E.P. Sanders, dalam bukunya, Judaism: Practice and Belief 63 BCE-66 CE (London/Philadelphia: SCM Press/Trinity Press International, 1992), berbicara tentang Yudaisme “umum” atau Yudaisme “normal” atau Yudaisme “normatif”. Menurutnya, ada empat fokus dari Yudaisme pada umumnya: Bait Allah, sinagoge (atau rumah doa), rumah atau kampung halaman (tanah Palestina), dan teologi yang mencakup kepercayaan pada Allah yang esa (monoteisme), hukum Taurat, status Israel sebagai bangsa pilihan.

/2/ Jack T. Sanders, Schismatics, Sectarians, Dissidents, Deviants: The First One Hundred Years of Jewish-Christian Relations (London: SCM Press, 1993), hlm. 40.

/3/ Mengenai tahap-tahap historis yang dilalui komunitas Yohanes sampai kristologi “dari atas” diajukan sebagai reaksi terhadap keadaan-keadaan sosial-politis yang dialami komunitas ini, lihat J. Louis Martyn, History and Theology in the Fourth Gospel (Nashville: Abingdon, 19792); idem, The Gospel of John in Christian Theology. Essays for Interpreters (New York, etc.: Paulist Press, 1978); Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple: The Life, Loves, and Hates of An Individual Church in the New Testament Times (London: Geoffrey Chapman, 1979). 

Lihat telaah padat komprehensif Ioanes Rakhmat, "Eksklusivisme Yohanes 14:6-- Apakah Suatu Penghalang Bagi Bergereja Yang Terbuka Pada Banyak Jalan Agung?", Jurnal Penuntun, vol. 3, no. 11, April 1997, hlm. 355-385 [360-380].

/4/ Mendahului Injil Yohanes, Rasul Paulus di tahun 50-an sudah memandang Yesus Kristus sebagai “agen penciptaan”, yakni sebagai Figur ilahi “yang melalui-Nya segala sesuatu telah dijadikan” (1 Korintus 8:5-6). 

/5/ Lebih jauh tentang subordinasionisme ini, lihat Ioanes Rakhmat, “Kristologi ‘Anak Manusia’ di dalam Injil Yohanes dan Monoteisme Yahudi” dalam Ihromi (ed.), Dalam Kemurahan Allah. Kumpulan Karangan dalam Rangka Dies Natalis STT Jakarta ke-60, 1994 (Jakarta: Gunung Mulia), hlm. 55-72.

/6/ Gerd Theissen, Social Reality and the Christians: Theology, Ethics, and the World of the New Testament. Penerjemah: Margaret Kohl (Edinburgh: T&T Clark, 1993), hlm. 206, 219, 226 [202-227].

Theissen sebetulnya menempatkan kekristenan perdana dalam tiga model: kekristenan sebagai agama yang paralel dengan Yudaisme; kekristenan sebagai suatu Yudaisme yang dibuka dan dilepaskan dari hambatan-hambatan yang dibuatnya; dan kekristenan sebagai suatu Yudaisme yang ditransformasi, sebagaimana terdapat dalam kekristenan Paulus.

/7/James D.G. Dunn, Partings of the Ways, hlm. 248.

/8/ David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity? (Grand Rapids: W.B. Eerdmans Publishing Co., 1995), hlm. 227.

/9/ Dale C. Allison, Jr., The New Moses: A Matthean Typology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), hlm. 274-77.

/10/ Menurut Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus (London: Penguin Group, 2004), Matius 5:17-20 pada dasarnya memuat ucapan yang berasal dari Yesus sendiri (hlm. 355).

/11/ Allison, New Moses, hlm. 280.

/12/ Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus, hlm. 355.

/13/ Seorang penulis Yahudi modern, David Klinghoffer, melihat penyebab utama orang Yahudi menolak Yesus adalah penolakan kekristenan terhadap Taurat yang diberikan Allah kepada orang Yahudi di Gunung Sinai. Lihat David Klinghoffer, Why the Jews Rejected Jesus: The Turning Point in Western History (New York: Doubleday, 2005), hlm. 213-20.

/14/ Jack T. Sanders, Schismatics, hlm. 96 [95-99, 230].

/15/ David Seeley, “Jesus’ Temple Act Revisited: A Response to P.M. Casey”, Catholic Biblical Quarterly 62/1 (2000) 61 [55-63]; idem, “Jesus’ Temple Act”, CBQ 55/2: 263-283; Marcus J. Borg, Conflict, Holiness, and Politics in the Teachings of Jesus (Studies in the Bible and Early Christianity 5; New York/Toronto: Mellen, 1984), hlm. 38 dyb., 55, 163-199; Ioanes Rakhmat, The Trial of Jesus in John Dominic Crossan’s Theory: A Critical and Comprehensive Evaluation (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2005), hlm. 170.

/16/ James D.G. Dunn, Partings of the Ways, hlm. 255.


Friday, July 24, 2009

Fundamentalisme dan
Teks-teks Skriptural Eksklusif Kristen

Sabda Yesus, “Akulah satu-satunya flyover menuju sang Bapa” (parafrasis Yohanes 14:6)

Fundamentalisme adalah suatu ideologi keagamaan eksklusif yang dibangun di atas teks-teks skriptural eksklusif yang dipahami secara literalistik ahistoris, dan yang mendorong suatu umat beragama untuk hidup secara eksklusif dan mengisolasi diri serta memandang diri sendiri sebagai kelompok yang benar satu-satunya, dan memandang kelompok-kelompok berbeda sebagai musuh yang harus dipertobatkan atau dibinasakan demi menciptakan suatu dunia di masa depan yang sama sekali lain, yang hanya dihuni oleh kalangan mereka sendiri. Dengan demikian, fundamentalisme minimal mencakup hermeneutik kitab suci, psikologi dan gaya hidup, serta politik pembinasaan lawan dan penghancuran dunia lama yang akan digantikan oleh suatu dunia yang sama sekali lain yang datang dari “atas” (dikenal sebagai “politik apokaliptik”). Unsur-unsur yang membentuk fundamentalisme ini saling berkaitan. Jelas, setiap upaya kritis untuk menghadapi atau mendekonstruksi fundamentalisme mengharuskan orang untuk masuk ke bidang-bidang hermeneutik kitab suci, psikologi, antropologi kultural, politik dan ekonomi. Pada kesempatan ini, untuk membedah dan mendekonstruksi fundamentalisme dalam kekristenan fokus dibatasi pada hermeneutik kitab suci.

Ada sekian teks skriptural eksklusif utama dan gagasan teologis Kristen dasariah yang umumnya mendorong lahir dan terpeliharanya fundamentalisme Kristen. Teks-teks tersebut dan gagasan-gagasan teologis yang relevan beserta penjelasannya akan disajikan di bawah ini, dan dampak teks-teks tersebut bagi kehidupan orang Kristen akan juga digambarkan dengan singkat. Setelah itu, keabsahan teks-teks dan gagasan-gagasan teologis utama ini akan langsung dipertanyakan atau teks-teks tersebut akan didekonstruksi.

1a) Gagasan teologis besar Kristen: pengampunan dosa dan keselamatan hanya via kematian Yesus di kayu salib 


Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa soteriologi salib, yakni ajaran bahwa keselamatan manusia diperoleh hanya lewat kematian Yesus di kayu salib, telah secara signifikan menjadikan kekristenan sebagai suatu agama yang eksklusif, yang tidak bisa mengakui atau menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama lain, dan menghasilkan orang Kristen yang sama sekali tidak bisa toleran terhadap klaim-klaim kebenaran autentik yang diwartakan agama-agama lain kepada dunia.

Mengapa soteriologi salib bisa menghasilkan agama Kristen dan orang Kristen semacam itu? Karena, menurut pandangan orang Kristen, soteriologi salib menawarkan satu-satunya jalan keselamatan yang paling realistik, paling cocok, paling manjur dan paling memberi pengharapan bagi kondisi manusia. Orang Kristen kerap dengan naif mengklaim, tidak ada agama lain yang menawarkan soteriologi sejenis ini. Sebetulnya, orang Kristen yang semacam ini perlu bertanya dengan rendah hati kepada orang yang menganut Buddhisme mengenai para Boddhisatva dan apa yang mereka lakukan sehubungan dengan keselamatan manusia. Tetapi, bagaimana pun juga, kita pada kesempatan ini perlu bertanya, Apa yang diajarkan dan ditawarkan soteriologi salib kepada dunia, sehingga soteriologi ini diklaim orang Kristen sebagai suatu soteriologi yang sangat khas dan istimewa bahkan satu-satunya di dunia ini?

Menurut suatu mitos Kristen, sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa, maksudnya: sejak pelanggaran dan perlawanan dua nenek moyang manusia ini di Taman Eden terhadap ketetapan Allah di permulaan kehidupan manusia di muka bumi ini yang mengakibatkan mereka berdua (juga ular dan bumi) terkena kutuk dan penghukuman Allah, semua orang keturunan mereka selanjutnya di segala tempat dan di segala zaman telah ikut berdosa dan harus juga menanggung azab dan kematian sebagai akibatnya (Kejadian 3:14-19; Roma 6:23). Ini adalah doktrin tentang “dosa warisan” atau “dosa asal” yang ditulis Rasul Paulus dalam Roma 5:12-19 sebagai dosa dan hukuman yang terus “menjalar kepada semua orang.”

Di samping dosa warisan yang tidak bisa dielakkan oleh semua manusia, termasuk oleh bayi yang baru dilahirkan, manusia juga berbuat dosa pribadi terus-menerus dan tidak bisa berbuat baik dan benar sama sekali untuk menyenangkan hati Allah. Menurut ajaran Kristen, “gambar dan rupa Allah” yang semula pada waktu penciptaan ditanamkan ke dalam kodrat manusia (Kejadian 1:26; 2:22; 5:1) telah hilang lenyap dari diri mereka sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa. Kemuliaan Allah telah hilang dari diri setiap orang, tegas Rasul Paulus (Roma 3:23); akibatnya kapan pun juga manusia tidak akan bisa melakukan kebajikan dan kebenaran lagi (Roma 3:10-12; kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4). Rasul Paulus dengan negatif menyatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, tentang manusia pada umumnya, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Sejalan dengan rusaknya citra ilahi dalam diri manusia, hati nurani manusia pun ikut rusak, “suara hati” tidak bisa menyelamatkan manusia; begitu juga, ketika hukum Taurat diberikan kepada manusia, hukum ini juga sama sekali tidak bisa mendatangkan keselamatan pada manusia. Itulah yang diajarkan Rasul Paulus dalam Roma 2:1-3: 20.

Jelas, mitos Kristen ini memberi gambaran yang sangat suram, buruk dan negatif mengenai citra kodrati manusia pasca-“kejatuhan” Adam dan Hawa. Tidak ada harapan keselamatan apapun pada diri manusia jika mereka mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri untuk mencapai keselamatan. Perbuatan manusia, sebaik dan sebenar apapun, menurut mitos ini, tidak memiliki nilai dan potensi soteriologis apapun, karena sehabis melakukan perbuatan baik manusia yang sama juga akan melakukan perbuatan jahat, bahkan dalam porsi yang lebih besar. Inilah kondisi riil seluruh umat manusia yang tidak berisi pengharapan apapun, kondisi riil yang diungkap Rasul Paulus demikian, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak kukehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat ” (Roma 7:19).

Maka, lanjut mitos Kristen ini, Allah, dengan memerhatikan realitas kondisi manusia yang semacam ini, pada akhirnya berinisiatif memberi jalan keluar kepada manusia untuk mereka dapat menerima keselamatan. Yakni dengan Dia mengharuskan Yesus Kristus menempuh jalan sengsara, via dolorosa, dan akhirnya mati dibunuh di kayu salib oleh lawan-lawannya, sebagai kurban pengganti satu-satunya untuk semua manusia berdosa, sekali untuk selamanya (efapaks; Ibrani 7:27; Roma 6:9-10). Inilah vicarious sufferings yang dijalani dan dipikul Yesus Kristus, supaya/demi manusia terbebas dari hukuman atas dosa yang diwariskan Adam dan Hawa dan yang diperbuatnya sendiri. Dengan percaya bahwa pada diri Yesus Kristus yang disalibkan Allah telah menumpahkan api kemurkaan-Nya atas dosa manusia, manusia, tanpa perlu berbuat apapun, menerima keselamatan sungguh-sungguh hanya sebagai anugerah dan rakhmat, sola gratia. Inilah yang diberitakan dan ditawarkan soteriologi salib.

Dengan demikian, dalam penilaian orang Kristen, soteriologi salib adalah soteriologi yang paling realistik dan paling cocok dalam memecahkan masalah keberdosaan dan kebobrokan total diri manusia, sebab soteriologi ini tidak mendasarkan keselamatan manusia pada amal ibadah dan perbuatan baik yang sesungguhnya, menurut pandangan Kristen, tidak dapat dihasilkannya. Soteriologi salib juga dinilai gereja Kristen paling memberikan pengharapan bagi masa depan manusia, karena dengan memercayai soteriologi ini manusia dapat dengan tenteram mempercayakan diri mereka sepenuhnya kini dan selamanya kepada Allah yang sudah terbukti sebagai Allah yang pengampun, pemurah dan penuh rakhmat di dalam diri Yesus Kristus. Karena jalan salib dan kematian Yesus Kristus sudah terjadi dulu di awal tahun tiga puluhan abad pertama Masehi, maka soteriologi ini pasti manjur dan berkhasiat bagi manusia untuk membentuk perilaku moral mereka, sebab, jika tidak demikian, sia-sialah azab dan kematian Yesus dulu. Tidak berlebihan jika dikatakan orang Kristen percaya bahwa soteriologi salib bekerja secara magis.

1b) Dekonstruksi teks 


Hemat penulis, soteriologi salib atau jalan keselamatan melalui azab, kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib memuat permasalahan-permasalahan etis teologis berat yang sangat sulit diatasi, atau bahkan tidak dapat diatasi sehingga merongrong validitas inti iman Kristen.

Pertama, kalau dosa manusia itu (dosa warisan ataupun dosa pribadi) dipandang Allah sebagai suatu tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya dan terhadap diri Allah sendiri, maka apakah tindak kekerasan yang Allah sendiri telah lakukan terhadap Yesus (dengan mengharuskannya menempuh jalan penderitaan, via dolorosa, dan mengalami kematian mengenaskan di kayu salib) akan bisa menghapus kekerasan dosa-dosa manusia? Apakah suatu tindak kekerasan bisa meniadakan suatu tindak kekerasan lainnya? Apakah tindak kekerasan Allah terhadap Yesus bisa mengeliminasi tindak kekerasan yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan terhadap Allah? Bukankah pendapat kita adalah bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru, bukan menghapuskannya? Bukankah dosa manusia tidak bisa dihapuskan oleh kekerasan ilahi? Bukankah dosa Allah tidak bisa menghapus dosa manusia? Bukankah dosa hanya menumpuk dosa, bukan melenyapkannya?

Kedua, bukankah teologi tentang penebusan dosa melalui penderitaan dan kematian biadab Yesus di kayu salib telah melegitimasi dan malah telah melakukan sakralisasi terhadap perbuatan biadab para pemimpin Yahudi dan gubernur Romawi Pontius Pilatus terhadap Yesus dari Nazaret yang sebetulnya tidak bersalah? Dengan kata lain, bukankah ketika gereja sedunia merayakan Jumat Agung (hari peringatan kematian Yesus), mereka sebenarnya sedang melegitimasi dan menyakralisasi kekejaman dan kekerasan serta kebiadaban sekelompok penguasa keagamaan dan politis kepada Yesus dari Nazaret? Bukankah tidak ada kekerasan yang sakral sehingga kekerasan ini boleh dilakukan?

Demikian juga, bukankah ketika gereja merayakan Paskah (hari peringatan kebangkitan Yesus), tanpa mereka sadari mereka sebenarnya juga memberi legitimasi teologis terhadap serangkaian tindak kekerasan yang ditimpakan pada Yesus sejak dia diadili, lalu dipaksa berjalan ke Golgota dengan disiksa dan akhirnya disalibkan di situ? Bukankah Paskah berarti pembenaran terhadap serentetan tindakan biadab terhadap Yesus yang berakhir di hari Jumat Agung, hari kematian Yesus di kayu salib? Legitimasi teologisnya demikian: Ya, benar, Yesus memang harus disengsarakan, dizalimi, lalu dibunuh dengan kejam, supaya semua tindakan kejam ini bisa memuncak pada tindakan Allah membangkitkan Yesus di hari Paskah. Jika demikian, bukankah Paskah itu bukan suatu warta gembira, bukan suatu warta kemenangan (bahwa maut telah dikalahkan!), melainkan suatu legitimasi teologis yang tidak bermoral atas serangkaian tindak kekerasan yang sebelumnya dialami Yesus? Bukankah tanpa via dolorosa yang dijalani Yesus, tidak akan ada kebangkitannya? Dengan demikian, bukankah kebangkitan Yesus membenarkan kesengsaraannya? Ya, supaya Yesus dibangkitkan, supaya ada kemenangan atas maut, Yesus harus dizalimi dan disengsarakan! Bukankah, dengan demikian, merayakan Paskah berarti membenarkan Pontius Pilatus dan para penguasa Yahudi dalam berlaku keras dan biadab terhadap Yesus?

Teologi Paskah, dengan demikian, mengunci kekristenan dalam suatu dilema dan kontradiksi pelik: pada satu pihak, Paskah dapat berarti Allah, dengan membangkitkan Yesus, menolak semua kekerasan yang telah dialami Yesus sebelumnya; namun di lain pihak, Allah memerlukan jalan kekerasan dijalani Yesus supaya Yesus menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia, dan dengan membangkitkan Yesus, Allah membenarkan semua perlakuan keras yang telah dialami Yesus ketika dia diharuskan Allah menempuh via dolorosa.

Ketiga, kisah-kisah injil Kristen tentang masa-masa kesengsaraan Yesus, yang dijalaninya sejak dia ditangkap, lalu diadili, kemudian dipaksa berjalan ke Kalvari sambil disiksa sementara dia memikul kayu salibnya sendirian (versi Yohanes 19:17), dan kemudian disalibkan di sana, secara bertahap menggeser kesalahan yang sebetulnya ada pada pihak Roma (Gubernur Pontius Pilatus) ke pihak Yahudi yang direpresentasikan para penguasa Bait Allah. Penggeseran tanggungjawab ini akhirnya menjadikan seluruh bangsa Yahudi turun-temurun sebagai pihak yang satu-satunya bersalah terhadap Yesus, yang harus menanggung akibat kematian Yesus (Matius 27:25), sebagai pihak yang telah melakukan pembunuhan terhadap Tuhan (deicide). Inilah motif anti-Yahudi yang terdapat paling kuat dalam kisah-kisah pengadilan Yesus dalam injil-injil Kristen. Motif ini kemudian, di zaman modern, melahirkan anti-Semitisme yang menimbulkan antara lain pembunuhan jutaan orang Yahudi (Holokaus) oleh rezim Hitler di Eropa pada abad XX.

Anti-semitisme ini sering tanpa disadari dibela gereja Kristen ketika mereka, misalnya, mempersalahkan orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan, dan karena itu mereka (orang Yahudi), dalam pandangan gereja, telah kehilangan anugerah ilahi yang semula diberikan kepada mereka. Dengan merayakan masa-masa kesengsaraan Yesus (dalam minggu-minggu Pra-Paskah) dalam ibadah gereja, gereja Kristen sebenarnya terus-menerus memelihara dan mewariskan ideologi anti-Semitisme, tanpa mau tahu atau tanpa menyadari bahwa anti-Semitisme ini telah menghilangkan begitu banyak nyawa orang Yahudi dalam zaman modern ini.

Begitulah, di dalam inti terpenting dogma Kristen tentang jalan keselamatan manusia lewat Yesus Kristus yang disalibkan terkandung unsur-unsur demonik yang harus diwaspadai. Sudah seharusnya, soteriologi salib (soteriologia crucis) diusahakan diganti dengan suatu soteriologi lain, misalnya soteriologi yang berpusat bukan pada azab dan kematian Yesus (disebut sebagai soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris), melainkan soteriologi yang berpusat pada kehidupan Yesus (soteriologi biosentris) atau soteriologi yang berpusat pada kata-kata atau ajaran-ajaran Yesus (soteriologi logosentris).

2a) “Segala sesuatu… bertekuk lutut pada Yesus” (Filipi 2:10-11)  


Pada bagian akhir dari sebuah madah kristologis yang dikutip Rasul Paulus dalam surat Filipi 2:5-11, terdapat sebuah pernyataan yang triumfalistik bahwa “dalam nama Yesus [akan] harus bertekuk lutut segala (pan) yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala (pasa) lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”, pernyataan yang dalam Perjanjian Lama dikenakan hanya kepada Allah (Yesaya 45:23). Acuan kepada “segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” dan kepada “segala lidah” jelas menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah suatu pernyataan eskatologis, pernyataan tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman ketika segala sesuatu ditaklukkan kepada Yesus yang bertindak sebagai “Tuhan semesta” yang kekuasaannya berlaku efektif atas segala sesuatu dalam jagat raya ini, dan yang namanya berada “di atas segala nama”, bukan suatu pernyataan tentang apa yang sekarang terjadi.

Gambaran atau keyakinan bahwa Yesus Kristus di akhir zaman akan menjadi sang penguasa atas segala sesuatu berhubungan erat dengan gambaran atau keyakinan bahwa di akhir zaman dia juga akan bertindak sebagai sang Hakim dunia yang akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup (bdk. 1 Tesalonika 4:13-18; 2 Timotius 4:8; Matius 25:31-46). Pada sisi lain, dalam Matius 28:18 ditulis bahwa Yesus Kristus, setelah kebangkitannya, telah menerima “segala kuasa (pasa eksousia) di surga dan di bumi” dan dia yang memiliki segala kuasa ini berada atau hadir di tengah jemaatnya (Matius 18:20) dan menyertai mereka “sampai pada akhir zaman” (Matius 28:20). Maka lengkaplah gambarannya bahwa Yesus Kristus, sang Tuhan gereja, adalah juga sang Tuhan semesta, dan padanya sejak sekarang hingga akhir zaman segala kuasa terletak! Memakai ungkapan dari Kitab Wahyu, Yesus Kristus adalah “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 21:6; 22:13; Wahyu 1:8, 17; 2:8), suatu gelar yang dalam Perjanjian Lama diberikan hanya kepada Allah YME (lihat Yesaya 44:6; 48:12). 

Karena selalu ada inter-relasi antara dunia simbolik keagamaan dan kehidupan nyata sehari-hari atau realitas sosial, kepercayaan kristologis yang triumfalistik dan superior semacam ini tentu saja kapanpun juga akan menciptakan suatu komunitas Kristen yang memandang dirinya berada di atas semua komunitas keagamaan lainnya, dan mengungguli mereka. Kalau Tuhan mereka, Junjungan mereka, adalah Tuhan semesta, representasi Allah, sang Hakim di akhir zaman, pemilik segala kuasa di seluruh alam semesta, di bumi maupun di surga, pada masa kini maupun di akhir zaman, dan seluruh dunia akan takluk di bawah kakinya, maka merekapun sebagai komunitas yang dibangun sang Tuhan yang semacam ini berhak mengklaim posisi dan kedudukan superior berhadapan dengan komunitas-komunitas agama-agama lain.

2b) Dekonstruksi teks: membaca Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya 


Kalangan Kristen yang sangat suka memakai teks Filipi 2:10-11 untuk memotivasi mereka menjadi penakluk dunia yang dibawa ke kaki Yesus untuk bertekuk lutut telah mencopot teks ini dari kaitan sastrawinya dengan teks-teks yang mendahuluinya. Kalau teks ini mau dibaca dan dipahami seutuhnya, kita harus pertama-tama membacanya dalam konteks sastranya, yakni keseluruhan teks Filipi 2:5-11 yang, seperti sudah dikatakan di atas, merupakan sebuah madah kristologis. 

Madah ini dimulai dengan pernyataan bahwa Yesus Kristus semula ada “dalam rupa Allah” (en morfēi theou), tetapi kemudian (kita boleh sebut, dalam inkarnasi) dia “mengosongkan dirinya sendiri” (heauton ekenōsen) dengan “mengambil rupa seorang hamba (morfē doulou) dan menjadi sama dengan manusia (en homoiōmati anthrōpōn).” Nah, ini adalah teologi kenosis, teologi pengosongan diri.

Menurut madah kristologis ini, kenosis Yesus ini begitu dalam, sampai ke tingkat yang paling rendah, dengan dia, yang sebetulnya “dalam rupa Allah”, menjadi seorang manusia dalam status budak (doulos; suatu status sosial yang sangat rendah dalam struktur sosial masyarakat Yunani-Romawi). Lebih jauh dikatakan, bahwa dalam statusnya sebagai manusia budak, Yesus terus “merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (thanatou staurou). Dalam kenosisnya, manusia budak yang bernama Yesus ini bahkan jauh lebih direndahkan bahkan dipermalukan dengan dia mati disalibkan. Hukuman mati dengan cara penyaliban adalah suatu bentuk hukuman mati Romawi yang dikenakan kepada para kriminal, yang dalam pandangan Yahudi adalah suatu bentuk kutuk ilahi (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

Jadi, kristologi kenotik ini menempatkan Yesus dalam suatu situasi kehidupan dan kematian yang sangat direndahkan, dipermalukan dan terkutuk. Kenosis sampai ke tingkat yang paling memalukan ini adalah suatu ekstrimitas. Nah, penyusun madah kristologis ini membuat suatu ekstrimitas lainnya (sebagai lawan dari ekstrimitas yang pertama) dengan menggambarkan Yesus yang sudah berkenosis sangat dalam ini diberi pahala oleh Allah dengan “Allah sangat meninggikan dia (tentu maksudnya: melalui kebangkitan dan pengangkatannya ke surga, untuk berada bersama Allah) dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, ….” (Filipi 2:9-10). Jadi, tema perendahan dan tema pemuliaan/peninggian Yesus dalam madah kristologis ini lahir dari suatu gaya bahasa biner oposisional yang dipakai penulisnya dalam teksnya. 

Nah, peninggian atau pemuliaan Yesus Kristus sampai dia menjadi representasi Allah YME sendiri, yang kepadanya segala sesuatu akan bertekuk lutut dan segala lidah akan mengakui ketuhanannya, terjadi hanya setelah dia melakukan kenosis sampai ke titik paling rendah dalam kehidupan manusia.

Jadi, sudah seharusnya kalangan Kristen yang memakai Filipi 2:10-11 sebagai landasan untuk menegakkan triumfalisme dan superiorisme mereka dalam berhadapan dengan umat-umat beragama lain tidak melupakan kristologi kenosis yang diajukan madah kristologis ini. Sebelum merasa besar dan super, sekarang maupun di akhir zaman, sudah seharusnya gereja juga mengosongkan dirinya, melepaskan sifat takabur mereka, membuang perasaan paling benar sendiri, meninggalkan pemujaan pada kekayaan dunia, melepaskan gerak imperialis dan ekspansionis mereka, menyamakan diri dengan orang-orang yang berstatus rendah dan terbuang dalam masyarakat, supaya dengan itu semua mereka dapat menghayati bagaimana menjalani kehidupan kenotik Yesus. 

Hanya dengan memahami teks Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya, teks ini tidak akan melahirkan suatu fundamentalisme Kristen atau suatu superiorisme dan triumfalisme Kristen yang bisa menyengsarakan dunia non-Kristen sekaligus juga dunia Kristen.

3a) “Tidak ada nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12) 


Kisah Para Rasul (KPR) 4:12 lengkapnya berbunyi demikian, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [=Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain [oude gar onoma estin heteron] yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ini juga adalah suatu teks skriptural eksklusif triumfalis yang menjadi suatu landasan mengapa orang Kristen evangelikal fundamentalis “petantang-petenteng” menyatakan agama Kristen (versi mereka) sebagai agama yang benar satu-satunya dan Yesus Kristus mereka sebagai sang penyelamat satu-satunya untuk umat manusia sejagat raya di bawah matahari. 

Frasa “tidak ada nama lain” dari teks KPR ini, kita tahu, telah dipakai Paul F. Knitter sebagai judul sebuah bukunya namun dengan diberi tanda tanya olehnya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (terbit pertama kali 1985). Orang Kristen evangelikal tentu saja banyak yang tidak senang dengan buku kritis Knitter ini, karena dalam penilaian mereka Knitter telah meragukan atau menolak kebenaran berita kitab suci Kristen, tanpa mereka memperhatikan dan mengikuti dengan serius argumen-argumen kuat dan kritis yang diajukan Knitter.

Teks KPR 4:12 ini tidak akan menjadi suatu teks problematik jika ihwal “tidak ada nama lain yang olehnya kita diselamatkan” hanya diberlakukan untuk kalangan dalam sendiri, yakni kalangan Kristen. Tetapi, karena KPR ditulis bertolak dari suatu rencana induk (master plan) yang dituangkan dalam KPR 1:8 (“Kamu akan menjadi saksi-Ku [saksi Yesus Kristus] di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”) untuk mengkristenkan seluruh kawasan Yunani-Romawi (yang berpusat di kota Roma) pada zaman penulisnya, teks ini mengklaim bahwa “di bawah kolong langit” tidak ada penyelamat lain selain Yesus Kristus. Jadi kebutuhan misiologis ekspansif untuk mengkristenkan seluruh bumi memerlukan suatu dukungan dan pembenaran dari, atau melahirkan, suatu soteriologi (=ajaran tentang keselamatan) yang eksklusif dan berlaku global.

Sejak berdirinya anekaragam kekristenan di abad-abad pertama M, dan sejak ditulisnya beragam teks kitab suci Perjanjian Baru, gerak misiologis ekspansif ke seluruh muka bumi untuk mengkristenkan dunia sudah menjadi bagian dari penghayatan tugas dan panggilan gereja universal sepanjang sejarah kekristenan, yang lahir dari, atau dilegitimasi oleh, suatu soteriologi eksklusif dan triumfalistik. Politik ekspansionisme wilayah kekuasaan gereja berjalan bergandengan tangan dengan keharusan merumuskan soteriologi semacam ini.

3b) Dekonstruksi teks 


Untuk mendekonstruksi penafsiran triumfalistik eksklusif atas teks KPR 4:12, teks ini harus dibaca dalam terang keseluruhan kitab KPR, dan khususnya harus ditempatkan dalam konteks sastrawi naratifnya (KPR 3-4). Telah diargumentasikan di atas, soteriologi eksklusif dan triumfalistik teks KPR 4:12 ini didorong atau dilegitimasi oleh suatu politik misiologis ekspansionis yang telah dicanangkan dalam KPR 1:8. Kalangan kekristenan evangelikal takut sekali jika diingatkan, atau kepada mereka diperlihatkan, bahwa teologi dan juga soteriologi Kristen banyak yang lahir atau disusun dari kepentingan-kepentingan politik gereja perdana maupun gereja masa kini.

Selanjutnya, kita perlu memperhatikan KPR 3-4:22 sebagai konteks naratif KPR 4:12. Ucapan dalam KPR 4:12 ini berasal dari Rasul Petrus dalam suatu wacana pembelaan dirinya ketika dia dan Rasul Yohanes diperiksa atau disidang oleh “para pemimpin Yahudi, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat” yang mengadakan sidang di Yerusalem, “dengan juga diikuti Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar” (KPR 4:5-6). Tentu saja, setiap pembaca kritis akan melihat bahwa jumlah dan kalangan yang menyidangkan Rasul Petrus dan Rasul Yohanes, dua “orang biasa yang tidak terpelajar” (KPR 4:13), sangat dibesar-besarkan. Di sini, penulis KPR memakai suatu gaya bahasa hiperbolik, gaya bahasa pembesar-besaran sesuatu, jauh melampaui kenormalan. Gaya bahasa hiperbolik ternyata juga sudah dimunculkan sebelumnya oleh penulis KPR, ketika dia menceritakan bahwa “seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahirnya sehingga dia harus diusung” (KPR 3:2), yang “sudah berusia lebih dari empat puluh tahun” (KPR 4:22), disembuhkan oleh Petrus dengan “memakai nama Yesus Kristus” (KPR 3:6). Selanjutnya dituturkan bahwa orang yang sudah disembuhkan ini, dengan “kaki dan mata kaki orang itu menjadi kuat” (KPR 3:7), “melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat” (KPR 3:8). Penyembuhan sebagai mukjizat semacam ini hanya ada dalam suatu narasi hiperbolik, tidak ada dalam kenyataan sejarah.

Nah, kita bisa rangkum sekarang. Dalam konteks narasi hiperbolik KPR 3-4:22, teks KPR 4:12 dengan demikian juga adalah suatu pernyataan hiperbolik, pernyataan soteriologis dan kristologis yang dibesar-besarkan. Kristologi dan soteriologi yang dibesar-besarkan tidak perlu ditanggapi dengan serius. Selain itu, Rasul Petrus harus membuat pernyataan kristologis dan soteriologis yang eksklusif dan triumfalistik dalam KPR 4:12 ini karena dia sedang membela dirinya di hadapan pemeriksaan oleh orang-orang yang berkedudukan penting dan banyak jumlahnya. Tentu saja, pembelaan diri dalam konteks ini mengharuskannya memakai gaya bahasa hiperbolik, minimal untuk membuatnya percaya diri dan menimbulkan keraguan di dalam diri para penyidiknya. Dalam narasi KPR 3-4:22, frasa “nama Yesus” ternyata muncul 6 kali (KPR 3:6, 16; 4:7, 10, 12). Jadi, tidaklah kebetulan kalau penulis KPR perlu membuat Rasul Petrus membuat pernyataan tentang nama Yesus dan fungsinya dalam pekerjaan penyelamatan ilahi atas umat manusia sejagat raya, dengan memakai gaya bahasa hiperbolik. Sekali lagi, soteriologi hiperbolik tentu saja tidak perlu terlalu serius dipikirkan, apalagi dipercaya mentah-mentah.

4a) Yesus Kristus “satu-satunya jalan” kepada Allah (Yohanes 14:6) 


Sudah merupakan suatu fakta bahwa teks Yohanes 14:6 adalah suatu teks yang paling sering dikutip orang Kristen untuk mendukung keyakinan dan pandangan mereka bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar dan Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, jalan untuk orang dapat sampai kepada Allah. Teks ini, yang ditemukan hanya dalam Injil Yohanes (dan tidak ditemukan dalam Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, injil-injil yang ditulis mendahului penulisan Injil Yohanes), diucapkan oleh Yesus sendiri, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

Dalam Injil Yohanes, jalan (hē hodos), kebenaran (hē alētheia) dan hidup (hē zōē) adalah hal-hal surgawi yang menjadi kelihatan dan nyata dalam dunia ini di dalam diri Yesus, atau hal-hal yang membawa orang kepada kehidupan surgawi, kepada perjumpaan dengan Allah, ke “rumah Bapa” (Yohanes 14:2). Semua hal surgawi ini, oleh penulis Injil Yohanes diklaim hanya ditemukan pada diri Yesus Kristus sebagai sang Firman (ho logos) yang memiliki kepra-adaan, yang “pada mulanya” ada “bersama-sama” dengan Allah dan yang “adalah” Allah (Yohanes 1:1), dan yang “telah menjadi daging” (Yohanes 1:14); atau sebagai Anak Manusia surgawi yang berpraada (Yohanes 3:13; 6:38; 6:46) yang telah mengambil bentuk daging (Yohanes 6:51). Sebagai suatu hakikat surgawi yang berpraada, Yesuslah, dalam kepraadaannya, satu-satunya “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” yang “pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18). Jadi, dapat dirangkum, bahwa karena Yesus adalah satu-satunya Hakikat surgawi (a heavenly being) yang berpraada dan satu-satunya yang telah melihat Allah dan bahkan adalah Allah sendiri yang telah menjadi daging, maka hanya lewat Yesuslah manusia bisa tiba ke rumah Bapa, kepada Allah, sebagai capaian terakhir keselamatan. Ringkas kata, bagi penulis Injil Yohanes, orang hanya bisa sampai kepada Allah hanya lewat diri Allah sendiri, yakni Allah yang telah mengambil rupa seorang manusia (“menjadi daging”), yaitu Yesus Kristus.

Benarlah jika dinyatakan bahwa, dibandingkan dengan injil-injil sinoptik (Markus yang ditulis tahun 70, Matius dan Lukas antara tahun 80-85), Injil Yohanes (yang ditulis belakangan, antara tahun 90-100) adalah injil yang paling berpengaruh kuat dalam pembentukan pemikiran kristologis gereja-gereja di kemudian hari, pada abad-abad ke-4 dan ke-5 ketika konsili-konsili ekumenis gereja-gereja (umumnya) Barat (yang berbahasa Latin) diadakan (Konsili Nikea tahun 325; Konsili Konstantinopel tahun 381; dan Konsili Khalsedon tahun 451), yang memandang Yesus sehakikat (Yunani: homoousios; Latin: Una Substantia) dengan Allah, dan bukan makhluk yang diciptakan (dari ketiadaan).

Perselisihan tajam yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di jalan-jalan antara Arius dan Athanasius pada zaman patristik boleh dikata adalah perselisihan di sekitar persoalan apakah Yesus itu manusia sepenuhnya (pandangan Arius) atau apakah Yesus itu Allah sepenuhnya (pandangan Athanasius). Perselisihan teologis-kristologis ini memang pernah dicoba diselesaikan dengan suatu rumusan inklusif bahwa Yesus Kristus adalah manusia sepenuhnya sekaligus Allah sepenuhnya.

Tetapi, sampai di abad ke-21 ini, tetap saja terjadi ketegangan dalam kehidupan gereja-gereja sedunia, antara kelompok yang memegang keyakinan bahwa Yesus itu Allah sepenuhnya dan kelompok yang menganut kepercayaan bahwa Yesus itu manusia biasa. Nah, kelompok pertama (yakni kekristenan evangelikal) adalah kelompok yang paling agresif untuk menkristenkan dunia, menjadikan dunia “bertekuk lutut” di kaki Allah yang bernama Yesus, dan kelompok ini menolak untuk mendiskusikan atau mendialogkan klaim eksklusif mereka ini bahwa Yesus adalah Allah yang sesungguhnya, dengan umat-umat beragama lain yang juga tentunya memegang klaim-klaim kebenaran yang bisa sama eksklusifnya. Sedangkan kalangan yang liberal, yang memandang Yesus sebagai seorang manusia biasa (meskipun mungkin memiliki kualitas kehidupan moral yang berada di atas rata-rata manusia kebanyakan), membuka diri untuk berdialog dan melihat kehidupan beragama sebagai suatu ziarah yang tidak pernah selesai.

4b) Dekonstruksi teks 


Seperti telah ditegaskan di atas, teologi skriptural dan ekstra-skriptural apapun ketika dirumuskan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politis si perumusnya atau komunitasnya. Beragama adalah berpolitik (apalagi di dalam suatu dunia yang belum mengenal sekularisme). Demikian juga, Yohanes 14:6, bahkan seluruh bangunan pemikiran kristologis “dari atas” (high christology) dan soteriologi eksklusif triumfalistik dalam injil ini, adalah “sebuah ideologi perlawanan” Kristen (-Yahudi) yang ditemukan dan dirumuskan oleh komunitas Yahudi-Kristen Yohanes ketika komunitas ini sudah dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos genētai, seperti kita dapat baca dalam Yohanes 9:22; 12:42; 16:2) dan mengalami penindasan dan penganiayaan (Yohanes 16:2; 16:33b), pemeriksaan, dan pemutusan komunikasi dengan orang Yahudi di sinagog (Yohanes 10:20). Dalam konteks sosio-politis semacam inilah, konteks sosio-politis religius suatu komunitas minoritas yang dianiaya, ditolak dan diasingkan, kristologi “dari atas” atau soteriologi eksklusif dalam Injil Yohanes adalah “an ideology of revolt”, seperti menjadi judul sebuah buku yang ditulis Jerome H. Neyrey, An Ideology of Revolt: John’s Christology in Social-science Perspective (1988). 

Berikut ini gambaran ringkas sejarah komunitas Yohanes. Semula komunitas Yohanes memberitakan kepada orang Yahudi di sinagog bahwa Yesus adalah sang Mesias Yahudi yang dinantikan, sang Nabi yang dikatakan “seperti” Nabi Musa. Tentu saja pemberitaan mereka ini semula berhasil; banyak orang Yahudi sinagog beralih menjadi anggota komunitas Yohanes. Tetapi para pemuka agama Yahudi di sinagog tidak suka melihat keberhasilan pekabaran injil komunitas Yohanes. Mereka lalu melakukan aktivitas penafsiran kitab suci (midrash) untuk membuktikan bahwa Yesus dari Nazaret tidak memenuhi syarat-syarat religio-politis untuk menjadi atau dipercaya sebagai sang Mesias Yahudi.

Bersamaan dengan aktivitas midrash ini, dengan satu dan lain cara mereka juga berhasil mengucilkan orang-orang Yahudi-Kristen Yohanes dari sinagog. Sebagai reaksi perlawanan, komunitas kecil Yohanes mengajukan klaim-klaim kristologis yang lebih radikal (masih dalam koridor “low christology”): Yesus menggantikan bahkan menghancurkan seluruh bangunan Yudaisme dan semua pilar dan ritusnya, termasuk semua orang suci Yahudi bahkan bangsa Israel sendiri, dan semua hari suci Yahudi dan semua pranata keagamaan Yahudi.

Sebagai respons terhadap klaim-klaim kristologis yang lebih radikal ini, orang-orang Yahudi di sinagog meningkatkan penderaan, pemeriksaan dan pengucilan terhadap anggota-anggota komunitas Kristen Yohanes. Ketika komunitas ini hampir secara psikologis dan fisikal tidak bisa tahan lagi menghadapi serangan dan kebencian orang Yahudi sinagog, yang mereka pandang sebagai keturunan “Iblis”, mereka mencari penguatan dan pegangan ideologis yang lebih bisa menolong dan menguatkan mereka. Di poin inilah mereka menemukannya dalam “high christology”: Yesus adalah Allah; kerajaannya bukan dari dunia ini; ketika dia “turun”ke dalam dunia ini dan “menjadi manusia”, dia ditolak oleh bangsanya sendiri dan oleh dunia yang membencinya; para pengikut Yesus dengan demikian juga mengalami apa yang dialami Yesus: mereka ditolak oleh dunia; dan Yesus menjanjikan kepada mereka untuk, lewat dirinya satu-satunya, akan sampai “ke rumah Bapa”.

Nah, kristologi “dari atas” adalah suatu ideologi perlawanan dan pertahanan diri yang dirumuskan oleh komunitas minoritas Yohanes, ketika komunitas ini ditolak, diasingkan dan didera oleh dunia ini. Semakin suatu komunitas minoritas dianiaya dan terancam musnah, semakin radikal komunitas ini dalam mencari kekuatan dalam suatu ideologi yang eksklusif dan triumfalistik. Yohanes 14:6 adalah bagian dari seluruh bangunan kristologi “dari atas” komunitas ini; teks ini, yang diciptakan oleh penulis injil ini, menghapuskan semua mediator Yahudi sebagai mediator-mediator yang tidak bisa membawa orang kepada keselamatan, tiba pada Allah. Hanya lewat Yesus, Allah komunitas Yohanes, keselamatan akan dialami. (Tetapi klaim bahwa Yesus itu Allah ternyata kebablasan, sehingga ada sebagian anggota komunitas Yohanes yang menganut doketisme, paham yang menolak kemanusiaan Yesus, karena itu ditulislah kritik tajam pada doketisme ini dalam 1 Yohanes 4:2-3; dan 2 Yohanes 7). Jika asal-usul teks Yohanes 14:6 telah dapat dipahami dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, teks ini tidak perlu melahirkan fundamentalisme Kristen atau sikap “gagahan-gagahan” orang Kristen.


5. Penutup

Di atas telah dilakukan dekonstruksi kritis atas soteriologi salib, teks-teks triumfalistik skriptural Filipi 2:10-11, Kisah Para Rasul 4:12 dan Yohanes 14:6. Usaha dekonstruksi ini berhasil memperlihatkan bahwa doktrin utama kekristenan tentang keselamatan lewat salib Yesus dan teks-teks eksklusif dan triumfalistik ini, jika dipahami dengan kritis dan dalam konteks sastrawi dan konteks sejarahnya, sama sekali tidak memberi legitimasi skriptural apapun pada fundamentalisme, eksklusivisme dan triumfalisme Kristen. Hanya pemahaman yang tidak kritis dan bodoh terhadap doktrin penyelamatan melalui kayu salib Yesus, dan terhadap teks-teks skriptural eksklusif triumfalistik ini, memungkinkan timbulnya fundamentalisme dan triumfalisme Kristen.

by Ioanes Rakhmat

Icf/22-23 Juli 2009, Yogyakarta