Monday, February 16, 2009

Sekularisasi menurut Karel Dobbelaere

Bagi Karel Dobbelaere, sekularisasi adalah suatu proses dalam masyarakat di dalam mana suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem lainnya; proses ini membuat klaim-klaim tentang pencakupan segalanya itu kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasikan dan terprivatisasi (Dobbelaere 1989:29, 32).

Dobbelaere berteori (1989:27-44) bahwa sekularisasi terjadi karena di dalam masyarakat telah berlangsung perubahan-perubahan struktural, yang membuat sistem besar pengelolaan atau manajemen masyarakat disubdivisikan ke dalam subsistem-subsistem yang lebih kecil namun rasional, yang masing-masing memainkan fungsi sendiri-sendiri (ekonomi, polity, famili, pendidikan, sains). Subsistem-subsistem ini sangat terspesialisasi dan terdiferensiasi secara fungsional, dan keadaan ini telah menghasilkan organisasi-organisasi yang makin bertambah rasional. Masyarakat menjadi tersegmentasi ke dalam sejumlah domain kelembagaan, yang fungsional, rasional dan otonom. Sub-subdivisi, diferensiasi, segmentasi, spesialisasi dan individuasi fungsi-fungsi dalam masyarakat hanya bisa berlangsung kalau ada nilai-nilai civik inti yang melandasi dan menyemangati, yakni libertas dan equalitas. Tetapi karena tidak semua orang memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan (meskipun ada nilai equalitas), maka di dalam subsistem-subsistem itu diperlukan orang-orang yang profesional. Siapa saja yang memiliki profesionalitas, boleh berfungsi dalam suatu subsistem yang cocok.

Dobbelaere menandaskan, “karena itu, kita dapat berbicara mengenai sekularisasi hanya di dalam masyarakat yang di dalamnya suatu proses diferensiasi telah digelar untuk memisahkan beberapa domain kelembagaan, misalnya, domain politik dari domain agama.” (p. 29); lagi, “semakin tinggi peringkat diferensiasi fungsional, maka sekularisasi akan semakin bertambah-tambah ― ini berarti agama akan pertama-tama kehilangan atau berkurang dampaknya terhadap penentuan aturan-aturan yang mengatur domain-domain kelembagaan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin digantikan oleh norma-norma sekular atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, polity, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.” (p. 38).


Sumber:


Karel Dobbelaere, “The Secularization of Society? Some Methodological Suggestions”, dalam Jeffrey K. Hadden & Anson Shupe (eds.), Secularization and Fundamentalism Reconsidered: Religion and the Political Order (New York: Paragon House, 1989) 27-44. Lihat juga idem,
“Secularization Theories and Sociological Paradigms: A Reformulation of the Private-public Dichotomy and the Problem of Social Integration, dalam Sociological Analysis 46(4) (1985) 377-387; idem, Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate” dalam Sociological Analysis 48(2) (1987) 107-137; idem, “Towards an Integrated Perspective of the Process Related to the Descriptive Concept of Secularization” dalam Sociology of Religion 60(3) (1999) 229-247. Pendapat bahwa diferensiasi fungsional telah melahirkan sekularisasi, telah dipertahankan sebelumnya oleh Émile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York: Free Press, 1995 [1912]).


by Ioanes Rakhmat


Sekularisasi menurut Peter L. Berger


by Ioanes Rakhmat

(Untuk tulisan jauh lebih lengkap mengenai sekularisasi dan desekularisasi, masuklah ke http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/12/sekularisasi-dan-desekularisasi.html.)

Bagi Peter L. Berger, sekularisasi adalah suatu “proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan” (Berger 1969:107). Berger bertanya, proses-proses dan kelompok-kelompok sosio-kultural mana yang telah berfungsi sebagai sarana-sarana atau mediator-mediator bagi terjadinya sekularisasi. Dia mencatat berbagai macam faktor sebagai pendorong sekularisasi (Berger 1969:109-125), antara lain: peradaban manusia sebagai suatu keseluruhan yang menyebar keseluruh dunia; dinamika yang ditimbulkan oleh kapitalisme industrial; gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial; pengaruh dari ilmu pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial; infrastruktur praktikal di dalam kehidupan sosial.

Dari banyak faktor, faktor yang merupakan akar dan benih sekularisasi adalah tradisi keagamaan Barat, khususnya tradisi keagamaan biblis agama Yudaisme yang melalui kekristenan, khususnya tradisi Kristen Reformatoris Kalvinis, telah menjadi fondasi-fondasi peradaban modern. Berger menegaskan, dunia modern, dengan sekularisasinya, dapat ditafsirkan sebagai “suatu realisasi dari roh Kristen”; lagi, “Protestantisme telah memainkan suatu peran khas di dalam menegakkan dunia modern.”

Kontras dengan Gereja Roma Katolik yang kehidupan praktis dan ritual keagamaannya masih dipenuhi aura kekeramatan dunia transendental, kehidupan Gereja Protestan Kalvinis telah mengalami “disenchantment of the world” (Entzauberung der Welt), telah “kehilangan kekeramatan dunia ini”; orang-orang Prostestan tinggal di dalam suatu dunia yang numinositas-nya telah diambil darinya, dunia yang “bereft of numinosity”. Tidak ada malaikat-malaikat, tidak ada orang-orang kudus dan Bunda Maria sebagai perantara-perantara keselamatan, tidak ada roti dan anggur yang berubah menjadi daging dan darah Kristus, yang semuanya menghubungkan dunia imanen (dunia kodrati) dengan dunia transendental (dunia adikodrati) di mana Allah berada.

Bagi orang Protestan Kalvinis, Allah begitu tinggi, jauh di atas sana, transenden, suci tidak tertandingi oleh siapapun dan apapun yang ada di dalam dunia. Sebaliknya, manusia, dalam kaca mata orang Protestan Kalvinis, adalah makhluk fana dan hina yang telah jatuh ke dalam dosa, makhluk pendosa, dan karena itu terpisah dan terputus sama sekali dari Allah yang Maha Suci dan transenden. Hanya ada ada satu penghubung antara Allah dan manusia, yakni firman Allah, dalam arti firman yang menyatakan pemulihan hubungan hanya mungkin terjadi karena “rakhmat semata-mata,” sola gratia (seperti menjadi pengakuan iman Protestan Lutheran).

Ketika penghubung satu-satunya ini dipatahkan, karena sudah tidak “plausible” lagi, maka terpisahlah dunia imanen dari dunia transenden selama-lamanya; maka, dunia kodrati sungguh-sungguh telah “bereft of numinosum” dan menjadi realitas empiris duniawi semata-mata, “God is dead”. Ketika ini terjadi, maka realitas empiris ini menjadi terbuka terhadap penetrasi rasional dan sistematik, baik dalam pemikiran maupun dalam aktivitas, yang kita hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Langit kini kosong tanpa malaikat, terbuka untuk diintervensi oleh para astronom, dan akhirnya, oleh para astronot. Maka, proses sekularisasi pun dimulailah.

Berger menandaskan, pandangan bahwa dunia ini sudah kehilangan kekeramatannya, karena mengalami desakralisasi dan demitologisasi, telah tersekularisasi, sudah dimulai dalam Perjanjian Lama, Kitab Suci agama Yahudi, agama yang dipenuhi oleh motif-motif transendentalisasi (Allah itu Esa, di atas sana, tidak terjangkau), historisasi (namun, Allah yang adikodrati itu, bekerja dalam sejarah Israel, menuntut respon umat, dan membuat ikatan perjanjian, berith, dengannya) dan rasionalisasi etika (anti-magis: umat menjadi diperkenan Allah bukan karena melakukan praktek-praktek magis, tetapi karena melaksanakan Taurat Allah).

Sumber-sumber

 
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion (New York: Doubleday & Company, 1969 [1967]). Belakangan, Berger berbicara tentang desekularisasi dunia; lihat Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger, ed., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington, D.C.: Ethics and Public Policy Center, 1999) 1-18. Gagasan bahwa bangkitnya suatu pandangan dunia rasional telah merongrong fondasi iman kepada suatu dunia adikodrati, hal-hal yang misterius, dan magi, sangat kuat dipengaruhi oleh Max Weber melalui tulisannya, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Diterjemahkan oleh T. Parsons (New York: Scribner's, 1930 [1904]); dan The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1993 [1922]).



Sunday, February 1, 2009

Eksorsisme dan demonisasi lawan
sebagai strategi pertahanan diri

Sebuah pemikiran dalam sosiologi pengetahuan menyatakan bahwa supaya suatu masyarakat dapat bertahan dan hidup terus (viable), masyarakat ini harus mengembangkan prosedur-prosedur “pemeliharaan kenyataan” (reality-maintenance) untuk mempertahankan suatu simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif./1/ Tanpa simetri ini, suatu masyarakat akan ambruk. “Kenyataan objektif” mengacu pada masyarakat sebagai suatu lembaga di luar manusia. “Kenyataan subjektif” menunjuk pada masyarakat di dalam diri manusia; maksudnya: pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dibuat dan dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu “dunia simbolik” yang telah diinternalisasi, dimasukkan, ke dalam diri setiap anggota masyarakat. Karena proses sosialisasi manusia ke dalam masyarakat (sebagai kenyataan objektif) tidak pernah selesai dan internalisasi (= proses memasukkan masyarakat ke dalam manusia sehingga lembaga sosial ini menjadi kenyataan subjektif) juga senantiasa terancam gagal, maka prosedur-prosedur tersebut diperlukan.

Dalam keadaan krisis, yaitu ketika menghadapi ancaman-ancaman dari orang-orang atau hal-hal asing yang dapat merobohkan simetri antara dua kenyataan itu, prosedur-prosedur yang ditempuh adalah: melakukan ritual keagamaan (misalnya, ritual pembasuhan atau pembersihan; ritual ini dialami sebagai “nihilisasi/pelenyapan subjektif” atas realitas asing objektif yang secara subjektif dipandang mencemarkan dan merusak); menetapkan tabu-tabu; mengutuk orang-orang asing, para penyesat, orang-orang gila; dan eksorsisme (= mengusir setan-setan).

Ritual Eksorsisme


Eksorsisme mempunyai suatu fungsi sosial penting untuk membuat suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan objektif bertahan dan langgeng; cara bekerjanya digambarkan berikut ini.

Dalam alam pemikiran mitologis, orang yang menolak atau merongrong tatanan sosial (social order) yang sah, yang diklaim dan dilegitimasi secara religius sebagai tatanan dasariah yang berasal dari Yang Ilahi (the sacred), dipandang sebagai orang gila, orang yang kerasukan setan atau dikuasai oleh, dan bersekutu dengan, kekuatan-kekuatan gelap demonik (the devil). Mereka dinilai merongrong tatanan (order) dan mau menggantikannya dengan kekacauan atau anomi (chaos). Berhadapan dengan orang-orang yang dipandang demikian, ritual keagamaan berfungsi ganda. Pertama, untuk mengingatkan kembali atau menyadarkan orang yang sebelumnya alpa ketika dia melawan tatanan sosial yang sah; ini adalah fungsi kuratif dan korektif dari ritual religius. Kedua, untuk menghadirkan kembali definisi-definisi dasariah yang ditetapkan Yang Ilahi atas kenyataan atau tatanan yang semula serta legitimasi-legitimasinya yang pas, bagi orang-orang yang berpartisipasi di dalam kehidupan dalam tatanan yang sah itu; ini adalah fungsi preventif dari ritual keagamaan./2/ Eksorsisme, yang tergolong sebagai suatu ritual dan akta keagamaan, berfungsi kuratif dan korektif ketika dengannya orang “menihilisasi/melenyapkan secara subjektif” kekuatan-kekuatan asing jahat perusak dan pencemar yang diyakini (dalam kenyataan subjektif) didalangi oleh, atau bersumber dari, kuasa-kuasa jahat demonik adikodrati yang tidak kasat mata, yang mau menumbangkan tatanan objektif yang ditetapkan Yang Ilahi dan hendak menggantikannya dengan kekacauan, anomi, chaos. Dengan eksorsisme, “lawan” atau “musuh”, yakni kekuatan asing demonik itu, dikalahkan dan dilenyapkan, sehingga masyarakat terbebas dari ancaman, dan dengan begitu posisi simetri antara dua kenyataan itu terbangun kembali. Dengan cara ini, eksorsisme adalah suatu konstruksi sosial untuk mempertahankan masyarakat.

Dalam masyarakat modern, eksorsisme juga dipraktikkan, hanya di dalamnya idiom-idiom mitologisnya telah diganti dengan idiom-idiom modern, namun konfrontasi antara “order” dan “chaos” secara fundamental dipandang tetap berlangsung. Kalau di zaman dulu para pengusir setan menangkal setan-setan melalui ritual eksorsisme untuk mengembalikan “order” dalam tubuh manusia dan tubuh sosial (masyarakat), maka sekarang, di zaman modern, ritual eksorsisme ini berlangsung ketika para ahli medik bertempur melawan kuman, bakteri dan virus yang tak kasat mata, yang merongrong “order” dalam tubuh manusia. Atau sebuah contoh lain: Ketika Amerika Serikat, dalam alur kebijakan politik luar negerinya yang didukung kemampuan intelijen modernnya, memandang Irak (dan Iran serta Korea Utara) sebagai “axis of evil” (karena disinyalir sedang menjadi suatu ancaman terhadap dunia karena memiliki dan mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal nuklir, kimiawi dan biologis), maka negeri yang dikuasai “evil” ini dipandang sebagai pengacau dan perongrong “order” atau tatanan politis global yang sudah dan sedang dibangun adidaya Amerika Serikat. Maka, pemerintahan Presiden Bush pun mengatur, menyiapkan dan melaksanakan suatu ritual eksorsisme untuk “menihilisasi” kekuatan demonik ini: Irak pun diserang dan digempur dengan kekuatan militer gabungan yang luar biasa kuatnya. Inilah eksorsisme dalam idom-idiom modern. Eksorsisme modern ini akan masih terus berlangsung, di bawah komando Amerika Serikat.

Apakah teori “reality-maintenance” dapat menjelaskan mengapa kekristenan perdana dapat tetap bertahan? Jawabnya tegas: Ya!

Eksorsisme dalam Kekristenan Perdana
 

Eksorsisme sebagai suatu ritual untuk mempertahankan masyarakat mengisi kehidupan komunitas-komunitas Kristen Perjanjian Baru, sejak dari kegiatan-kegiatan Yesus (“Jika Aku mengusir Setan dengan Roh/jari Allah …”; Matius 12:28; par.), ke masa rasul Paulus (“Aku tidak mau kamu bersekutu dengan setan-setan;” 1 Korintus 10:20-21), sampai ke surat 1 Petrus (“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan berkeliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.”; 5:8). Adanya lawan atau musuh demonik ini, membuat kekristenan perdana terus terlibat dalam peperangan untuk menggempur dan melenyapkan musuh ini. Dorongan untuk terus berperang dan bertempur ini memiliki andil penting dalam terbentuknya ketahanan kekristenan perdana sehingga kekristenan ini dapat langgeng.

“Kenyataan subjektif” dalam diri Yesus tentu adalah “Kerajaan Allah” yang menjadi suatu “symbolic universe” utama dalam kehidupannya. Dia memberikan definisinya sendiri terhadap konsep “Kerajaan Allah” ini; misalnya, dia memakai metafora “ragi”, sesuatu yang dipandang najis, cemar dan tidak benar (Keluaran 12:19; Galatia 5:9; 1 Korintus 5:6-8; Markus 8:15), untuk menggambarkan karakteristik kerajaan Allah (Lukas 13:20-21; Matius 13:33). Maksud Yesus jelas: Di tengah Tanah Yahudi yang sudah tercemar karena penjajahan bangsa asing yang (menurut sistim puritas Yahudi) najis, dan di tengah terpusatnya pemerintahan Allah di Bait Allah yang dikuasai kalangan korup elitis imamat dan aristokrat, maka, bagi Yesus, kerajaan Allah hanya bisa ditemukan di antara rakyat kebanyakan, yang digolongkan sebagai lapisan masyarakat marjinal menurut sistim puritas Yahudi formal. Kenyataan subjektif ini dieksternalisasi dan diobyektivasi oleh Yesus, dan ini melahirkan suatu bentuk sosial masyarakat objektif, yakni suatu masyarakat baru alternatif, masyarakat Kerajaan Allah, yang berpusat pada Allah dan pada nilai-nilai egalitarianisme, yang tidak diatur oleh sistim puritas Yahudi formal yang membagi-bagi manusia dan nilai-nilai dalam peringkat hirarkis dan polarisasi-polarisasi.

Tetapi, karena kenyataan objektif yang lebih luas, yakni masyarakat Israel, tidak diperintah Allah dengan belas kasih-Nya, tetapi diperintah oleh penjajah Roma melalui antek-antek Yahudinya yang menguasai Bait Allah dan memarjinalkan rakyat, maka terciptalah posisi asimetri antara “dunia simbolik” yang dipertahankan Yesus dan murid-muridnya dan “kenyataan objektif” masyarakat terjajah Israel. Posisi asimetri ini tampak nyata di dalam banyak kasus sakit penyakit dan kerasukan setan, yang merupakan akibat-akibat mental yang diderita banyak rakyat, yang ditimbulkan oleh pemerintahan represif Roma melalui kaki tangannya. Dalam bagian-bagian tertentu Injil-injil, Roma dan kaki tangannya digambarkan sebagai “Setan” atau “Iblis” (Lukas 13:31-32; Markus 5:1-20 [“Namaku Legion karena kami banyak”]). “Iblis” yang dipandang sebagai aktor utama di balik penjajahan Roma digambarkan sebagai kekuatan yang sangat besar, sebagai “Legion” (= sejumlah 3000-6000 prajurit pejalan kaki dan pasukan berkuda Romawi), atau sebagai “orang kuat” yang harus dikalahkan dulu sebelum Israel dipulihkan (Markus 3:20-30). Dengan melakukan ritual eksorsisme, maka Yesus menciptakan simetri, dan dengan itu mendatangkan Kerajaan Allah (Matius 12:28; Lukas 11:20); murid-muridnya juga diberi kemampuan dan tugas yang sama (Markus 6:7, 13; par.).

Dalam segala kegiatannya, Rasul Paulus melihat dirinya sedang berada dalam suatu peperangan, dengan bersenjatakan kuasa Allah, untuk menghadapi musuh-musuh yang didalangi kuasa-kuasa adikodrati yang jahat. Katanya, “Kami memang masih hidup dalam dunia, tetapi kami tidak berperang (strateumetha) menurut daging, karena senjata kami dalam peperangan bukanlah senjata kedagingan, melainkan senjata yang memiliki kuasa Allah untuk merubuhkan benteng-benteng” (2 Korintus 10:3-4; lihat juga 6:7). Pada aras dunia kodrati, peperangan ini berlangsung ketika dia menghadapi: orang-orang yang, karena didalangi “Setan,” menghalangi penyebaran berita Kristen (1 Tesalonika 2:18); “Ilah zaman ini” yang membutakan pikiran orang sehingga mereka tidak percaya (2 Korintus 4:4); tipu daya “Iblis”/”Setan” yang bekerja melalui rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, saudara-saudara palsu (2 Korintus 11:13,14,26); kesakitan akibat ulah “Iblis”/“Setan” sebagai lawannya (2 Korintus 12:7); orang-orang yang berpaling dari rasul Paulus sebagai akibat pekerjaan “allah-allah yang pada hakikatnya bukan Allah” dan “roh-roh dunia yang lemah dan miskin” (Galatia 4:3,8,9; 1:6,9); “binatang buas di Efesus” dalam hubungan dengan “pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan” (1 Korintus 15:32; bdk. 15:24, 25; Roma 8:38); “Iblis”/ “Setan” (Roma 16:20; 1 Korintus 5:5; 7:5; 2 Korintus 2:11).

Mem-“binatangbuas”-kan dan “mendemonisasikan” (demonizing) lawan, seperti ditemukan dalam surat 1 Petrus 5:8, adalah suatu strategi ritual sosial untuk mempertahankan simetri antara “kenyataan subjektif” dan “kenyataan objektif.” Kekristenan perdana penuh dengan motif ini./3/ Dalam “nubuat astral” penulis Wahyu Yohanes, strategi ritual dengan memakai metafora “menyetankan” dan “membinatangbuaskan” musuh dan lawan (orang Yahudi, lembaga-lembaga kultik Yahudi dan Roma, dan Kaisar) muncul sangat kuat dan grafis (Wahyu 2:9,10,13; 3:9; 12:9, 2; 13:1-13; 16:13). Oleh tindakan kekuatan-kekuatan kudus adikodrati dari “angkasa luar”, “Iblis” dan para pengikutnya di bumi dikalahkan (17:14; 19:19-21; 20:10).

Kesimpulan 


Teori “reality maintenance” dari sosiologi pengetahuan, yang digunakan dalam penafsiran teks-teks Perjanjian Baru, berhasil membantu penafsir untuk memahami fungsi-fungsi sosial politis strategis dari ritual eksorsisme dan demonisasi lawan dalam rangka mempertahankan eksistensi kekristenan perdana di tengah banyak hambatan dan ganjalan yang berasal dari lawan-lawan dan musuh-musuh mereka. Situasi dipaksa untuk terus bertempur dan melawan musuh-musuh yang diyakini didalangi Setan atau Iblis, melalui ritual eksorsisme, telah memberikan andil besar dalam menciptakan ketahanan komunitas-komunitas Kristen perdana di tengah-tengah berbagai kesulitan yang mereka hadapi.
 


Catatan-catatan

/1/ Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Penguin Books, cet. pertama 1966; cetak ulang 1973) 167.

/2/ Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion (Garden City, N.Y.,: Doubleday, 1969) 39 dyb.
 

/3/ Lihat, misalnya, Elaine Pagels, The Origin of Satan (New York: Vintage Press, 1995).